INTERMESO

Gelombang Pasang Nasionalisme Eropa

"Islamisme merupakan Nazisme dan komunisme untuk masa sekarang."

PEGIDA, organisasi anti-Islam
Foto: Reuters

Senin, 27 Juni 2016

Lisa Ramslog, 70 tahun, mestinya hanya seorang nenek baik hati yang merasa tersentuh melihat penderitaan orang lain. Suatu hari pada September tahun lalu, dari rumahnya di suatu kampung yang sepi di wilayah selatan Denmark, Nenek Lisa melihat serombongan pengungsi yang tampak lunglai kelelahan setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer.

Mereka berjalan terseok-seok di sepanjang jalan raya menuju perbatasan Swedia, sebagian sambil menggendong bayi dan anak-anak. Nenek Lisa bergegas menyalakan mesin mobil sedannya dan menawarkan tumpangan kepada dua pasang suami-istri muda. Ada seorang bayi dan anak kecil bersama mereka.

Nenek Lisa menyetir sendiri mobilnya dan berkendara sejauh sekitar 180 kilometer hingga menyeberang perbatasan Denmark dengan Swedia. "Saat kami melintasi perbatasan, mereka sangat kegirangan dan menangis haru," Nenek Lisa menuturkan pengalamannya kepada Washington Post beberapa pekan lalu.

Kita harus membuat Eropa makin tak menarik bagi pengungsi.... Kita harus mengirimkan sinyal bahwa kita tak bisa menerima pencari suaka, bahkan pengungsi korban perang sekalipun."

Lisbeth Zornig, penulis buku kondang, tengah berada di kota pelabuhan Rodby saat melihat serombongan imigran dari Suriah turun dari kapal. Tanpa ragu, Lisbeth membuka pintu mobilnya dan menawarkan tumpangan kepada mereka. "Aku tak pernah melihat orang yang sangat butuh bantuan seperti mereka di Denmark.... Mereka kelaparan. Mereka kehausan. Mereka hanya punya baju yang menempel di badan," kata Lisbeth.

Lisbeth membawa satu rombongan kecil pengungsi asal Suriah itu ke rumahnya di Kopenhagen. Sang suami sudah menunggu mereka dengan makanan dan minuman hangat. Lisbeth menawari mereka untuk bermalam, tapi rombongan pengungsi itu sudah tak sabar lagi melanjutkan perjalanan. Suami Lisbeth mengantar mereka ke stasiun kereta api tujuan Swedia.

Lisbeth dan suaminya, juga nenek Lisa, hanya menolong orang didorong iba dan empati, tapi bagi pemerintah Denmark, mereka dianggap membantu penyelundupan imigran. Pengadilan menjatuhkan hukuman denda kepada mereka. Lisbeth dan suaminya masing-masing harus membayar denda 22.500 krone atau sekitar Rp 45 juta. Ada ratusan warga Denmark yang senasib dengan mereka.

Protes menolak imigran di Jerman
Foto: Brock Press

"Aku bangga dengan apa yang aku lakukan dan sama sekali tak menyesal," kata Nenek Lisa. Menurut Lisbeth kepada Guardian, vonis dari Pengadilan Kota Nykobing Falster itu sama sekali tak berdasar. Menurut Protokol Penyelundupan Manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penyelundup manusia didorong motivasi keuntungan finansial atau material. "Aku sangat marah karena apa yang kami kerjakan hanyalah hal yang sepantasnya kami lakukan. Sekarang mereka menghukum kami atas tindakan itu."

Setelah kekalahan Partai Sosial Demokrat dalam Pemilihan Umum setahun lalu, haluan salah satu negara paling makmur di dunia ini makin condong ke kanan, tambah nasionalis, dan semakin kurang ramah terhadap para imigran dan pengungsi dari Timur Tengah serta Afrika. Pada September tahun lalu, Kementerian Imigrasi Denmark memasang iklan serentak di empat surat kabar di Libanon. Lewat iklan itu, pemerintah Denmark mengabarkan pemotongan tunjangan bagi pengungsi yang baru datang hingga tinggal separuhnya.

Berselang tiga bulan kemudian, parlemen Denmark, yang dikuasai partai-partai sayap kanan, seperti Partai Rakyat Denmark dan Venstre, meloloskan peraturan yang memberi kewenangan kepada aparat pemerintah untuk menyita uang dan barang-barang berharga milik pengungsi.

"Tujuannya, agar makin sedikit orang yang akan datang ke Denmark," kata Martin Henriksen, juru bicara Partai Rakyat, kepada CNN. Tapi, di mata Wiebke Keson, relawan di pusat penampungan pengungsi, kebijakan pemerintah Denmark itu mengingatkannya terhadap tindakan Partai Nazi Jerman merampas harta milik keluarga Yahudi.

* * *

Peta partai nasionalis di Eropa
Foto: BBC

Biasanya gedung Zentralgasthof di Kota Weinbohla, tak jauh dari Kota Dresden, Jerman, selalu ramai pengunjung hanya saat ada pertunjukan kabaret. Tak sarinya, pada akhir November hampir dua tahun lalu, gedung itu penuh pengunjung sekalipun tak ada kabaret yang tengah naik panggung.

Di luar gedung Zentralgasthof, puluhan orang menggelar protes. Mereka datang untuk menentang Thilo Sarrazin, mantan eksekutif Bank Sentral Jerman dan penulis buku Deutschland schafft sich ab. Artinya kurang-lebih Jerman tengah menghapuskan dirinya sendiri. Dalam bukunya yang laris manis di pasar itu, Thilo menyangsikan keberhasilan kebijakan imigrasi dan multikultural Jerman.

