INTERMESO

Dullah dan Lukisan Bung Karno yang Tak Selesai

Sebagai pelukis Istana, tugas awal Dullah dari Bung Karno adalah mengubah kaki lambang Garuda Pancasila. Tugas lainnya mengurusi bendera pusaka.

Herri, yang baru menjadi murid Dullah, menjadi model lukisan Kompi Widodo

Foto: dok. Herri Soedjarwanto

Senin, 1 Agustus 2016

Dullah, pelukis Istana era Presiden Sukarno, bakal menggelar pameran lebih dari 400 lukisan karyanya di Aldiron Plaza, Jakarta, pada 20 Desember 1979. Sejak awal tahun, 34 muridnya sibuk membuat persiapan di sanggar milik Dullah di Desa Pejeng, Gianyar, Bali. Maklum, pameran akan dibuka oleh Wakil Presiden Adam Malik. Dullah pun khusyuk berada di studionya menyelesaikan sebuah lukisan istimewa yang juga akan dipamerkan.

Hingga suatu hari seorang pejabat Istana dan rombongannya yang tengah berkunjung ke Bali singgah ke Pejeng untuk sekadar say hello kepada Dullah. Si pejabat terkesiap ketika melihat sebuah lukisan yang dalam proses pengerjaan. "Ini eranya Pak Harto kok melukis Bung Karno," cetusnya menegur Dullah seperti ditirukan Herri Soedjarwanto, salah satu murid Dullah, kepada detikX. "Zaman itu orang nyimpan foto Bung Karno saja enggak berani, ini Pak Dullah gambar di kanvas ukuran 2 X 3 meter," kata Herri.

Zaman itu orang nyimpan foto Bung Karno saja enggak berani, ini Pak Dullah gambar di kanvas ukuran 2 X 3 meter."

Lukisan Dullah itu berjudul Rapat Ikada. Menurut Herri, lukisan tersebut kira-kira baru dikerjakan sekitar 20 persen, baru warna-warna dasar. “Figur yang kelihatan jelas baru Bung Karno."

Pejabat itu memang tidak mempermasalahkan Dullah menyelesaikan lukisan tersebut. Syaratnya, Dullah juga harus membuat lukisan besar tentang Presiden Soeharto sebagai pendamping. Dullah pun mengiyakan.

Selepas kepergian tamu dari Jakarta itu, dia mengumpulkan murid-muridnya, termasuk Herri. Dullah menuturkan baru saja mendapat order membuat lukisan Soeharto dari Istana. Beralasan sangat sibuk, dia melimpahkan pekerjaan itu kepada murid-muridnya. "Kata manisnya sih enggak sempat bikin gambar, tapi sebenarnya dia enggak mau melukis Pak Harto," kata Herri.

Foto wajah Soeharto lantas diperlihatkan sambil bercerita soal rencana Serangan Umum 1 Maret 1949. "Semua diminta membuat komposisi, dan Pak Dullah memilih komposisi saya," ujar Herri.

Lukisan Bung Karno sendiri tak diselesaikan Dullah, meski ikut dipamerkan bersama 416 lukisan lainnya, termasuk lukisan tentang Soeharto, Letkol Soeharto, Malam Menjelang SU 1 Maret, di lantai 3 Aldiron Plaza, Jakarta. Rupanya, setelah ditegur si pejabat Istana, Dullah benar-benar kehilangan mood untuk menuntaskan lukisannya. “Pak Dullah mutung,” ujar Herri. Sampai akhir hayatnya, Dullah tak pernah melanjutkan lukisan tersebut. Lukisan itu kemudian dipamerkan di Museum Dullah di Solo.

* * *

Lukisan Dullah berjudul Rapat Ikada yang belum selesai 
Foto: dok. Herri Soedjarwanto

Dullah mulai menjadi pelukis Istana Presiden pada 1950. Sepuluh tahun lamanya dia mendampingi Bung Karno untuk soal seni, bukan hanya tentang lukisan. Pelukis Sindudarsono Sudjojono-lah yang merekomendasikan Dullah kepada sang presiden. "Bapak (Sudjojono) menolak masuk Istana. Dia lalu mempromosikan Dullah sebagai pelukis yang bagus sekali," ujar anak Sudjojono, Tedjabayu, kepada detikX. Pertimbangan Sudjojono lainnya, Dullah punya watak yang orang Jawa sebut ngawulo (mengabdi). Watak ini dinilai akan klop dengan kepribadian Bung Karno.

Bertugas sebagai staf khusus, Dullah tak digaji besar. Penggantinya sebagai pelukis Istana, Lee Man-fong, pada 1960-an hanya digaji Rp 5.000. Saat itu kira-kira setara dengan gaji tukang kebun Istana. Para pelukis Istana memang tak mempersoalkan gaji. "Bagi mereka, dekat dengan Bung Karno adalah sebuah kebanggaan yang tak ternilai," ujar Mikke Sutanto, kurator dan pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Tugas awal Dullah yang diberikan Bung Karno sebagai pelukis Istana adalah mengubah kaki lambang Garuda Pancasila. Semula jempol telapak kaki Garuda tampak di depan pita, lalu diubahnya menjadi di belakang pita seperti yang sekarang. Tugas lainnya adalah mengurusi bendera pusaka.

