INTERMESO

Ada Muslim di
Jantung Zapatista

“Aku lahir sebagai seorang Katolik, kemudian beralih ke Kristen Presbyterian, dan sekarang aku seorang muslim.”

Subcomandante Marcos
Foto: Wikipedia

Jumat, 1 Juli 2016

Kurang-lebih setahun setelah Subcomandante Marcos membacakan Deklarasi Pertama dan Hukum Revolusioner di hutan Lacandon, Negara Bagian Chiapas, Meksiko, Mohammed Nafia terbang dari Granada, Spanyol, dan menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Sombrero.

“Mereka ingin mengambil tanah kita, sehingga tak ada lagi tempat berpijak untuk kaki kita. Mereka ingin mengambil alih sejarah kita, sehingga dunia akan melupakan kita. Mereka menginginkan kita semua mati,” kata Subcomandante Marcos kepada anak buahnya. Selama beberapa bulan, Nafia alias Aureliano Lopez Yruela mengklaim, menunggu Marcos, pemimpin kelompok gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, keluar dari belantara hutan Lacandon. Lewat perantara, Nafia juga melayangkan surat kepada Sang Comandante.

“Kami dari Gerakan Murabitun Dunia mengundang Anda untuk duduk bersama perwakilan dari Chechnya, Kashmir, Baque, dan negara lain yang ada di garda depan perjuangan melawan tirani,” Nafia menulis, dikutip IBTimes. Tapi Marcos, pemimpin perlawanan rakyat Chiapas, tak pernah muncul dan tak pernah menanggapi surat Nafia.

Solidaritas muslim Chiapas untuk Palestina
Foto: Chiapas Pararelo

Gerakan Murabitun didirikan oleh Abdul Qadir as-Sufi, muslim asal Skotlandia, pemimpin tarekat Darqawi-Shadhili-Qadiri. Sebelum memeluk Islam, Abdul Qadir bernama Ian Dallas.

Nafia gagal membujuk Marcos bekerja sama, tapi dia sukses dalam urusan lain. Mulai hari itu, Islam masuk ke jantung kelompok Zapatista. Saat ini diperkirakan ada lebih dari 500 muslim dari suku Maya Tzotzil, salah satu pendukung utama kelompok perlawanan Zapatista.

Sejak masih remaja, Anatasio Gomez bergabung dengan Zapatista dan ikut masuk ke belantara hutan Lacandon. Pada 1996, oleh ayahnya, Manuel Gomez, Anatasio diminta datang ke ceramah Nafia. Tak lama setelah datang ke acara Murabitun, Anastasio mengucapkan syahadat, ”Tak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Sekarang Anatasio telah bersalin nama menjadi Ibrahim. Bersama beberapa muslim dari suku Tzotzil, Ibrahim sudah menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu. Kepada Der Spiegel beberapa tahun lalu, dengan penuh gairah Ibrahim Gomez, 33 tahun, menuturkan pengalamannya selama di Tanah Suci.

“Dalam Islam, ras sama sekali tak jadi masalah,” kata Ibrahim. Tak peduli dia keturunan suku Tzeltal, Tzotzil, Ch'ol, Tojolabal, Zoque, atau keturunan Eropa, semua tak ada beda.

Komunitas muslim di Chiapas, Meksiko
Foto: Seekers Hub

Di Chiapas, wilayah termiskin di Meksiko, suku-suku asli seperti Tzotzil memang justru tak jadi tuan di tanahnya sendiri. Mereka malah jadi warga “kelas dua” dalam segala hal. Kondisi itulah yang membuat suku-suku miskin ini ikut angkat senjata bersama Zapatista melawan pemerintah Meksiko.

Setelah menjadi mualaf, Ibrahim mengajak puluhan anggota keluarga dan kerabat dari suku Tzotzil memeluk Islam, termasuk kakeknya yang sudah berumur 100 tahun. “Selama bertahun-tahun, beliau terus berpindah dari satu agama ke agama lain…. Sekarang dia sudah menemukan kedamaian bersama Allah,” kata Ibrahim.

Di antara 5,2 juta warga Chiapas, pemeluk Islam memang hanya beberapa butir pasir di tengah lautan pasir. Lebih dari separuh warga Chiapas masih tetap dekat dengan Gereja Katolik, dan sebagian lagi bergabung dengan gereja-gereja Kristen Protestan, yang marak berkembang di Chiapas sejak 1970-an.

Sebelum memeluk Islam, sebagian besar anggota suku Maya Tzotzil juga pernah menjadi jemaah Gereja Katolik atau Kristen Protestan. Seperti Manuel Gomez, misalnya. “Aku lahir sebagai seorang Katolik, kemudian beralih ke Kristen Presbyterian, dan sekarang aku seorang muslim,” kata Manuel kepada Guardian.

Sekarang Manuel memperkenalkan diri sebagai Muhammad dan dia menunaikan salat lima kali sehari. Istrinya, Noura, dulu bernama Joana, mengenakan kerudung dipadukan dengan pakaian tradisional Tzotzil. “Tak ada masalah bagi kami meninggalkan sebagian tradisi para leluhur,” ujar Manuel. Sudah dua kali dia mendapat undangan dari Gerakan Murabitun untuk pergi ke Tanah Suci. Selama 64 tahun hidupnya, tak sekali pun Manuel melangkahkan kaki keluar dari Chiapas.

Pada mulanya, ajaran Islam, menurut Salvador Lopez, terasa asing bagi keyakinan mereka. Maklum saja, seumur-umur, tak ada seorang pun muslim yang dia dan teman-temannya kenal. Sebelum jadi mualaf, Salvador bekerja sebagai dukun penyembuh jika kampungnya disergap wabah.

Muslim di Chiapas, Meksiko
Foto : ChiapasPararelo

Muslim di Chiapas, Meksiko
Foto: TicoTimes


“Pertama, anak perempuannya meninggal. Kemudian ibunya menyusul, diikuti anak laki-lakinya,” Salvador menuturkan kisahnya kepada Al-Jazeera. Untuk mengusir penyakit, dia menggabungkan metode tradisional Maya dengan doa-doa. Setiap kali wabah datang, Salvador akan pergi ke gereja untuk berdoa bagi kesembuhan orang-orang di kampungnya, Chamula, di pinggiran Kota San Cristobal. “Tapi mereka semua mati…. Sepertinya doaku kurang mujarab.”

Dia sempat bergabung dengan kelompok perlawanan Zapatista dan beralih-alih agama. Dalam agama, Salvador mencari jawaban dari rupa-rupa masalahnya, juga berharap mendapatkan kedamaian. “Pastor menyuruhku berhenti mabuk dan memberikan Kitab Injil. Tapi hatiku masih susah menerima,” kata Salvador. Ketika Nafia datang ke Chiapas dan sebagian teman-temannya memeluk Islam, Salvador mulai belajar agama baru. Menurut Salvador, ada beberapa kemiripan tradisi Islam di Timur Tengah dengan kebiasaan suku Maya.

“Orang muslim makan bersama. Mereka menaruh makanan dalam piring besar di tengah-tengah dan semua orang makan dengan tangan telanjang. Kakekku dulu makan seperti itu,” kata Salvador. Pengaruh budaya dari Barat membuat Salvador makan dengan sendok dan garpu. “Tapi sekarang aku kembali pada tradisi lama, makan bersama dalam satu piring besar.”

Hidupnya juga berubah. Salvador sekarang menjauhi minuman beralkohol dan berdagang di dekat masjid kecil di kampungnya. Keluarga jadi fokus hidupnya.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.