image for mobile / touch device
image 1 for background / image background
image 4

INTERMESO

Di Balik ‘Spotlight’, Film Terbaik Oscar

Noda Hitam
di Altar Gereja

“Aku baru sadar, ternyata selama itu tak ada yang berusaha menghentikan tindakannya.”

Foto: Reuters

Selasa, 8 Maret 2016

Mimpi buruk Phil Saviano datang saat Pastor David A. Holley tiba di kotanya, Douglas, di Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat, pada awal 1964. Pastor David, saat itu baru pertengahan 30 tahunan, ditunjuk untuk memimpin Gereja Saint Denis.

Kendati punya badan tinggi-besar, hampir 190 sentimeter, sosok Pastor David jauh dari menyeramkan, bahkan bagi anak-anak seperti Phil Saviano, kala itu baru 12 tahun. Setiap pagi, Phil mengantarkan koran ke rumah Pastor David. Pastor itu pandai melucu dan punya banyak cara untuk mendekati anak-anak. Pastor David suka memamerkan mimik nakal dan mengajari anak-anak itu sulap kartu.

Kadang dia meminta Phil dan anak-anak gereja membantunya memindahkan buku-buku rohani ke ruang bawah tanah. Bagaimana anak-anak itu tidak senang? Pastor David memberinya upah 50 sen untuk setiap pekerjaan enteng. “Kadang dia juga bertanya bagaimana kondisi di rumah dan sekolah. Aku merasa beruntung dia menaruh perhatian terhadapku,” Phil Saviano, sekarang 63 tahun, menuturkan pengalaman setengah abad silam, kepada Daily Mail, beberapa bulan lalu.

Mendapat perhatian seorang pastor, anak-anak itu merasa jadi anak yang istimewa. “Aku dibesarkan di lingkungan gereja.... Bagi kami, dia adalah wakil Tuhan di dunia, yang bisa melakukan hal-hal gaib, seperti menyulap anggur jadi darah dan mengampuni dosa-dosa kami,” kata Phil. Anak-anak itu tak sadar, ada bahaya di depan mata.

Phil Saviano dan korban-korban pelecehan seksual oleh pastor.
Foto: IBTimes

Alih-alih membimbing bocah-bocah itu supaya makin saleh, David Holley malah menjadikan Phil dan anak-anak itu pelampiasan hasrat jahanam. Mula-mula hanya mengajarkan sulap dengan kartu biasa, belakangan David Holley menggantinya dengan foto-foto perempuan telanjang dan gambar-gambar porno lain. “Kegiatan itu menjadi rahasia kecil kami,” Phil menuturkan kepada Albuquerque Journal, belasan tahun silam.

Bagi kami, dia adalah wakil Tuhan di dunia, yang bisa melakukan hal-hal gaib, seperti menyulap anggur jadi darah dan mengampuni dosa-dosa kami."

Dari semula hanya meraba, belakangan David memaksa bocah-bocah itu melakukan hal-hal tak senonoh untuk memuaskan hasratnya. Phil yang masih bocah takut, juga malu, untuk melaporkan tindakan bejat Pastor David kepada orang tuanya. “Kami hanya anak-anak kecil yang masih lugu,” kata Phil. Dia hanya berdoa, semoga “bencana” itu segera berlalu. Satu setengah tahun kemudian, pada September 1965, mendadak Pastor David “menghilang” dari Kota Douglas.

Phil menyangka, kisah horor itu sudah benar-benar berakhir. Hingga dua tahun kemudian, telepon di rumahnya berdering. Ibunya yang mengangkat. “Ibu, siapa itu?” Phil bertanya. Rupanya Pastor David yang menelepon dan ingin berbicara dengan Phil. Di telepon, Pastor David banyak bicara hal-hal jorok, terutama soal perkembangan tubuh Phil yang sudah beranjak remaja.

Mantan pastor, Paul Shanley, di pengadilan
Foto: Getty Images

Kardinal Bernard Law
Foto: Getty Images

Phil Saviano hanya terdiam. “Bayangkan bagaimana perasaanku, sementara ibuku berdiri tak jauh dari situ. Tak sanggup menjawab, tapi juga tak bisa menutup telepon lantaran takut membuat ibuku curiga,” kata Phil. Setelah David Holley menutup telepon, ibunya berkata, ”Anakku, bukankah dia pastor yang hebat? Meskipun sudah dua tahun pergi, dia masih menelepon dan menanyakan kabarmu.”

Hingga sang ibu meninggal sepuluh tahun kemudian, dia tak pernah tahu apa yang telah dilakukan Pastor David Holley terhadap putranya.

* * *

Selama hampir tiga puluh tahun, ulah bejat Pastor David Holley tak ada yang membicarakan dan sepertinya bakal terkubur selamanya. Sampai suatu hari pada 1992, Phil Saviano benar-benar terperanjat saat membaca satu artikel kecil di koran.

