INTERMESO

Gara-gara
Banjir Imigran

"Bebasnya pergerakan manusia antarnegara berujung pada bebasnya pergerakan senapan Kalashnikov, bebasnya pergerakan teroris dan ‘jihadis’."

Bendera Uni Eropa dengan lubang menganga berkibar setengah tiang di Knutsford, Inggris, seusai referendum.
Foto: Getty Images

Senin, 27 Juni 2016

Dalam setiap perceraian, hampir pasti selalu ada yang jadi korban. Demikian pula saat 51,9 persen warga Inggris memutuskan "bercerai" dari Uni Eropa, Kamis pekan lalu.

Keluarga Iwona Eriksson hanya satu di antara ribuan, mungkin jutaan, orang yang bakal jadi "korban" perceraian Inggris dari Uni Eropa. "Aku merasa terpukul dan sangat emosional mendengar kabar itu," kata Iwona kepada BBC. Satu tangan Iwona sibuk menggendong anak perempuannya yang masih kecil. "Aku tak percaya dengan mataku sendiri. Aku pikir lebih dari setengah warga Inggris adalah rasis. Aku tak pernah merasa didiskriminasi hingga hari ini."

Iwona pantas merasa tak keruan mendengar kabar itu. "Aku tak akan bertemu dengan suamiku tanpa Uni Eropa karena kami dipertemukan lewat program Erasmus. Anak kami adalah bayi Uni Eropa," kata Iwona. Iwona lahir dan tumbuh-besar di Polandia, sementara suaminya keturunan Inggris-Australia.

Setelah mendengar hasil referendum, Iwona dan suaminya menimbang-nimbang untuk hijrah ke Australia. Iwona merasa bukan lagi bagian dari Inggris. "Apalagi partai sayap kanan makin kuat di Inggris, Prancis, dan Polandia. Aku takut inilah akhir dari rasa aman di Eropa," kata Iwona.

Nigel Farage, pemimpin Partai Kemerdekaan, saat berbicara di hadapan wartawan 
Foto: Getty Images

Setelah Polandia diterima menjadi anggota Uni Eropa dan masuk dalam kesepakatan Schengen pada akhir 2007, ada lebih dari 2 juta warga Polandia mencari nafkah di negara-negara Uni Eropa. Sebagian besar dari mereka memilih tinggal di Inggris. Kini keturunan Polandia menjadi warga asing kedua terbesar di Inggris setelah India.

Aku mengerti frustrasi yang mereka tanggung. Mereka pikir orang-orang Polandia mencuri lapangan kerja mereka."

Sepanjang Jalan Erdington, sekitar 7 kilometer arah utara dari pusat Kota Birmingham, merupakan rumah bagi komunitas warga Polandia terbesar di kota itu. Brexit, keluarnya Inggris dari Uni Eropa, membuat warga Polandia di jalan itu kebingungan. Apakah mereka harus segera angkat kaki dari Inggris?

Wioleta Szatkowska, 32 tahun, sudah sepuluh tahun tinggal, menikah, dan bekerja di Inggris. Dia tumbuh besar di Gdansk, Polandia. "Jika kami harus pulang, ke mana harus pulang? Kami tidak punya rumah di sana," kata Wioleta. "Suamiku ada di sini. Anakku juga bersekolah di sini." Inggris sudah jadi rumah bagi keluarga itu. Wioleta menduga Inggris kurang berpikir panjang saat memutuskan "bercerai" dari negara-negara lain di Uni Eropa. "Apa yang akan terjadi jika kami semua pergi? Siapa yang akan menyelesaikan pekerjaan kami?"

Martin Anderson, 45 tahun, datang dari wilayah Silesia di Polandia sepuluh tahun lalu. Dia benar-benar tak menyangka warga Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa. "Semula aku sangat yakin Inggris akan tetap bersama Uni Eropa," kata Martin. Sekarang dia tengah mempertimbangkan untuk pindah rumah ke Tenerife, Spanyol.

