INTERMESO

Kami Hispanik,
Kami Muslim

"Keturunan Latin memeluk Islam dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang kelompok etnis mana pun."

Para gadis muslim mengikuti Parade Hispanik di New York pada 2014.
Foto: New York Hijab 

Jumat, 1 Juli 2016

Tujuh tahun lalu, ketika Marina Gonzales memutuskan meninggalkan agama lamanya dan memeluk Islam, seluruh anggota keluarga menjauhinya. Apalagi saat gadis keturunan Nikaragua yang bekerja sebagai perawat di Miami itu mulai mengenakan hijab.

"Mereka memanggilku Talibana," kata Marina kepada WLRN, merujuk pada kelompok Taliban di Afganistan dan Pakistan. "Ibuku tak mau lagi berjalan bersamaku lantaran aku mengenakan hijab."

Menjadi mualaf di komunitas Hispanik di Miami, yang sangat dekat dengan gereja, memang bukan hal yang gampang. Ibu Dario—kini bersalin nama menjadi Najib Sowma—juga shock berat saat putranya memberi tahu bahwa dia telah berpindah agama, memeluk Islam. Keluarga Dario hijrah dari Kuba ke Miami bertahun-tahun lalu.

Senasib dengan mereka, Yusuf Alamo, kini 36 tahun, keturunan Puerto Riko. Teman-teman dan orang-orang di sekitarnya, bahkan keluarganya sendiri, memandangnya dengan aneh ketika dia memeluk Islam sepuluh tahun silam. Ketika Yusuf menikahi seorang perempuan muslim, ayahnya menolak hadir dalam resepsi.

Setelah serangan teroris ke gedung kembar WTC pada 11 September 2001, orang-orang memandang semua muslim di Amerika dengan curiga penuh prasangka."

Tapi perlahan sikap orang-orang di sekitarnya, juga keluarganya, melunak. Menjadi seorang muslim di lingkungan Latin juga bukan lagi hal yang ganjil. "Sekarang, mereka semua, bahkan yang bukan muslim pun, mengucapkan ‘assalamualaikum’ jika bertemu denganku," kata Yusuf. Sikap ibu Dario juga berubah setelah menyaksikan perubahan perilaku anaknya. "Ibuku melihat perubahan besar dalam tingkah lakuku," kata Dario. Sudah pasti perubahan Dario itu adalah perubahan yang positif.

Tak ada angka pasti berapa jumlah muslim keturunan Latin di Amerika Serikat saat ini. Sejumlah media menulis, pada 1997, jumlah pemeluk Islam dari komunitas Latin ini masih berkisar 40 ribu orang. Tapi hari ini ditaksir angka itu sudah berlipat menjadi hampir 200 ribu orang dari sekitar 3 juta muslim di Amerika. Menurut PBS, jumlah muslim dari keturunan Latin ini tumbuh paling pesat ketimbang komunitas muslim lain. “Islam merupakan agama dengan pertumbuhan jumlah umat tercepat di dunia, dan keturunan Latin memeluk Islam dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang kelompok etnis mana pun,” kata Mark Gonzales, sastrawan muslim di California.

Perempuan-perempuan muslim bercengkerama dalam Parade Hispanik di New York, pada 2014
Foto: New York Hijab

Tapi, seperti saudara muslim mereka dari keturunan Asia atau Afrika, muslim Latin juga turut kena getah ulah para teroris yang membajak nama Islam. Shafiq Alvarado, muslim keturunan Latin yang bermukim di Los Angeles, pernah "berurusan" dengan agen-agen Biro Investigasi Federal (FBI) hanya lantaran dia seorang muslim. Kala itu, setelah serangan teroris ke gedung kembar WTC pada 11 September 2001, orang-orang memandang semua muslim di Amerika dengan curiga penuh prasangka.

Suatu siang, Shafiq menerima telepon dari seorang agen FBI. Dia mengatakan ingin bertemu dengan Shafiq. "Yang aku tahu kemudian, aku makan siang dengan agen-agen FBI," Shafiq menuturkan pengalamannya kepada NBC. Tentu saja tak ada makan siang yang gratis. 

Agen FBI mencecar Shafiq dengan rupa-rupa pertanyaan soal keluarganya. "Aku balas bertanya mengapa mereka bisa tertarik denganku." Ternyata, FBI mendapatkan namanya dari teman sekantor. Menurut temannya itu, mungkin Shafiq "tahu sesuatu" soal serangan teroris 11 September. Pertimbangan sang teman, karena Shafiq seorang muslim.