“Aku hampir terjengkang dari kursi,” kata Phil. Koran itu mengabarkan gugatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pastor di New Mexico, Amerika. “Dia ternyata Pastor David Holley... aku baru sadar, ternyata selama itu tak ada yang berusaha menghentikan tindakannya.”

Robert J. Curtis dan tujuh orang lainnya mengaku dipaksa berbuat tak senonoh oleh David Holley saat sang pastor bertugas di Gereja Saint Jude, Alamogordo, New Mexico, dari 1971 hingga 1976. Saat itu Robert hanyalah bocah yang baru menginjak 11 tahun. Setiap kali pulang sekolah, anak itu selalu lewat depan rumah Pastor David.

Bocah itu tak berdaya di depan David Holley yang besar dan seorang pengurus gereja. “Dia mengaku bisa mengirim kami ke neraka jika kami bercerita kepada orang lain,” Robert menuturkan ancaman Pastor David kepada Albuquerque Tribune. Dua puluh tahun setelah kejadian laknat itu, Robert baru punya keberanian untuk menyeret Pastor David ke pengadilan. “Aku sadar, aku punya kewajiban untuk menghentikan tindakan itu.... Dan David Holley bukan wakil Tuhan di dunia.”

Foto: Reuters

Pada 1993, Pengadilan Negeri Otero menjatuhkan hukuman 275 tahun penjara kepada Pastor David Holley. Dia terbukti bersalah atas tujuh kasus sodomi dan satu kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Menurut pengakuan Pastor David, masih ada puluhan korbannya yang lain yang tak mau bersuara di luar sana.

Nyali Robert dan tujuh korban David Holley membesarkan hati Phil Saviano untuk ikut bersuara soal kelakuan Pastor David di balik jubahnya. “Robert menginspirasiku untuk berbicara kepada publik bahwa masalah Pastor David tak bermula di New Mexico, melainkan di Massachusetts beberapa tahun sebelumnya,” kata Phil kepada USA Today, dua bulan lalu.

David Holley telah meninggal tujuh tahun lalu dalam penjara, tapi luka yang ditinggalkan pada korban-korbannya tak pernah benar-benar sembuh. Gara-gara perbuatan Pastor David, Phil kehilangan kepercayaan terhadap gereja. Setelah menjalin hubungan dengan sesama korban, Phil memutuskan mendirikan jaringan korban dan penyintas kekerasan seksual oleh pastor atau Survivors Network of those Abused by Priests (SNAP) di New England.

Menonton film itu membuatku sadar bahwa kita tak perlu malu dengan kejadian tersebut."

Phil adalah salah satu narasumber utama penelusuran Spotlight, tim investigasi harian Boston Globe, soal kelakuan tak pantas pastor-pastor di lingkungan gereja Diosis Boston. Tim Spotlight menemukan, lebih dari 70 pastor di Diosis Boston pernah terlibat dalam penganiayaan atau kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Pekan lalu, film Spotlight, yang diangkat dari kisah investigasi Boston Globe, terpilih menjadi film terbaik Oscar. Beberapa hari sebelum Spotlight mendapat Oscar, Mitchell Garabedian menerima telepon dari salah satu korban yang selama ini membisu. Mitchell menjadi pengacara bagi para korban kekerasan seksual para pemimpin agama itu.

Para bintang film Spotlight di Independent Spirit Awards
Foto: Getty Images

“Karena Spotlight, para korban mendapatkan kembali keberanian dan kehormatan yang telah dicuri para pastor itu,” kata Mitchell kepada Boston Globe. Jim Scanlan, 54 tahun, salah satunya. Dia menjadi korban kekerasan seksual James F. Talbott, guru merangkap pastor di sekolahnya. Selama puluhan tahun, dia menyimpan “rahasia” itu sendirian. “Menonton film itu membuatku sadar bahwa kita tak perlu malu dengan kejadian tersebut.”

Spotlight membuka mata soal aib di balik jubah pastor, juga menusuk langsung ke jantung otoritas tertinggi Gereja Katolik di Vatikan. Alih-alih segera bertindak, penelusuran tim Boston Globe mengungkap bagaimana selama bertahun-tahun para pemimpin Gereja Katolik menutup mata, bahkan seolah-olah melindungi para pastor paedofil ini.

Dua tahun lalu, seperti dikutip Vatican Radio, Paus Fransiskus meminta maaf atas “semua kerusakan yang disebabkan oleh para pastor, yang telah melecehkan secara seksual anak-anak itu”. Paus Fransiskus juga membentuk Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak-anak di Bawah Umur. Ketua komisi ini adalah Kardinal Boston, Sean O'Malley. Setahun sebelumnya, Paus Fransiskus juga telah melawat ke Boston.