Dia paham mengapa sebagian warga Inggris ingin berpisah dari negara-negara Uni Eropa. "Aku mengerti frustrasi yang mereka tanggung. Mereka pikir orang-orang Polandia mencuri lapangan kerja mereka," kata Martin. Dia tak percaya bahwa itulah yang terjadi. "Saat kami datang ke sini, begitu banyak lowongan pekerjaan di Inggris. Kalaupun kami pergi, aku juga tak yakin warga Inggris mau menggarap semua pekerjaan yang kami tinggalkan."

* * *

Pada Jumat pekan lalu, Kota Oxford tengah "berduka". Sekitar 70 persen warga kota itu memilih Inggris tetap bersama Uni Eropa dalam referendum sehari sebelumnya.

Sekelompok anak muda memprotes hasil referendum Brexit di depan kantor Perdana Menteri Inggris.
Foto: Getty Images

Pintu Kafe Saint Giles di kampus Oxford tertutup rapat sepanjang hari itu. Hanya ada secarik kertas tertempel di pintu bertulisan "No EU, no Cafe. Closed in protest of EU vote". Menurut Kathleen Lawton Trask, warga Amerika yang lama bermukim di Oxford, rata-rata warga kota itu tak menyangka hasil referendum bakal berbeda dengan pilihan mereka.

Hanya beberapa hari setelah referendum, di sejumlah kota di Inggris muncul coretan-coretan bernada kebencian dan intimidasi terhadap orang asing. Agata Brzezniak, mahasiswi doktoral asal Polandia, kepada Independent menuturkan pengalaman kurang mengenakkan hanya beberapa jam seusai pemungutan suara.

Menurut Agata, seorang perempuan mendatanginya dan memperingatkan dia supaya "merasa ketakutan" dan "kalau ingin aman, buru-buru mengajukan permohonan visa". Padahal dia sudah delapan tahun tinggal di Inggris. "Inggris sudah seperti rumah bagiku," kata Agata. Dia khawatir kejadian seperti itu bakal makin sering terjadi.

Kekhawatiran, kebencian, sekaligus ketakutan terhadap imigran dan orang asing sepertinya sudah lama dipendam sebagian warga Inggris. Zack Beauchamp menulis di Vox, bukan masalah ekonomi yang jadi alasan mengapa warga Inggris memilih perceraian dari Uni Eropa. Ketakutan terhadap para pendatanglah yang jadi alasan utamanya.

Sejak bertahun-tahun lalu, Nigel Farage, pemimpin Partai Kemerdekaan, penyokong utama perceraian Inggris dari Uni Eropa, gembar-gembor tentang "ancaman" dari warga asing dan imigran Islam. Nigel mengklaim tak anti-imigran, tapi ada "sisi gelap" dari banjir imigran ke Inggris.

Kota London, misalnya, harus berurusan dengan "gelombang bandit dari Rumania". Lebih dari 92 persen kejahatan di mesin uang tunai, kata Nigel, terkait dengan bandit-bandit dari Rumania. "Kita tak boleh menerima penjahat-penjahat itu dan siapa pun yang tersangkut kejahatan harus dideportasi. Apakah Anda menyimak Mister David Cameron, Mister Edward Miliband?" Nigel berpidato dalam konferensi Partai Kemerdekaan di London, tiga tahun lalu, dikutip Independent.

Mister Nigel juga sudah lama memendam prasangka terhadap para pendatang muslim. Menurut Nigel, para imigran muslim ini tak sepenuhnya loyal terhadap Inggris. Mereka punya loyalitas terbelah yang bertentangan, antara loyalitas terhadap Inggris dan loyalitas terhadap perintah agama.

