INTERMESO

Jejak Sutami di Gedung MPR/DPR

Kubah berwarna hijau, oleh arsiteknya, diibaratkan kepakan sayap burung. Ditemukan dari cetakan kue serabi.

Foto: Screenshot video 20detik

Selasa, 19 April 2016

Selain Jembatan Semanggi, gedung MPR/DPR, yang berbentuk kubah berwarna hijau, pun diakui banyak pihak sebagai salah satu karya monumental Ir Sutami. Berkat kepiawaian dan kecermatannya, pembuatan kubah itu dapat terwujud seperti sekarang ini. Kompleks MPR/DPR itu merupakan hasil rancangan arsitek lulusan Berlin, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan salah satu stafnya, Ir Nurpontjo.

Kompleks itu dibangun untuk menggelar Conference of the New Emerging Force (Conefo), dan bangunannya harus bisa menandingi gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Konferensi itu guna menggalang kekuatan di kalangan negara-negara baru untuk membentuk tatanan dunia baru.

Video: Tri Aljumanto/20detik

“Hal menarik dan unik dari kompleks itu adalah gedung kubah warna hijau. Itu bisa dibangun tanpa pilar-pilar penyangga di bawahnya berkat perhitungan Pak Sutami,” kata Emir Sanaf saat berbincang dengan detikX di Bandung, Kamis, 14 April 2016. Insinyur sipil lulusan Institut Teknologi Bandung pada 1971 itu punya kedekatan khusus dengan Sutami, sehingga dianggap sebagai anaknya.

Gedung kubah warna hijau itu bisa dibangun tanpa pilar-pilar penyangga di bawahnya berkat perhitungan Pak Sutami."

Pemancangan tiang pertama pembangunan kompleks Conefo itu dilakukan pada 19 April 1965. Padahal konferensi internasional sudah harus digelar setahun kemudian. Sebagai pelaksana lapangan, Sutami menyanggupi pembangunan kompleks itu dalam tempo setahun. Untuk mempercepat penyelesaian, Bung Karno mengontak Uni Soviet dan RRC guna membantu pendanaan. Beberapa kapal pengangkut bahan bangunan berdatangan dari RRC.

Menurut arsitek Budi A. Sukada dalam buku Membuka Selubung Cakrawala Arsitek Soejoedi, Soejoedi menerapkan pola pemikiran arsitek Prancis, Le Corbusier, dalam merancang kompleks MPR/DPR tersebut. Dia memasukkan fungsi-fungsi utama sebuah kawasan political venues, yaitu persidangan, sekretariat, dan kegiatan pendukung.

Foto: Tri Aljumanto (Detik TV)

Foto: Tri Aljumanto (Detik TV)

Foto: Tri Aljumanto (Detik TV)

Atap gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap. Semula atap akan berbentuk kubah murni. Tapi Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan hal itu akan memunculkan masalah serius. Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah. Satu saja di antara tiang tersebut melorot akan menimbulkan akibat berantai. Seluruh kubah bakal mengalami keretakan, pecah, dan akhirnya runtuh. Selain itu, pemakaian kubah murni memerlukan banyak tiang penyangga, yang akan mengganggu pembagian ruang-ruang sidang di lantai dasar.

Ketika pengecoran atap kubah, tak kurang dari 27 ribu orang terlibat langsung siang-malam seperti armada semut."

Dalam keadaan mendesak, Soejoedi menugasi Nurpontjo untuk membikin maket kubah alternatif. Sebagai insinyur muda yang baru lulus dari ITB, Nurpontjo pun kelabakan. Hingga suatu saat dia memotong cetakan kuali untuk kue serabi menjadi dua bagian. Tujuannya adalah menghasilkan bentuk kubah yang tidak retak. Percobaan belum tuntas, Soejoedi telanjur datang dan melihatnya.

“Wah, bagus ini! Akan saya tanyakan kepada Pak Sutami sebagai pelaksana teknis apakah bentuk seperti ini bisa terealisasi,” ujar Nur mengenang seperti ditulis Intisari edisi Oktober 1991.

Ternyata Sutami, yang kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya, menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda dengan prinsip struktur kantilever pada pesawat tebang. Dia malah berani menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk struktur ini masih dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, yang berfungsi sebagai badannya adalah dua buah busur beton yang dibangun berdampingan dan akan bertemu pada satu titik puncak.

Demo mahasiswa digedung DPR pada 1998
Foto: Choo Youn-Kong/AFP


Foto: Kemal Jufri/AFP

Foto: Kemal Jufri/AFP

“Ketika pengecoran atap kubah, tak kurang dari 27 ribu orang terlibat langsung siang-malam seperti armada semut,” tutur Nurpontjo.

Keberhasilan Sutami sebagai pelaksana proyek dan juga turut andil dalam merealisasi atap berbentuk kubah mengundang pujian dari gurunya semasa di ITB, Ir Roosseno. Ahli beton itu mengakui gedung Conefo sebagai karya besar Sutami.

“Kehebatan dia adalah kemampuan organisatorisnya. Membangun gedung sebesar itu, dengan bentuk kubah raksasa yang unik, pengalaman belum dimilikinya, dan dengan segala keterbatasan pada waktu itu, ditambah lagi dengan singkatnya waktu yang diberikan oleh Bung Karno, adalah sebuah tantangan besar bagi seorang insinyur muda seperti Sutami,” tutur Roosseno seperti diceritakan kembali oleh Hendropranoto Suselo, yang pernah menjadi salah satu staf Sutami di Departemen Pekerjaan Umum.

* * *

Gonjang-ganjing politik pasca-Gerakan 30 September 1965 membuyarkan segenap ambisi Presiden Sukarno. Cita-citanya menggelar konferensi internasional sebagai tandingan Sidang Umum PBB kandas. Oleh Jenderal Soeharto, sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera, kompleks Gedung Conefo yang sudah jadi itu kemudian dimanfaatkan sebagai gedung MPR/DPR.

Menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, banyak mahasiswa yang menduduki kompleks MPR/DPR. Mereka melakukan aksi di atas kubah itu. Nyatanya, meski sudah berusia lebih dari 30 tahun, konstruksi kubah itu masih kokoh. Kekhawatiran bahwa kubah itu akan ambrol tak terbukti, hingga sekarang.


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.