INTERMESO

Suami Diplomat, Bermusik hingga 'Ternak Teri'

Para suami yang mendampingi istri sebagai diplomat lebih dilematis karena mereka tak boleh bekerja.

Komunitas Duta Budaya Canberra tengah berlatih angklung.
Foto: dok. Duta Budaya Canberra

Rabu, 29 Juni 2016

Tetap berkarier cemerlang tapi jauh dari keluarga atau mengorbankannya demi bisa selalu dekat dengan keluarga. Situasi dilematis semacam ini yang kerap dihadapi para pendamping diplomat, baik dari sisi istri maupun suami. Di tengah kondisi sosial-budaya masyarakat kita, keputusan istri mengikuti profesi suami bisa lebih mudah dipahami. Tidak demikian bila suami yang harus nunut pada istri. Apalagi ada ketentuan dari Kementerian Luar Negeri, suami yang mendampingi istri tak boleh bekerja di negara tempat sang istri berdinas.

“Kita bekerja kan buat anak. Masak tega lihat istri jungkir balik bekerja dan merawat anak balita sendirian di negeri orang,” tutur Eris Sugiatna alias Eris Gonzales, 49 tahun, saat berbincang dengan detikX, Selasa, 28 Juni 2016.

Mantan pegawai sebuah perusahaan distributor itu pernah mendampingi sang istri, Andalusia Tribuana Tunggadewi, berdinas di Madrid, Spanyol, pada 2000-2004 dan di Canberra, Australia, pada 2009-2012. Semula, dia melanjutkan, memang terasa berat meninggalkan karier yang sudah dirintis bertahun-tahun. Apalagi kalau di kemudian hari mendengar ocehan orang yang masih memandang minor suami yang mengikuti istri. “Tapi saya mah cuek saja. Saya harus berjiwa besar menyikapinya,” kata Eris.

Saya jadi merasa lebih diplomat ketimbang istri karena lebih banyak bergaul dengan berbagai komunitas."

Selama di Madrid dan Canberra, Eris mengaku lebih banyak bergaul dengan beragam komunitas, baik sosial, musik, maupun keagamaan. Ia antara lain mengajar angklung di banyak sekolah di Canberra. “Saya jadi merasa lebih diplomat ketimbang istri karena lebih banyak bergaul dengan berbagai komunitas,” ujar Eris berseloroh.

Para pelajar di Australia tengah berlatih memainkan angklung.
Foto: Erwin Renaldi/ABC International

Husni Pratama
Foto: dok. pribadi

Pada akhir Juli nanti, rencananya Andalusia, yang kini menjabat Kepala Subdirektorat Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri, akan menempati pos baru, yakni Kedutaan Besar RI London. Tapi kali ini Eris menyatakan tak akan ikut mendampingi karena anak-anak sudah besar. “Paling nanti kalau pas liburan saya nengokin mereka,” ujarnya.

Husni Pratama pun dengan legawa berhenti dari ANTV demi mendampingi istrinya, Masriati Lita Saadia, yang mendapat tugas ke Brussel, Belgia, pada Maret 1997. Setahun pertama di negeri orang, praktis waktunya dihabiskan untuk melakukan adaptasi dan orientasi. Apalagi pada tahun pertama usia pernikahan mereka, bayi pertama yang dikandung sang istri ternyata berusia amat singkat. “Praktis hari-hari kami lalui dengan kelabu. Kami cuma bisa saling menguatkan,” ujar Husni.

Beberapa bulan berselang, pasangan itu kembali dirundung duka. Kali ini janin kedua yang dikandung Lita cuma berusia beberapa pekan. Keguguran! Baru pada kehamilan ketiga, mereka mendapatkan anak pertama, yang lahir pada tahun 2000, enam bulan sebelum kembali ke Jakarta. Di Jakarta, lahir anak kedua, Emirio Syauqi Pratama.

Di sela-sela mendampingi sang istri, Husni mengisi waktu dengan memperdalam bahasa Inggris dan Prancis. Ia juga menekuni kembali keasyikannya bermain piano dan saksofon di Gemeentelijke Academie di Zaventem. Semasa kuliah, ia bergabung dengan Orkes Simfoni Universitas Indonesia, Mahãwãditra, sebagai pemain flute dan saksofon. Husni juga menemukan ruang untuk berekspresi di dapur. “Sejak SMP saya sudah hobi masak, di Brussel itulah saya benar-benar melakukan eksplorasi,” ujar alumnus Sastra Jerman Universitas Indonesia, 1990, itu. Memasak gudeg kini biasa dilakukan bagi keluarganya.

