INTERMESO

Kiprah Para Istri di Medan Diplomasi

Misi diplomasi di luar negeri tak melulu berisi hura-hura, tapi juga risiko dan bahaya.

Para istri diplomat saat berfoto dengan tentara Panmunjom, perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan.
Foto: dok. pribadi Myra Junor

Rabu, 29 Juni 2016

Lazimnya, para diplomat dan pasangannya tentu sangat mengidamkan penempatan di negara-negara maju, seperti di Eropa. Tapi tidak dengan Lona Tanasale. Ketika suaminya, Charles F. Hutapea, ditempatkan di Prancis pada Maret 2009 sampai April 2013, ia justru mengaku stres. Perempuan berdarah Ambon yang meraih titel sarjana dan master dari Institut Pertanian Bogor itu rupanya sejak remaja punya prasangka tertentu terhadap Prancis. Selain bahasanya yang dianggap sulit, menurut dia, orang Prancis sombong.

“Berbeda dengan kebanyakan orang, yang mengidolakan Paris, saya justru ketakutan membayangkan harus bertahun-tahun tinggal di kota itu. Why Paris, Lord?” tutur Lona saat meluncurkan buku bertajuk Di Balik Gerbang: Inspirasi dari Kisah 7 Pendamping Diplomat pada Selasa, 21 Juni 2016.

Ternyata, setelah dilakoni, selama di Paris Lona justru mempelajari banyak hal baru. Kegemarannya bersepeda memungkinkan dia mengenali tiap sudut kota yang penuh monumen bersejarah dan kekayaan budaya. Begitu banyak informasi yang masuk ke kepalanya sehingga Lona merasa perlu menyalurkannya dalam bentuk tulisan. "Jika tidak, bisa ‘meledak’,” ujarnya disambut tawa hadirin. Hasilnya, pada Desember 2012, ia menerbitkan buku Paris – C'est Ma Vie dan Voila La France: Paris, Si Kota Cahaya pada April 2015.

Lewat kedua buku itu, Lona tak cuma memotret obyek-obyek wisata di Paris dan Prancis pada umumnya. Lebih dari itu, dia mengajak pembaca berkenalan dengan warga Prancis dan budayanya yang khas.

Lona bersama suami dan kedua anaknya di sekitar Menara Eiffel, Paris.
Foto: dok. pribadi Lona

Syifa, Lona, Myra, Yasmin Sukmawira, Angela, dan Utami seusai acara peluncuran buku Di Balik Gerbang, Selasa, 21 Juni 2016, di gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta.
Foto: Sudrajat/detikX

Lain lagi dengan Myra Nadya Dyar atau Myra Junor. Mantan penyiar ANTV itu begitu antusias saat suaminya, Eko Junor, mendapat penugasan di Pyongyang, Korea Utara, pada 2001-2003. Padahal, bagi sebagian diplomat dan keluarganya, penempatan ke negeri komunis itu mungkin dinilai jauh dari prestise. “Pyongyang negeri komunis yang punya senjata nuklir itu, kan?” ujarnya mengulang responsnya saat pertama kali mendapat kabar tersebut. Gaya sok tahunya membuat hadirin yang memenuhi ruang Palapa, gedung Kementerian Luar Negeri, siang itu kembali tertawa.

Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-il, begitu menghormati Megawati dengan mendatangi delegasi Indonesia yang menginap di Wisma Negara Park Hwa Non."

Suasana kehidupan sehari-hari di Korea Utara, kata Myra, serba-abu-abu. Meskipun ada sinar mentari, suasananya tetap terasa kelabu. Bila malam tiba, praktis suasana kota pada umumnya serba-gelap karena aliran listrik diputus. Cuma di lingkungan ekspatriat lampu-lampu tetap menyala karena menggunakan genset.

Sayang, dengan alasan relatif sensitif, Myra tak menuliskan itu semua ke dalam buku Di Balik Gerbang: Inspirasi dari Kisah 7 Pendamping Diplomat. Ia cuma mengisahkan secuil kehebohan staf KBRI dan para pendampingnya menyiapkan rencana kedatangan Presiden Megawati Soekarnoputri pada akhir Maret 2002. Maklum, kunjungan kenegaraan itu merupakan yang pertama kali dilakukan Indonesia sejak kunjungan Presiden Sukarno pada 1964.

Salah satu yang membuat mereka sangat sibuk adalah menyiapkan aneka hidangan. Karena pasokan makanan di sana benar-benar terbatas, mereka terpaksa membelinya hingga ke Dandong, Tiongkok, yang berbatasan dengan Korea Utara. Perjalanan ke kota itu ditempuh selama empat jam dengan kereta api. Hal itu masih ditambah dengan pemeriksaan ekstraketat oleh aparat terhadap setiap penumpang.

