INTERMESO

Kasih Tak Sampai Chairil Anwar

Puisi-puisi paling intim Chairil Anwar dipersembahkan kepada Mirat, bukan Hapsah, istrinya. Siapa Mirat?

Ida Nasution (bawah), Dien Tamaela, Chairil Anwar
Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 15 Agustus 2016

Ombak bergulung-gulung. Menghantam pantai, menghantam batu karang, juga menghantam batang-batang nyiur. Seorang lelaki dengan mata terpejam menyandarkan tubuhnya pada salah satu batang nyiur.

Ketika mata itu terbuka, alangkah basahnya dia, dan matanya yang memang berwarna merah jadi semakin merah. Lututnya gemetar dan pelan-pelan tubuh itu menggelongsor, terkulai duduk. Dua buah buku yang baru kemarin dicurinya jatuh di atas pasir dan terbuka di antara lutut-lututnya.

Si lelaki tidak tahu ada seorang gadis remaja yang terus memandanginya. Ia, yang tengah bertamasya di pantai Cilincing, Jakarta, mengira sang lelaki tengah asyik membaca. Ia tidak tahu pemuda aneh itu tengah dirundung duka. Nenek yang sangat dicintainya, yang menjadi penghiburnya di tengah konflik ayah-ibunya, meninggal sebulan lalu dan dia baru mendapat kabarnya hari itu.

“Aneh, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi ia lebih tenggelam dalam bukunya,” kata gadis itu. Sumirat namanya. Ia adalah seorang pelukis yang tengah belajar kepada Sudjojono, yang kini terkenal sebagai bapak pelukis modern Indonesia.

Seperti ditulis adiknya, Purnawan Tjondronagoro, dalam "Cril, Penyair Kukagumi—Sebagaimana Dikisahkan Mbakyu Sumirat" yang dimuat di Intisari pada 1971, Sumirat tidak bisa berhenti memikirkan si kutu buku yang tidak diketahui namanya itu.

“Dalam perjalanan pulang, pikiranku tiada lepas dari dia. Kukhayalkan apa yang sedang bermain dalam angannya, kenapa sikapnya masa bodoh dan tidak peduli. Ya, aku jadi tertarik.”

Puisi intim Chairil
Foto: repro buku Derai-derai Cemara

Puisi intim Chairil
Foto: repro buku Derai-derai Cemara

Sumirat memiliki seorang kakak laki-laki yang bekerja sebagai jaksa. Kelak kakaknya inilah yang memberi tahu laki-laki yang dilihatnya di pantai Cilincing itu bernama Chairil Anwar, seorang penyair besar.

Jaksa itu bertemu dengan Chairil karena si penyair diadili gara-gara mencuri cat dan seprai seorang opsir Jepang. Saat itu tahun 1943, Indonesia dijajah Jepang. Saat diinterograsi, Chairil tidak sudi disebut mencuri. Menurut dia, orang Jepang itulah yang justru lebih busuk daripada dirinya.

“Dia merampok bukan hanya harta dan benda orang Indonesia, tapi juga seluruh kemanusiaan dan kehormatan bangsa-bangsa yang beradab. Tolong bilang kepada iblis itu, dia boleh menembakku beratus kali, aku tidak akan mati,” ujar Chairil membela diri, seperti dilukiskan dalam buku Aku karya Sjumandjaja, yang dibuat berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar.

Hakim menjatuhkan hukuman denda kepada Chairil. Tapi ia tidak punya uang. Untunglah, Pak jaksa mau menebusnya dan bebaslah dia. Bukan hanya sampai di situ, dia perkenalkan pula penyair yang saat itu menjadi buah bibir karena puisinya, Aku Ini Binatang Jalang, tersebut kepada sang adik.

Mereka berdua lekas jadi akrab. Chairil sering membacakan sajak-sajak ketika Mirat asyik melukis. Mereka sering menonton film berdua, ke restoran berdua, atau kadang bersepeda berdua hujan-hujanan.

Buku puisi Chairil Anwar 

Namun kebersamaan itu harus terputus ketika Mirat diminta pulang oleh orang tuanya ke Paron, Madiun, Jawa Timur. Chairil berjanji akan menyusulnya. Ia pun mengirimi Mirat puisi berjudul Sajak Putih. Di bawah judul puisi yang diposkan pada 18 Januari 1944 itu, Chairil menulis “Untuk Tunanganku, Mirat”.

Putra pasangan Bupati Tulus dan Saleha itu mendatangi rumah calon mertuanya dengan penampilan seadanya. Baju yang dia bawa hanya yang melekat di badannya saja. Kopernya penuh buku dan satu handuk lusuh.

Sang seniman dan calon mertua langsung terlibat debat pada mula bercakap. Ayah Mirat, RM Djojosepoetro, menginginkan menantu yang punya pekerjaan jelas, bukan penyair yang melamar anaknya hanya dengan selembar sajak. “Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi.”

Chairil adalah orang yang ingin bebas dari segala, juga dari kerja. Baginya, kerja adalah membuat sajak. Ayah Mirat tidak terima dan menyuruh sang penyair bohemian itu pulang. Diongkosinya pula Chairil karena ia tidak punya uang.