Herri Soedjarwanto
Foto: dok. pribadi

“Di luar itu, ia mengajari Bung Karno melukis, memelihara koleksi, sampai memotret aktivitas paling pribadi sang presiden. Semua ini dijalani hingga awal dasawarsa 1960,” ujar Mikke.

Pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919, itu dikenal sebagai seniman pekerja keras. Menjadi pelukis Istana, menurut Dullah, tak cuma mesti bisa melukis, tapi juga harus mampu merepresentasikan gagasan dan ide-ide Bung Karno. Seorang pelukis Istana harus bisa memelihara kecintaan Bung Karno pada seni rupa. Merespons kemauan Bung Karno atas sejumlah manifestasi seni. “Dan mewujudkan aspirasi seni Presiden dalam apa pun bentuknya,” ujar Dullah pada 1980-an seperti ditulis Agus Dermawan dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno.

Dalam buku itu, Dullah mencontohkan bagaimana dia membuat sketsa gazebo di dekat Istana Tampak Siring agar khalayak luas bisa menikmati keindahan alam di kawasan Kintamani, Bali.

Herri, yang merupakan murid termuda Dullah, mengisahkan, sebagai orang besar, Dullah dikenal keras terhadap anak didiknya. Di sisi lain, Dullah seorang guru yang sangat menghargai karya dan kreativitas para muridnya. Herri, yang pernah ikut menggarap komik bersama Kho Ping Hoo, menjadi murid Dullah pada usia 20 tahun atas saran seorang pelukis senior yang dikenalnya.

Herri Soedjarwanto mendampingi Dullah ketika wawancara dengan media pada saat Sanggar Pejeng berpameran di Jakarta.
Foto: dok. Herri Soedjarwanto

Ketika merasa sudah punya cukup tabungan, pada usia belum genap 20 tahun, Herri pun berangkat ke Bali. Namun, belum lama di sana, ia terlibat konflik kecil dengan Dullah. Saat meminta bensin untuk mencuci kuas, Dullah membentaknya, “Lo, kamu ini… anak baru... kok malah enak-enakan santai di sini. Harusnya kerja keras, dong… seperti teman-temanmu yang lain, yang sudah senior!”

Ia kaget bukan kepalang. Egonya sebagai anak muda tersinggung berat. Pintu studio Dullah yang baru terbuka separuh dibantingnya dengan keras. Murid Dullah yang paling senior, Kok Poo, mengejarnya dan membujuk agar Herri minta maaf kepada sang guru dan pelukis besar itu.

Setelah emosinya mereda dan menyadari maksud Dullah menegurnya, Herri lantas pindah melukis ke studio Dullah. Ia duduk di lantai tak jauh dari kursi Dullah. Herri bertekad menunjukkan dirinya pekerja keras. Ritme kerja Dullah diikutinya. Tidur hanya empat jam dalam sehari. Tidur setelah subuh selama dua jam dan selepas magrib dua jam. "Beliau bilang hanya orang gila yang berada di tempat tidur lebih dari empat jam. Saya lantas ketularan sampai sekarang, ha-ha-ha…," kata Herri.

La.. iki apik, Her. Ini baru sket lukisan, sedangkan yang kemarin-kemarin itu masih ilustrasi, belum lukisan."

Dullah, pelukis Istana Presiden Sukarno

Toh, Dullah seolah mengabaikan kehadiran murid ingusannya itu. Ia tak pernah menegur Herri selama dua minggu meski berada satu ruangan. Sampai suatu dini hari, sang master dari belakang tiba-tiba mencomot gambar yang dikerjakan Herri. “La… iki apik, Her. Ini baru sket lukisan, sedangkan yang kemarin-kemarin itu masih ilustrasi, belum lukisan." Itu adalah kata-kata pertama yang diucapkan Dullah kepada Herri sejak kasus banting pintu.

Herri segera meraih tangan Dullah, mencium dan meminta maaf. "Saya sangat beruntung mengenal Pak Dullah. Bagi saya, beliau adalah guru, bapak, dan sahabat," kata Herri.

Selang beberapa waktu kemudian, Dullah menjadikan Herri sebagai asisten pribadinya. Selain menjadi asisten dalam urusan melukis, Herri diberi tugas khusus mewakili Dullah dalam membimbing dan mengajar teknis melukis di studio (model) maupun di lapangan (landskap) bagi para murid lainnya di sanggar Pejeng.

Dia juga melakukan segala hal untuk Dullah, seperti membuatkan teh, mengurus pigura dan kanvas, menjualkan lukisannya ke galeri, menagih uang, mengurus uang di bank, mencari model, menjadi tempat curhat, teman jalan-jalan dan melukis keluar, juga mendampinginya bertemu dengan gubernur. “Singkat kata, buat saya, Pak Dullah adalah guru, ayah, dan sahabat saya….”

Pak Harto si Anak Desa, lukisan karya Herri Soedjarwanto.
Foto: dok. Herri Soedjarwanto


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.