Banyak hal sudah dilakukan, banyak dana dikeluarkan oleh Vatikan dan Gereja Katolik, untuk “mengobati” derita anak-anak korban pelecehan seksual di gereja tapi, menurut Phil Saviano, masih jauh dari harapan. “Orang-orang yang dulu berharap banyak pada Paus Fransiskus kini mulai berpikir, ”Ternyata dia tak lebih baik dari pendahulunya,” kata Phil kepada SkyNews.


Gereja Pun Minta Maaf

“Aku telah menugasi pastor yang melakukan kejahatan seksual. Pengampunan dari Tuhan memberiku kekuatan untuk meminta maaf.”

Foto: Guardian

Selasa, 8 Maret 2016

Pada 23 Agustus 2003, para terpidana di Penjara Souza-Baranowski, Lancaster, Massachusetts, baru selesai bersantap siang di dalam sel masing-masing. Selama empat menit, pintu sel terbuka untuk memberi waktu kepada narapidana untuk mengembalikan baki makanan ke troli.

Saat itulah Joseph L. Druce menyelinap ke sel John J. Geoghan, yang hanya berjarak beberapa meter. Joseph dihukum penjara seumur hidup lantaran terlibat dalam pembunuhan. John Geoghan, kala itu sudah 68 tahun, bukanlah lawan seimbang bagi Joseph, saat itu 38 tahun. John Geoghan, mantan pastor di Keuskupan Boston, tak berkutik saat Joseph mencekiknya.

"It doesn't have to happen like this," John Geoghan, seperti dikutip Boston Globe, memohon kepada Joseph. Tapi rintihan John Geoghan tak mengendurkan cekikan Joseph. "Your days are over.... No more children for you, pal," kata Joseph kepada John Geoghan. Petugas penjara tak kuasa menolong John lantaran Joseph sengaja membuat pintu blok macet. John Geoghan tak bisa diselamatkan. Satu setengah jam kemudian, John Geoghan dinyatakan meninggal.

John Geoghan
Foto: Boston Globe

Dihukum sepuluh tahun penjara lantaran terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak, menurut sesama narapidana, mantan pastor di Keuskupan Boston itu kesulitan beradaptasi di dalam penjara. “Dia ingin orang membukakan pintu untuknya. Dia juga ingin berada paling depan dalam antrean,” kata narapidana itu. “Dia masih merasa menjadi pastor.” Padahal Paus Yohanes Paulus II sudah mencabut kepastoran John Geoghan lima tahun sebelumnya.

Tubuhku membeku.
Aku tak tahu apa yang terjadi."

Masalah John Geoghan bisa ditelusuri hingga jauh sebelum kematiannya. John J. Murray, Kepala Seminari Kardinal O'Connell, tempat John Geoghan bersekolah, meragukan kedewasaannya. “Dia memang lulus pada sebagian besar mata pelajaran, tapi aku tetap ragu terhadap kemampuannya menyelesaikan tugas di masa datang,” Murray menulis kepada sesama pastor pada 1954.

John Geoghan sempat kabur dari seminari lantaran mengalami depresi. Namun, berkat sokongan pamannya, Pastor Mark Keohane, Geoghan ditahbiskan sebagai pastor pada 1962. Masalah di seminari selesai, muncul masalah lain yang jauh lebih serius.

Badannya yang kecil, dengan wajah murah senyum, membuat John Geoghan tampak seperti paman baik hati di sebelah rumah. Setiap kali usai memimpin misa, Pastor Geoghan akan menyalami satu per satu anggota jemaatnya dengan penuh kehangatan. “Dia selalu tersenyum lebar.... Hampir selebar wajahnya,” Frank Leary mengenang Pastor Geoghan saat bertugas di Gereja Saint Andrews, Jamaica Plain, Boston, pada 1974. “Ibuku menyukainya. Dia sangat populer.”

Hingga suatu hari Pastor Geoghan menghampiri Frank—kala itu 13 tahun—yang tengah membantu memotong rumput di lingkungan gereja. Pastor Geoghan membawakan Frank segelas limun dingin dan berbisik di telinga anak itu bahwa dia punya koleksi prangko di kamarnya. Setengah memaksa, Pastor Geoghan mengajak Frank ke kamarnya.

“Sini, aku tunjukkan sesuatu,” kata Pastor Geoghan, dikutip Boston Globe, sembari menyuruh Frank duduk di pangkuannya. John Geoghan menaruh tangannya di lutut Frank. Pertemuan itu terus berulang dan tangan Pastor Geoghan tak lagi hanya singgah di lutut. “Tubuhku membeku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tubuhku gemetar. Aku merasa sangat aneh,” kata Frank.