Membuat cake kerap dilakukan saat di Manila, Filipina, pada kurun waktu 2004-2008. Ayah dua anak ini biasa mengemas dan mengantar sendiri kue bikinannya itu kepada para kolega istrinya yang merayakan Natal. “Saya biasanya masak malam hari, saat istri dan anak-anak sudah tidur, biar enggak terganggu,” ujarnya.

Husni Pratama dan tiga buku hasil terjemahannya dari bahasa Jerman
Foto: dok. pribadi

Eko Prasetio menikmati keramaian final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Foto: dok. pribadi

Selain mengantar-jemput anak-anak, Husni dengan sukarela melatih grup vokal ibu-ibu Dharma Wanita di KBRI. Ia terpilih menjadi koordinator orang tua murid di kelas putri sulungnya, Nardiena Althafia Pratama. “Saya sempat mengajar musik dalam program The Week of Philippines,” ujar Husni, yang Februari lalu baru kembali mendampingi istri berdinas di London sejak 2012.

M. Eko Prasetio, suami Erry Kananga, yang tengah bertugas di Ottawa, Kanada, menilai bertukar peran semacam itu butuh komitmen kuat dari pribadi si suami dan istri. Salah satu pihak tidak merasa lebih tinggi, sebaliknya juga tidak merasa rendah diri. “Insya Allah, dengan komitmen bersama, saya enjoy melakoninya,” ujar Eko.

Sambil kuliah, dia pernah menjalani beragam profesi, mulai news & music director di stasiun radio, studio engineer untuk Yayasan Jurnal Perempuan, user guide translation validator di Nokia Indonesia, media watch-analyst di biro komunikasi strategis, sampai menjadi interpreter-translator di Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Indonesia.

Eko memutuskan melepas pekerjaannya di lingkungan IMF karena rasa bangga dan cintanya pada istri dan anak. Ia paham betul diplomat merupakan profesi sulit dengan persaingan superketat, yang tak semua orang mampu menjalaninya.

Sejak 2006, ia terlatih mengurus Layla Lokatmala, anak sulungnya yang berusia 11 bulan, karena sang istri mendapatkan beasiswa master di Den Haag, Belanda. Ketika Erry mendapatkan tugas ke Cape Town, Afrika Selatan, Eko cuma bisa mendampinginya selama tiga bulan pertama. Ia harus kembali ke Bandung untuk menyelesaikan kuliah di Jurusan Administrasi Negara Universitas Padjadjaran. Begitu rampung, ia kembali mendampingi istri dan berhenti sebagai interpreter di IMF.

Eko Prasetio bersama istri dan anak di Ottawa, Kanada.
Foto: dok. pribadi

 

“Selain menjadi tukang ‘ternak teri’ (anter anak anter istri), saya menjadi relawan pengajar bahasa Indonesia untuk warga Afrika Selatan dan menjadi penabuh gamelan di grup kesenian,” tutur Eko.

Baik Eris maupun Husni sejauh ini tidak punya masalah untuk mendapatkan pekerjaan kembali ketika masa dinas luar negeri sang istri selesai. Eris mengaku perusahaan tempat bekerja semula tetap bersedia menampungnya. “Mungkin karena tahu kompetensi dan reputasi saya, ha-ha-ha…,” ujarnya.

Sedangkan Husni memilih bekerja secara paruh waktu di bidang yang tak jauh dari hobinya bermain musik dan kepiawaiannya sebagai sarjana sastra Jerman. Ia pernah dikontrak khusus untuk mendampingi kelompok band pemula yang akan masuk dapur rekaman. Juga mendapat order menerjemahkan buku-buku novel untuk anak-anak dan remaja hingga buku komputer dalam bahasa Jerman. “Ya, lumayanlah honornya,” ujarnya.

Eko pun tak merisaukan masa depan dan kariernya. Di dunia serbadigital, kata dia, peluang mendapatkan pekerjaan sangat terbuka. “Saya biasa menjadi penerjemah freelance."  


Reporter/Penulis: Sudrajat
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.