Pendukung Inggris tetap bersama Uni Eropa duduk lesu di depan kantor Perdana Menteri Inggris.
Foto: Getty Images


"Aku pikir kita telah sampai pada titik untuk mengakui bahwa di Inggris, di Prancis, dan di negara-negara Eropa lain, imigrasi massal dan hubungan antarbudaya itu telah gagal," kata Nigel kepada Guardian, setahun lalu. Kebijakan untuk membuka pintu lebar-lebar bagi para imigran muslim seperti yang diterapkan Uni Eropa, menurut dia, telah menjadi ancaman keamanan lantaran para teroris yang menyelundup sebagai imigran. "Bebasnya pergerakan manusia antarnegara berujung pada bebasnya pergerakan senapan Kalashnikov, bebasnya pergerakan teroris dan ‘jihadis’.”

Sebelum pemberlakuan Kesepakatan Schengen pada 1995, imigrasi tak jadi soal bagi Inggris. Rata-rata per tahun warga asing yang datang ke Inggris tak pernah melampaui 100 ribu orang. Warga asing yang tinggal di Inggris, menurut riset Cinzia Rienso dari Universitas Oxford, juga tak pernah lebih dari 2 juta orang.

Tapi, sejak "pintu" Schengen membebaskan warga sesama anggota kesepakatan untuk hijrah tanpa perlu paspor dan visa, jumlah warga asing di Inggris melonjak menjadi 5 juta orang. Jumlah keturunan warga asing yang lahir di Inggris juga berlipat dua menjadi 8,3 juta orang selama periode 1993 hingga 2014.

Apalagi setelah negara-negara Eropa Timur, seperti Polandia, masuk di area Schengen, arus imigran ke Inggris makin kencang. Bagi Nigel Farage dan para penyokong Brexit, seperti Boris Johnson, mantan Wali Kota London, tak ada jalan lain untuk menghentikan gelombang besar imigrasi kecuali dengan keluar dari Uni Eropa. "Mari kita ingat tanggal ini dalam sejarah sebagai Hari Kemerdekaan kita," kata Nigel Farage menyambut hasil referendum Brexit.

Para pendukung perceraian Inggris dari Uni Eropa
Foto: Independent

Pemimpin-pemimpin partai politik sayap kanan di sejumlah negara Eropa yang sehaluan dengan Nigel Farage turut merayakan keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Begitu hasil referendum diumumkan, Marine Le Pen, pemimpin Front Nasional Prancis, segera menyampaikan ucapan selamat. "Kejayaan untuk kebebasan! Seperti aku minta selama bertahun-tahun, sekarang kita perlu melakukan referendum yang sama di Prancis dan negara-negara Uni Eropa lain," Marine menulis di Twitter.

Bola api itu sudah mulai menggelinding. Marine; Norbert Hofer, bekas kandidat Presiden Austria dari Partai Kebebasan; Geert Wilders, pemimpin Partai untuk Kebebasan-Belanda; juga Partai Rakyat di Slovakia satu suara mengusulkan referendum di negaranya untuk menentukan apakah mereka tetap bersama atau mengucapkan sayonara kepada Uni Eropa. "Sekarang waktu yang tepat untuk meninggalkan kapal Uni Eropa yang mulai karam," pejabat Partai Rakyat Slovakia menulis di Twitter, dikutip Reuters.

Para pemimpin Uni Eropa terus berhitung apa dan sejauh mana dampak dari Brexit. "Sekarang saatnya menciptakan Eropa yang baru," kata Manuel Valls, Perdana Menteri Prancis. Yang langsung terlihat adalah rontoknya indeks bursa saham dan nilai mata uang Inggris.

Beberapa warga Inggris yang semula menyokong perceraian mulai menyesal. "Salah seorang kerabatku pilih menyokong ‘Leave’, dan sekarang dia menyesal," Taryn Harding menulis di Twitter. Demikian pula Mandy Suthi dan keluarganya di London. "Meskipun sebagian besar dari kami memilih ‘Leave’, tapi kami menyesalinya sekarang." Penyesalan, apa boleh buat, memang selalu datang belakangan.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.