Marta Sánchez López (ratu pop Spanyol)  dan Angela
Foto: dok. pribadi Angela

Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-il, pun membuat persiapan tak kalah heboh. Ia begitu menghormati Megawati. Kim memberikan penghormatan khusus kepada Megawati dengan mendatangi langsung delegasi Indonesia yang menginap di Wisma Negara Park Hwa Non. “Padahal Kim jarang mau menemui tamu negara Korea Utara di Wisma Negara Hwa Non,” ujar Myra.

Maria Angela Endang Widowati juga punya pengalaman soal mendampingi suami yang bertugas di negeri komunis, tepatnya di Kuba, pada 1996-1999. Di kota itu, tindak kriminalitas cukup memprihatinkan meski jarang menyerang orang asing. Toh, suatu hari, Angela sempat dibuat ketar-ketir karena ada seseorang yang mendekatinya. Dari balik pagar halaman rumahnya, orang itu menawarkan udang. “Karena cemas, saya cepat-cepat membelinya agar dia cepat pergi,” ujar Angela.

Tapi tindakan itu justru mengundang warga lainnya untuk menawarkan barang-barang lain, tak terkecuali cerutu, yang memang produk paling terkenal di Kuba. Rupanya Angela dianggap sebagai konsumen potensial.

Selain di Kuba, ia turut suaminya, T. Satrio Nugroho, ke Peru dan Spanyol. Di Spanyol, Angela memprakarsai pendirian kelas bahasa Indonesia bagi orang asing pada 27 Mei 2011. Hal itu bermula ketika banyak pelajar dan mahasiswa yang mendapatkan program beasiswa ke Indonesia mengeluhkan minimnya tempat kursus bahasa. “Antusiasme mereka membuat saya terharu. Merupakan kehormatan bagi saya mengetahui mereka berkepentingan untuk belajar bahasa Indonesia. Eksotis...,” tulis alumnus IKIP Jakarta yang pernah menjadi editor di penerbit Gramedia itu di halaman 36.

* * *

Bersama  Gubernur Jenderal Australia, Quentin Bryce di kediamannya.
Foto: dok. Myra Junor

Ibu-ibu Dharma Wanita KBRI di Canberra unjuk kebolehan dalam memainkan angklung, yang merupakan alat musik tradisional Indonesia.
Foto: dok. Syifa

Syifa (berkerudung merah) bersama para ibu Dharma Wanita KBRI di Canberra, Australia.
Foto: dok. Syifa

Selain Lona, para penulis buku Di Balik Gerbang: Inspirasi dari Kisah 7 Pendamping Diplomat ini adalah Andis E. Faizasyah (istri Teuku Faizasyah, Dubes RI di Kanada), Maria Angela Widowati Nugroho, Myra Junor, Siti Fatimah alias Syifa Fahmi (istri Fahmi Jamaludin), Nuringtyas Budiharjanti alias Tyas Santoso (istri Budi Santoso), dan Utami A. Witjaksono (istri Witjaksono Adji).

Bentang Pustaka, yang menerbitkan buku ini, membagi 48 cerita ke dalam empat bab (Kegiatan, Yang Unik, Perlu Tahu, dan Wisata). Secara umum, gaya bertutur mereka cukup mengalir sehingga enak dibaca. Maklum, di antara ketujuh penulis, rata-rata bertitel sarjana hingga master. Profesi mereka pun beragam, dari yang berlatar belakang dosen hingga wartawan. Selain itu, beberapa dari mereka memang terbiasa berbagi cerita melalui blog.

Melalui ketujuh pendamping diplomat yang berbagi cerita lewat buku ini pembaca dapat memahami betapa para pendamping itu tak pernah berpangku tangan setiap kali KBRI menggelar hajatan. Mulai dari acara diplomasi kebudayaan, promosi kuliner Nusantara, hingga perayaan hari-hari besar seperti 17 Agustusan, Lebaran, dan Natalan. Lewat buku ini juga pembaca diajak mengintip isi “dapur” misi diplomasi Indonesia, yang tidak melulu berisi hura-hura, tetapi juga mengandung risiko dan bahaya. Dari cerita mereka pula tergambar bahwa profesi diplomat tak selalu serba gemerlap.

“Para istri diplomat tak hanya berperan di balik layar, tapi juga dituntut berpartisipasi di hadapan publik,” tulis June Cahyaningtyas, dosen hubungan internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dalam pengantar buku ini. Kancah diplomasi, masih menurut June, bukan hanya milik para diplomat, tapi juga milik seluruh anggota keluarga yang berjuang memantaskan diri menjadi agen diplomasi. Tak terkecuali para istri/suami dan anak-anak mereka.



Reporter: Tia Agnes Astuti
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.