“Mereka yang percaya kepada Thilo juga percaya bahwa bumi ini datar,” seorang peserta protes anti-Thilo menulis di posternya seperti dikutip Der Spiegel. Namun, di dalam gedung Zentralgasthof, ada ratusan orang yang menyimak pidato Thilo dengan takzim. Di antaranya Siegfried Däbritz, 40 tahun, dan Thomas Tallacker, 47 tahun.

Poster dari Partai Rakyat Swiss (SVP) yang menebarkan prasangka kepada muslim
Foto: Square Space

Dabritz, yang bekerja sebagai petugas keamanan, dan Tallacker, desainer interior, sudah tuntas melahap buku anti-imigrasi di Jerman karya Thilo. Tapi membaca buku saja tak cukup bagi Dabritz dan Tallacker. Keduanya butuh aksi, butuh bertindak. Sejak beberapa bulan lalu, bersama Lutz Bachmann, mereka menggalang protes menentang kebijakan imigrasi Jerman yang begitu terbuka terhadap para imigran Islam dari Timur Tengah dan Afrika.

Pada mulanya hanyalah video di YouTube. Pada 10 Oktober 2014, Bachmann, pemilik studio fotografi kecil di Kesselsdorf, kota kecil yang hanya berjarak 18 menit dengan mobil dari Dresden, mengunggah video menampilkan sejumlah orang yang tengah menggalang dukungan bagi para milisi Kurdistan dalam melawan milisi Negara Islam alias ISIS. Dia juga membuka kelompok diskusi di Facebook yang dia beri nama ”Eropa yang Damai Melawan Islamisasi Barat”.

Beberapa hari kemudian, Dabritz menulis komentar di kelompok diskusi Facebook itu. “Kami akan berkumpul untuk melawan perkembangan islamisasi di negeri kami. Kami tak menginginkan teroris, kelompok Islam, membawa perang agama mereka di jalan-jalan di negara kami. Kami anti-ISIS, milisi Kurdistan, Al-Qaidah, dan lainnya.”

Kelompok nasionalis sayap kanan Jerman memprotes kebijakan imigran Kanselir Angela Merkel di Berlin, Mei 2016.


Foto: Getty Images

Lutz Bachmann, Kathrin Oertel, Dabritz, dan Tallacker. Mereka inilah sebagian penggerak utama “Patriot Eropa Melawan Islamisasi Barat” alias PEGIDA, penjelmaan dari forum Facebook ”Eropa yang Damai Melawan Islamisasi Barat”. Dari semula hanya puluhan orang, berkembang menjadi ratusan orang, dan terus membesar. Demonstrasi anti-islamisasi di Dresden pada Januari 2015 dihadiri lebih dari 25 ribu orang. Di sejumlah kota di Jerman, protes PEGIDA juga diikuti ribuan orang. Dari Jerman, bola api gerakan anti-Islam dan imigran ini terus menggelinding melewati batas-batas negara Eropa.

Hari-hari ini, sentimen nasionalisme dan anti-imigran sedang pasang di sejumlah negara Eropa. Di Polandia, Austria, Denmark, Hungaria, dan Swiss, partai-partai politik nasionalis sayap kanan mendapatkan suara lebih dari 20 persen dalam pemilihan umum dengan menunggang "gelombang" banjir imigran dan krisis ekonomi.

Di Prancis, Jerman, Swedia, Finlandia, dan Italia, suara-suara penyokong partai sayap kanan, seperti Front Nasional-Prancis, Partai Demokrat Swedia, dan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), makin besar. Dukungan terhadap partai-partai ini terus menggelembung dengan meniupkan sentimen anti-imigran, anti-Islam, anti-elite, dan anti-Uni Eropa. "Islamisme merupakan Nazisme dan komunisme untuk masa sekarang," Jimmie Akesson, pemimpin muda Partai Demokrat Swedia, berorasi saat berkampanye. Partai Demokrat menguasai 14 persen kursi di Riksdag, parlemen Swedia.

Protes menentang imigran Islam dari Timur Tengah di Polandia
Foto: Reuters

Pada Oktober tahun lalu, partai berhaluan kanan Partai Rakyat Swiss (SVP) berhasil menggaruk kursi terbanyak di parlemen. "Suara ini sangat jelas.... Rakyat khawatir akan banjir imigran ke Eropa," kata Toni Brunner, pemimpin SVP, kepada Reuters. "Kita harus membuat Eropa makin tak menarik bagi pengungsi.... Kita harus mengirimkan sinyal bahwa kita tak bisa menerima pencari suaka, bahkan pengungsi korban perang sekalipun."

"Ancaman" banjir imigran juga memberi suntikan energi bagi partai sayap kanan, Partai Kebebasan Austria. Pada putaran kedua pemilihan Presiden Austria akhir Mei lalu, suara yang didapat Norbert Hofer, kandidat Presiden dari Partai Kebebasan, hanya berselisih 30 ribu suara dari lawannya, Alexander van der Bellen.

Kekalahan Norbert Hofer sangat melegakan Muhannad Mohammad, 20 tahun, imigran asal Turki. "Dia tidak suka orang-orang Islam. Dia menganggap kami semua ini teroris," kata Muhannad.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.