Aku melewati beberapa tahap. Aku pernah menjadi muslimah, tak mengenakan hijab, pergi ke masjid, tapi juga pergi ke pesta-pesta.”

"Sejak hari itu, aku tak terlalu terbuka lagi soal agamaku," kata Shafiq. Dia tak lagi mau berbusa-busa menjelaskan mengapa dia tak menenggak minuman beralkohol atau tak doyan daging babi. "Aku hanya akan mengatakan bahwa aku tak suka babi atau tak minum alkohol, tak lagi beralasan lantaran aku seorang muslim.”

Hari ini, ketika Amerika tengah bersiap menyambut pemilihan presiden baru, saat sebagian warga Negeri Abang Sam terpesona oleh retorika-retorika anti-imigran muslim dan Hispanik dari Donald Trump, muslim keturunan Latin seolah-olah jadi sasaran tudingan telunjuk Mister Trump.

“Yang pertama ada dalam pikiranku adalah mengapa Donald Trump sangat membenciku?” kata Juan Galvin, muslim keturunan Hispanik di Texas, kepada Daily Beast. “Aku merupakan sosok yang mewakili semua yang dia kutuk: Aku keturunan Amerika-Meksiko dan seorang muslim.”

Tapi justru strategi kampanye Trump dengan mengobarkan sentimen negatif terhadap imigran muslim dan Hispanik, menurut Will Giron, muslim Latin asal Kota New York membuat dua komunitas ini bersatu. Mereka punya “musuh” bersama, yakni Donald Trump, kandidat Presiden Amerika yang disokong Partai Republik.

* * *

Keluarga muslim keturunan Meksiko di New Jersey
Foto: CUNY

Ada banyak jalan “menemukan” Islam. Lina—dia minta nama keluarganya tak ditulis—“bertemu” dengan Islam lewat orang tuanya. Mereka memeluk Islam sebelum Lina lahir.

“Aku selalu menjadi seorang Latin dan muslim,” kata Lina kepada Fusion. Ibunya berasal dari Peru dan sering pulang ke kampung halamannya. Di kampung halaman ibunya di Peru maupun di sekitar rumahnya di Los Angeles, kadang Lina seperti orang asing. “Saudara-saudaraku sering berpesta atau clubbing. Mereka tahu aku tidak minum alkohol, tapi sangat sulit untuk bisa membaur dengan lingkungan tanpa kehilangan keyakinan.”

Kalene Santana, 23 tahun, “menemukan” Islam dengan banyak membaca di Internet. Memang ada dua pamannya yang telah memeluk Islam sejak belasan tahun lalu. “Tapi mereka tak pernah memaksaku atau mencoba mengajariku,” kata Kalene kepada Huffington Post. Menurut Kalene, dia lahir di keluarga Katolik, tapi tak pernah merasa sebagai seorang Katolik.

Selama bertahun-tahun Kalene mencari identitas. “Aku melewati beberapa tahap. Aku pernah menjadi muslimah, tak mengenakan hijab, pergi ke masjid, tapi juga pergi ke pesta-pesta,” kata Kalene. “Selama masa-masa itu, aku bahkan tak merasa takut kepada Allah. Apa yang sebenarnya ingin aku lakukan? Aku ingin bersenang-senang, tapi aku merasa berbeda. Aku bingung.”

Toko-toko muslim berdampingan dengan toko lain di Bergenline Avenue, Hudson, New Jersey
Foto: CUNY

Kini iman Kalene makin teguh. Apa pun halangan di depannya, fobia terhadap Islam, diskriminasi, komentar miring soal hijabnya, atau dijauhi teman, dia berusaha tetap menjalankan keyakinannya.

Ujian menjadi seorang minoritas muslim memang berat. Kadang mereka harus “berdamai” dengan sekelilingnya. Isolda Matamoros, 30 tahun, dibesarkan di lingkungan keturunan Nikaragua dan Kristen di California. “Merayakan Paskah bersama sangat penting di keluarga kami…. Kadang aku ikut mereka ke gereja untuk menunjukkan dukungan, tapi hijab yang aku kenakan membuat orang-orang bingung. Sekarang aku tak ikut lagi ke gereja,” kata Isolda.

Saat-saat yang membikin kikuk itu tiba ketika masuk acara bersantap bersama. “Orang-orang Nikaragua sangat suka daging babi…. Dan kadang mereka berusaha memberiku makan daging babi hanya untuk mengujiku,” kata Isolda. Sekarang Isolda selalu membawa daging sendiri jika ada acara serupa. “Aku tak ingin merepotkan siapa pun.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.