INTERMESO

Sukarno: Film Nasional Tak Berbudaya

“Banyak film yang kalau saya tonton, rasanya mau tidur karena membosankan."

A.N. Alcaff dan Netty Herawati dalam film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail
Foto: screenshot film Lewat Djam Malam

Senin, 8 Agustus 2016

Di tengah gerimis hujan, Iskandar (A.N. Alcaff) melangkah menyusuri kegelapan. Genangan air seolah sengaja diterjangnya. Langkahnya baru terhenti ketika matanya tergoda oleh secarik kertas berisi pengumuman jam malam yang diberlakukan tentara pada 1950-an di Bandung.

Beberapa langkah kemudian, kakinya kembali terhenti. Kali ini oleh derap kaki enam anggota Corps Polisi Militer yang tengah berpatroli tak lama setelah gema lonceng tanda jam malam terdengar. Iskandar pun berlari menghindari patroli, dan lolos. Di sebuah rumah, Norma (Netty Herawati), sang kekasih, telah menantinya. “Is...,” sapanya mesra.

Demikian prolog film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail yang diputar oleh Kineforum di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sejak 3 hingga 18 Agustus 2016. Film itu dibintangi A.N. Alcaff sebagai Iskandar dan Netty Herawati (Norma). Turut diputar lima film lainnya, yakni Darah dan Doa karya Usmar Ismail (1950), Enam Djam di Jogja (Usmar Ismail, 1951), Embun (D. Djajakusuma, 1951), Pedjuang (Usmar Ismail, 1960), dan Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani, yang diproduksi pada 1961. Kineforum memberi tema pemutaran dan penayangan film-film lawas itu “Pejuang pada Masa Soekarno”.

“Karya-karya tersebut bicara banyak, mulai cibiran terhadap optimisme lewat kekecewaan yang pahit sampai gambaran masalah korupsi dan penyalahgunaan fasilitas di kalangan para bekas pejuang yang memang marak terjadi,” kata Manajer Kineforum Alexander Matius.

A.N. Alcaff dan Bambang Hermanto
Foto: screenshoot Lewat Djam Malam

Secara lebih detail, film-film yang diputar dan ditayangkan tersebut merujuk pada ucapan sutradara Asrul Sani sebagai film yang “mengajak penonton melihat menembus kulit dan menyinggung isi”. Bukan film yang hanya berupa “pemotretan orang berpakaian prajurit, sehingga apa yang tersimpan dalam pakaian itu mereka tidak singgung”.

Pesan dalam film Lewat Djam Malam masih relevan dengan kondisi sekarang ini ketika korupsi dan gaya hidup hedonis kian merajalela."

Pesan dalam film Lewat Djam Malam yang detikX saksikan pada Rabu, 3 Agustus lalu, kiranya masih relevan dengan situasi dan kondisi zaman kiwari, ketika korupsi dan gaya hidup hedonis kian merajalela. Lewat film ini, Usmar Ismail menampilkan pandangan masing-masing tokoh mengenai masa setelah revolusi.

Ada yang melihat revolusi telah selesai dan kita mesti mengisi pembangunan, ada yang menganggap perang harus tetap berkobar agar dirinya tetap berguna. Ada pula yang merasa tetap idealis, melanjutkan revolusi dengan target menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Tak lupa Usmar juga menghadirkan pandangan masyarakat terhadap mantan pejuang yang diwakili ayah Norma. Sang ayah melihat pemuda-pemuda bekas pejuang mesti dibimbing agar tak sesat jalan. Sedangkan lainnya melihat mantan pejuang tak lebih dari sampah masyarakat.

Upaya penayangan film-film jadul oleh Kinefoum ini sekaligus untuk menyambut dan merayakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itu juga merupakan bagian dari rangkaian diskusi buku Sinema pada Masa Soekarno karya Dr Tanete Pong Masak pada 12 Agustus nanti. Rentang waktu dalam film-film yang diputar sesuai dengan rentang waktu dalam pembahasan buku Sinema pada Masa Soekarno, yakni dari 1900/1901 sampai 1967 (tepatnya 1970).

“Hal ini menjadi menarik untuk kita simak karena pembuat film mengawetkan peninggalan zaman lewat sudut pandang mereka, dalam karyanya yang sampai saat ini masih relevan dengan kehidupan,” kata Alexander.

Meski jadul, khusus film Lewat Djam Malam tergolong baru. Sebab, film ini baru saja menjalani upgrade berupa restorasi di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Proyek yang melibatkan Museum Nasional Singapura bekerja sama dengan Konfiden, Sinematek, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan World Cinema Foundation—lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorsese—ini selesai pada 2012.

Menurut catatan Tanete Pong dalam Sinema pada Masa Soekarno, film fiksi pertama yang diadopsi di Indonesia dibuat oleh G. Kruger dan Heuveldorp dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1927. Dalam rentang 1900-1949, ranah perfilman Indonesia didominasi oleh orang Barat, Tionghoa, kemudian Jepang. Baru setelah kemerdekaan muncul tokoh-tokoh perfilman Indonesia, seperti Titin Sumarni, Bambang Hermanto, Bambang Irawan, yang bagi generasi sekarang nama-nama tersebut terdengar sangat asing.

Film-film yang diproduksi seniman-seniman Lekra tak bisa lagi dinikmati karena dimusnahkan saat pergantian ke rezim Soeharto pada 1967."

Presiden Sukarno sendiri, kata Tanete, pernah mengkritik, film-film produksi perusahaan nasional sangat tidak menarik. Kritik tersebut membuat panas kuping insan perfilman nasional. Tanete, yang meneliti ratusan film untuk kepentingan disertasinya, menilai banyak film kala itu yang dibuat asal jadi. Sehingga kualitas gambar, suara, serta skenarionya sangat buruk. “Banyak film yang, kalau saya tonton, rasanya mau tidur karena membosankan," ujarnya. Akibatnya, film-film nasional saat itu lebih banyak diputar di bioskop-bioskop kelas C dan D.

Sutradara Misbach Yusa Biran menuliskan, saat selesai Kongres I Persatuan Artis Film Indonesia pada 1956, sejumlah aktor, aktris, dan sutradara melakukan unjuk rasa di Dewan Perwakilan Rakyat dan membacakan rekomendasi kongres di depan Presiden Sukarno. Reaksi Bung Karno spontan. "Film Indonesia tidak laku karena mutunya rendah dan tidak berbudaya," ujar Misbach menirukan Sukarno dalam biografinya yang berjudul Kenang-kenangan Orang Bandel. "Ini seperti tonjokan yang bikin knockout."

Misbach Yusa Biran
Foto: dok. Perpustakaan Nasional

Tanete Pong Masak
Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX

Namun ada juga film-film yang dibuat sangat serius oleh sutradara terkemuka kala itu, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Bachtiar Siagian. Film-film ini kualitasnya lebih baik dari kebanyakan film nasional. "Film-film seperti Lewat Djam Malam serta Darah dan Doa merupakan yang terbaik di masanya dan sampai sekarang masih bisa ditonton dengan utuh," kata Tanete.

Sebenarnya masih ada film yang dinilai baik oleh kritikus film masa itu, yakni karya Usmar Ismail yang berjudul Krisis, yang dibuat pada 1953. Sayangnya, kata Tanete, kopi film tersebut rusak. Begitu juga film-film yang diproduksi seniman-seniman Lekra, tak bisa lagi dinikmati karena dimusnahkan saat pergantian ke rezim Soeharto pada 1967.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.