INTERMESO

Dulu Tanam Ganja
Kini Palawija

Polisi minta helikopter untuk melacak ratusan hektare ladang ganja yang tersembunyi. Karet, kopi, pisang, dan aneka palawija menjadi tanaman alternatif pengganti.

Video: Luthfy Syahban

Rabu, 4 Mei 2016 

Menanam ganja tak cuma memanen rupiah, tapi juga rasa gundah. Begitulah yang diakui Salim, 32 tahun, mantan petani ganja asal Aceh Besar. Jangankan bepergian ke luar desa, menyendiri di dalam rumah pun kerap kali dihinggapi rasa waswas. "Ke mana-mana tidak nyaman, takut ditangkap polisi,” kata Salim saat berbincang dengan detikX beberapa waktu lalu. Bahasa Indonesia yang digunakan Salim sering kali diselingi dengan bahasa Aceh.

Dia dikenal sebagai mantan petani ganja di Desa Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, puluhan kilometer dari Banda Aceh. Lokasi ladang ganjanya berada di perbukitan landai dengan tanah yang subur. Untuk mencapai lokasi, ia mesti berjalan kaki melewati perbukitan terjal, dengan waktu tempuh empat hingga delapan jam.

Salim mengaku bisa mengantongi uang puluhan juta rupiah dengan berladang ganja. Tapi uang berlimpah itu tak bebas dibelanjakan karena takut mengundang syak wasangka berbagai pihak. Akhirnya, sejak beberapa waktu lalu, Salim memutuskan beralih menjadi petani padi. “Uang hasil panen memang tak sebesar panen ganja. Tapi saya sekarang bisa beli motor tanpa takut dicurigai para tetangga dan polisi,” ujarnya.

Uang hasil panen memang tak sebesar panen ganja. Tapi saya sekarang bisa beli motor tanpa takut dicurigai para tetangga dan polisi.”

Terakhir Salim berladang ganja pada 2010. Ia menjual hasil panen ganja kepada seseorang yang biasa mendatanginya langsung. Si pembeli akan memberi 40 persen pembayaran dari harga yang disepakati, dan akan melunasinya bila barang telah diantar ke suatu lokasi yang ditetapkan. "Mereka akan mengambil sendiri barangnya di lokasi tertentu, dan tidak ada urusan lagi dengan saya," ujarnya.

Sekilogram ganja ia tawarkan dengan harga Rp 500-800 ribu. Sekali panen, ia bisa menghasilkan kurang-lebih 1 ton dari luas lahan sekitar 4 hektare. Seperti menanam padi, setiap tahun lahannya bisa dua kali memanen ganja. Bedanya, lokasi menanam ganja selalu berpindah-pindah, dengan cara membuka lahan baru.

Petugas mengamankan puluhan hektare ganja siap panen di Desa Lamteuba, Aceh Besar, Jumat, 1 April 2016.
Foto: Istimewa

Jika situasi tidak kondusif karena banyak razia, otomatis tak akan ada pembeli yang datang. Akibatnya, ganja hasil panen akan dibiarkan begitu saja sampai ada pembeli. "Lagee tapreh boh ara hayot lam krueng (seperti menunggu buah cemara hanyut di dalam sungai), kita hanya menunggu, tidak mencari pembeli," tuturnya.

Salim menyebutkan, dalam satu ladang ganja, mereka bekerja tiga orang, dengan modal Rp 8 juta yang ditanggung bersama. Hasilnya tentu dibagi rata. Untuk menyamarkan aktivitas mereka, di ladang itu, mereka juga menanam cabai, labu, dan tanaman palawija lainnya. "Jangankan polisi, tetangga dan orang satu rumah pun tidak kami beri tahu lokasi ladangnya,” ujar Salim.

Sejak 2003, Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh memberikan pembinaan khusus kepada para petani yang biasa menanam ganja. Mereka dibujuk agar beralih menanam palawija, karet, kopi, kakao, atau pisang.


Di Kecamatan Peusangan Selatan, Bireuen, misalnya, ada tiga kelompok mantan petani ganja yang beralih menanam aneka tanaman tersebut. Total luas lahan mereka mencapai 25 hektare. Semua bibit, pupuk, biaya pembersihan lahan, tenaga penyuluh, hingga uang makan untuk setahun pertama disokong oleh BNN. Selain di Bireuen, BNN memberdayakan para mantan petani ganja di enam kecamatan lain di Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Gayo Lues. Sedangkan untuk pemasaran hasil panen, BNN menjalin kerja sama dengan mitra terkait.