Frank Leary bukan satu-satunya anak yang menjadi korban perilaku seksual menyimpang John Geoghan selama lebih dari 30 tahun menjadi pastor. Ada ratusan anak yang harus hidup menanggung trauma. Pada akhir 2002, Keuskupan Boston sepakat dengan 86 keluarga korban untuk memberikan ganti rugi senilai US$ 10 juta atau Rp 131 miliar dengan nilai tukar hari ini.

***

Foto: LibNeu

Foto: Minnesota Radio

Bagi teman-teman dan jemaatnya, John Geoghan lebih akrab dikenal sebagai “Father Jack”, pastor yang ramah dan disukai banyak orang. “Penampilannya mirip anak-anak altar,” kata Maryetta Dussourd, salah satu anggota jemaatnya. Gara-gara terkecoh penampilan “Father Jack”, anak-anak Maryetta jadi korban. “Segala hal yang kami ajarkan kepada anak-anak soal Tuhan, kepercayaan, dan keamanan jadi hancur.”

Selama bertahun-tahun, gereja menyembunyikan “dosa” Pastor John Geoghan dan pastor-pastor lain yang punya masalah sejenis. Bertahun-tahun pemimpin gereja beranggapan bahwa “kelainan seksual” pastor-pastor itu adalah penyakit yang bisa disembuhkan.

“Kamu telah memberikan pelayanan yang baik, tapi sungguh sayang terganggu oleh penyakitmu.... Atas nama mereka yang telah kamu layani dengan baik dan atas nama pribadi, aku ingin mengucapkan terima kasih,” Bernard F. Law, Uskup Boston, menulis surat kepada John Geoghan pada 1996, bertahun-tahun setelah dosa “Father Jack” mulai terungkap. “Aku paham betapa menyakitkannya situasimu.... God bless, you, Jack.”

Tapi Keuskupan Boston tak memberikan sanksi, hanya memindahkan pastor-pastor seperti John Geoghan dari satu gereja ke gereja lain. Pastor Thomas V. Daily dari Keuskupan Boston malah meminta Maryetta tutup mulut, tak mengungkap dosa John Geoghan. “Apakah kamu sadar apa yang bakal kamu ambil dari Pastor John jika kamu mengungkap dosanya ke publik,” kata pastor Thomas kepada Maryetta.

Foto: Bishop Accountability

Atas perintah Kardinal Humberto Medeiros, John Geoghan diminta menjalani konseling dan terapi kejiwaan dengan Robert Mullins dan John H. Brennan. “Aku merasa seperti baru ditahbiskan menjadi pastor,” kata John Geoghan setelah dua dokter itu memberikan “lampu hijau” bahwa Pastor John “aman” untuk kembali bertugas di gereja.

Belakangan, tim investigasi harian Boston Globe menemukan bahwa Dr Robert bukanlah psikiater, melainkan dokter umum. Dr John H. Brennan memang seorang psikiater, tapi punya catatan buruk. Dia pernah digugat atas pelecehan seksual oleh pasiennya. Terbukti pula bahwa rekomendasi kedua dokter itu tak akurat. Pastor Geoghan masih terus mencari korban. Patrick McSorley, 12 tahun, salah satunya.

Pada pertengahan 1989, Keuskupan Boston memutuskan Pastor Geoghan “beristirahat sementara” dan menjalani perawatan di Institute of Living. “Pasien memberi jaminan kepada kami bahwa sekarang dorongan paedofilia itu bisa dikendalikan,” Dr Robert Sword menulis laporan soal John Geoghan.

Setelah tiga bulan melakukan perawatan, rumah sakit memberi lampu hijau kepada John Geoghan untuk bertugas. “Kemungkinan dia bakal mengulang kembali perbuatan seksualnya sangat rendah. Tapi kami tak bisa memberi jaminan kejadian itu tak terulang,” dokter di Institute menulis.

Dan benar, kurang dari dua tahun setelah dinyatakan “waras”, Pastor Geoghan kembali mengulang perbuatannya. Kali ini keluarga korban menyeretnya ke polisi. Keuskupan Boston tak memberinya ampun lagi. “Dia seorang paedofil, seorang pembohong, dan tukang manipulasi,” kata Pastor Brian M. Flatley dari Keuskupan Boston.

Paus Fransiskus saat melawat ke Amerika Serikat.
Foto: Catholic Sun

Bertahun-tahun kemudian, Kardinal Bernard Law mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya. Sebagai pemimpin Gereja Katolik di Boston, menurut Kardinal, mestinya dia bisa menghentikan kejahatan John Geoghan.

“Aku telah menugasi pastor yang melakukan kejahatan seksual. Pengampunan dari Tuhan memberiku kekuatan untuk meminta maaf kepada mereka yang telah menderita akibat apa yang aku lakukan.... Sekali lagi aku mengakui bahwa apa yang aku putuskan adalah kesalahan.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.