Chairil masih beberapa kali mengunjungi Mirat di Paron. Namun orang tua Mirat tetap tidak mengizinkan putrinya menikah dengan Chairil.

Mirat rupanya begitu lekat di hati Chairil. Ketika mereka sudah berpisah pun, ia masih menulis puisi berjudul Dengan Mirat, yang salah satu baitnya berbunyi “masih berdekapankah kami atau mengikuti bayangan itu”.

Dua tahun setelah putus dengan Mirat, pada 6 September 1946, Chairil menikah dengan Hapsah Wiraredja, di Karawang, Jawa Barat. Dari pernikahan ini, lahirlah Evawani Alissa pada 17 Juni 1947. Pernikahan ini tidak berlangsung lama. Akhir 1948, Hapsah menuntut cerai.

Pascaperceraian itu, Chairil sering sakit-sakitan. Hidup sendirian lagi dan menyadari ajal akan menjelang, penyair besar ini kembali terkenang-kenang pada Mirat. Kepada Mirat (lewat puisi yang begitu intim dan mesra berjudul Mirat Muda, Chairil Muda), Chairil bertanya, “Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah?”

Chairil meninggal pada 28 April 1949 pukul 14.30 WIB di CBZ atau sekarang Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

* * *

Evawani Alissa
Foto: repro buku Mengenal Chairil Anwar karya Pamusuk Eneste

Evawani Alissa menuturkan, ibunya meminta cerai kepada Chairil bukan karena cemburu terhadap wanita lain. Hapsah adalah orang yang sangat sabar, tapi ia tidak kuat lagi dengan kehidupan Chairil yang sangat “seniman”. “Tidak kuat karena tak pernah dikasih uang belanja,” kata Evawani kepada detikX.

Tentang perempuan-perempuan yang namanya disebut di dalam sajak Chairil, Evawani menyebutkan tidak semua mereka berpacaran dengan ayahnya. Sri Ajati, yang namanya disebut dalam Senja di Pelabuhan Kecil, bahkan tidak tahu Chairil jatuh cinta padanya.

Bagaimana dengan Ida yang juga banyak disebut namanya dalam pidato dan puisi Chairil? Dalam puisinya Merdeka, Chairil menulis Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida.

Ada yang menduga Ida ini adalah Ida Nasution, yang menjadi redaktur Gelanggang/Siasat, teman Chairil. "Tidak begitu jelas. Apakah itu orang yang sama atau ada Ida lain dalam kehidupan Chairil," tulis Pamusuk Eneste dalam bukunya, Mengenal Chairil Anwar. Ada pula yang menduga Ida hanyalah tokoh fiktif belaka.

Eva mengatakan pernah mewakili ibunya bertemu dengan “wanita-wanita” Chairil Anwar, di antaranya Gadis Rasid (wartawati mingguan Siasat yang namanya dijadikan judul puisi Buat Gadis Rasid) dan Nursjamsu (disebut dalam puisi Buat Nyonya N).

“Yang diundang Ibu. Tapi Ibu tidak mau. Akhirnya saya yang datang bersama suami saya. Nursjamsu mengaku tidak pernah berpacaran dengan Chairil,” ujar Eva, yang biasa menyebut ayahnya dengan nama Chairil saja.

Sri Ajati tidak datang dalam pertemuan itu. Eva secara khusus mendatangi Sri Ajati di dekat Pasar Santa, Jakarta Selatan. Sri Ajati ingat Chairil pernah satu kali datang ke rumahnya, tapi saat itu penyiar radio Jepang tersebut sudah bertunangan dengan orang lain. Eva kemudian menjadi akrab dengan Sri. “Bu Sri memang cantik. Bu Sri bilang tidak tahu kalau Chairil suka dia.”

Sri Ajati dalam sebuah wawancara pada 2007, dua tahun sebelum kematiannya, mengatakan Chairil mengirim puisi kepada banyak teman perempuannya. "Yang diberi puisi oleh Chairil itu banyak. Dien Tamaela, Gadis Rasid, Nursjamsu, Titi Djohar. Kok selalu yang diambil Senja di Pelabuhan Kecil?"

"Kalau sekarang saya jadi malu, sudah nenek-nenek begini. Oh, itu toh perempuan yang disukai Chairil," katanya tertawa. Sri juga tidak tahu pelabuhan mana yang dimaksud Chairil. Ia menduga itu adalah Pelabuhan Sunda Kelapa.

Dien Tamaela adalah putri pasangan Dokter Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane, yang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pada tahun 1940. Dalam Aku, yang ditulis Sjumandjaja, Chairil berkenalan dengan Dien di studio lukis Sudjojono. Chairil sangat terkesan dengan cerita Dien tentang keluarganya saat makan di sebuah restoran. Berdasarkan cerita Dien itu, Chairil menulis saja Cerita buat Dien Tamaela

Meski putrinya akrab dengan sang penyair, Ibu Dien tidak menyukai Chairil yang urakan. Dien sendiri tidak memiliki umur panjang. Ia meninggal pada Agustus 1948, setahun sebelum kematian Chairil. 

Wawancara dengan Sri Ajati oleh Alwi Shahab
Video: YouTube 


Reporter: Pasti Liberti Mappapa
Penulis/Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.