Direktorat Pemberdayaan Alternatif BNN kembali mengajak mantan petani ganja di Kabupaten Pidie Jaya beralih pekerjaan melalui usaha yang legal dan menguntungkan. Guna mewujudkan hal itu, BNN menyerahkan bantuan bibit kopi dan kakao sebagai komoditas unggulan serta bantuan sarana-prasarana.

Jangankan polisi, tetangga dan orang satu rumah pun tidak kami beri tahu lokasi ladangnya.”

Komoditas kopi dan kakao biasanya dalam dua tahun sudah membuahkan hasil. Dengan masa tanam 1-2 tahun, diharapkan tanaman kakao dan kopi akan memberikan pendapatan kepada para petani sehingga mereka tak lagi tergoda untuk menanam ganja di pegunungan. “Untuk mempercepat penghasilan, petani didukung dengan tumpang sari cabai merah dan sayur-mayur, yang dalam 3-6 bulan dapat dipanen,” kata Kepala Seksi Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Desa BNN I Nyoman Mertajaya.

Ia menepis anggapan bahwa pemerintah dan BNN menganakemaskan para mantan petani ganja. Pemberian berbagai fasilitas pertanian tersebut, kata Nyoman, didasari oleh kondisi kritis yang dihadapi Aceh saat ini. Sebab, dari data statistik BNN, Provinsi Aceh masih menempati peringkat tertinggi penanaman ganja di Indonesia, yakni mencapai 95 persen.

Salim (kiri) dan Fauzan kini tak lagi menanam ganja dan menggantinya dengan komoditas lain.
Foto: Agus Setyadi/detikcom

Aparat terkait kesulitan menelusuri ladang-ladang ganja karena memang lokasinya berada di pegunungan atau perbukitan yang terjal. Tak aneh bila dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 28 April lalu, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Irjen Husein Hamidi minta bantuan helikopter. Sebab, sejak tsunami 2004, dua helikopter milik Polda yang hancur belum diganti hingga sekarang.

Husein menilai pemusnahan ladang ganja efektif untuk memutus mata rantai peredaran ganja ke wilayah lain, termasuk Jakarta. Karena itu, dibutuhkan helikopter guna memudahkan pelacakan ladang ganja, yang biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau.

"Karena itu, sangat dibutuhkan sarana angkutan udara berupa helikopter. Sudah kami laporkan tadi kepada beliau (Jusuf Kalla), mudah-mudahan ada tindak lanjut ke depan," kata Husein. 



Sejak awal 2016, Polda Aceh secara khusus menggelar Operasi Bersinar (Bersih Narkoba). Hasilnya, hingga akhir Maret tercatat ladang ganja seluas 407 hektare bisa dimusnahkan. Setahun sebelumnya, area ladang ganja seluas 232 hektare telah dimusnahkan.

Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti memimpin pemusnahan ladang ganja di Aceh Besar, 1 April 2016.  
Foto: Hasan Alhabshy/detikcom

Pada awal April, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti memimpin langsung acara pemusnahan ladang ganja di perbukitan kaki Gunung Seulawah Agam, yang bersebelahan dengan Desa Lamteuba. Turut hadir dalam kesempatan itu Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen TNI L. Rudy Polandi, Kepala Polda Aceh Irjen Husein Hamidi, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Raja Nafrizal, dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Nasir Djamil.

Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Oisca Lamteuba, Fauzan, 27 tahun, rekan Salim, mengaku berhenti menanam ganja karena kerap ditipu para cukong yang membeli. “Sudah ditipu, saya harus berurusan dengan polisi pula,” ujarnya.

Ia menanam ganja bukan atas kemauan sendiri, melainkan pesanan para cukong. Tapi Fauzan mengaku lupa nama maupun rupa cukong yang dimaksud. Lahan yang disediakan seluas 1,5 hektare di Pegunungan Lamteuba.


Reporter: Agus Setyadi (Banda Aceh), M. Rizal
Penulis: M. Rizal
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.