INTERMESO

Perempuan yang Dianggap Bukan Perempuan

“Aku lahir sebagai perempuan, berlari sebagai perempuan…. Sekarang kalian mengatakan bahwa aku bukan seorang perempuan.”

Dutee Chand, paling kanan, saat mengikuti IAAF World Indoor Championships di Portland, Oregon, Maret 2016.
Foto: Getty Images

Rabu, 24 Agustus 2016

Lari adalah cara Dutee Chand untuk “lari” dari kemiskinan. Lahir sebagai anak ketiga dari tujuh anak pasangan Chakradhar Chand dan Akhuji Chand, Dutee, kini 20 tahun, sudah kenyang merasakan hidup susah.

Penghasilan ayahnya sebagai penenun di Gopalpur, Negara Bagian Odisha, India, jauh dari cukup untuk memberi makan delapan mulut di rumahnya. Menurut Chakradhar, sejak masih kecil Dutee memang gemar berlari. Di kampungnya, Dutee kecil sering lari ke sana-kemari, tanpa alas kaki. Sepatu satu-satunya miliknya hanya dia pakai untuk ke sekolah.

Ayahnya sempat meminta Dutee berhenti berlari. Chakradar berharap anak perempuannya membantunya mencari uang untuk keluarga. Tapi sang kakak, Saraswati, meyakinkan ayahnya bahwa Dutee punya bakat besar sebagai pelari. “Sulit bagi kami menghidupi keluarga sebesar ini,” kata Chakradar kepada Times of India.

Menurut Saraswati–kini dia menjadi seorang polisi–dengan menjadi pelari, Dutee bisa membantu keuangan keluarganya. Saraswati menunjuk dirinya sendiri. Berkat prestasinya sebagai pelari jarak jauh, dia bisa makan telur, daging, dan sebagainya, makanan yang tak pernah ada dalam menu keluarganya. Uang hadiah lomba bisa dia pakai untuk membantu keluarga dan biaya sekolah.

Mendengar cerita kakaknya, Dutee makin semangat berlari. “Dia bertanya apakah bisa pergi ke luar negeri seperti aku. Dutee bilang selama ini dia bahkan tak pernah naik bus atau kereta api,” Saraswati menuturkan, kepada Sydney Morning Herald. Pada 2006, Dutee, yang masih 10 tahun, diterima di sekolah khusus atlet, sekitar dua jam perjalanan dari rumahnya.

Di sekolah itu, bakat Dutee segera kelihatan. Pada 2012, saat umurnya baru 16 tahun, Dutee menjuarai lari 100 meter untuk kelompok umur 18 tahun. Di India, tak ada lagi lawan untuk Dutee di nomor lari jarak pendek. Setahun kemudian, dia menjadi pelari perempuan India pertama yang menembus babak final Kejuaraan Dunia Yunior Atletik di Donetsk, Ukraina. Pada tahun itu pula, di Kejuaraan Nasional Atletik India, Dutee menjadi yang tercepat di lomba lari 100 meter dan 200 meter. Bahkan dia memecahkan rekor nasional untuk lari 100 meter yang telah berumur 16 tahun.

Dutee Chand, paling kanan, saat mengikuti IAAF World Indoor Championships di Portland, Oregon, pada Maret 2016.
Foto: Getty Images

Lintasan lari di depan Dutee sepertinya bakal mulus hingga muncul persoalan pada 2014. Hanya beberapa hari setelah merebut medali emas di Kejuaraan Atletik Asia dan sepekan sebelum berangkat ke arena Commonwealth Games, Federasi Atletik India meminta Dutee datang ke New Delhi. Atas permintaan Federasi Atletik Internasional, ada tes yang mesti dilewati Dutee sebelum berangkat mengikuti lomba.

Merasa tak punya salah, Dutee sama sekali tak khawatir. “Aku tak pernah mengkonsumsi doping atau berbuat curang,” kata Dutee kepada New York Times. Hasil tes itu jadi mimpi buruk bagi Dutee. Menurut pejabat Federasi Atletik, Dutee tak bisa ikut lomba lagi. Bukan obat terlarang yang jadi masalah Dutee. Tes itu menunjukkan kadar hormon testosteron dalam tubuhnya jauh lebih tinggi daripada rata-rata perempuan.

Jauh sebelum tes itu, sebenarnya Dutee sudah merasa ada yang tak biasa pada tubuhnya. Kepada ibunya, dia mengeluh mengapa tubuhnya tak mirip dengan anak gadis lain. Saat rata-rata tubuh gadis-gadis mulai berubah bentuk dan mengalami menstruasi, postur Dutee justru makin kekar. Dia juga tak mengalami menstruasi. Sang ibu tak tahu jawabannya. Barangkali, kata ibunya, akan tiba saatnya bagi Dutee untuk mengalami datang bulan seperti gadis-gadis lain.

Hanya ada dua cara bagi Dutee supaya diperkenankan kembali berlari: makan obat untuk menekan hormon testosteron atau operasi. Kabar itu merontokkan mimpi Dutee. Pedih, sekaligus marah. “Aku lahir sebagai perempuan, berlari sebagai perempuan, dan mendapatkan medali sebagai perempuan…. Sekarang kalian mengatakan bahwa aku bukan seorang perempuan,” kata Dutee dikutip ZeeNews. Dia menolak mengikuti syarat Federasi. “Mengapa aku harus operasi? Aku tidak sakit…. Aku tak akan mengubah tubuhku demi siapa pun.”

Setelah melewati jatuh-bangun dan menempuh perjuangan melelahkan melawan “hukuman” yang dijatuhkan kepadanya, akhirnya Dutee diperkenankan mengikuti kualifikasi Olimpiade 2016 di Brasil. Pada Juni lalu, dia mencatatkan waktu 11,24 detik di lomba lari 100 meter di Almaty, Kazakhstan, dan lolos ke Rio de Janeiro. Tapi Dutee gagal membawa pulang medali ke India.

* * *


Pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, setelah memenangi lari 800 meter di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil.
Foto : Getty Images


Olimpiade di Rio de Janeiro sudah tutup layar beberapa hari lalu. Tapi ada sejumlah hal yang belum selesai. Selain kisah penodongan yang dituturkan perenang Amerika Serikat, Ryan Lochte, ada pula silang selisih soal pelari perempuan dari Afrika Selatan, Caster Semenya.

Di Rio, Caster merebut medali emas lari 800 meter. Tapi kemenangan Caster dipersoalkan oleh dua lawannya, Lynsey Sharp dari Inggris dan Joanna Jozwik, pelari asal Polandia. Sharp melewati garis finis di urutan keenam, sementara Jozwik persis di depannya. Menurut mereka, Caster bisa berlari jauh lebih cepat lantaran “didorong” hormon testosteron.

“Aku sudah berusaha menghindari isu ini sepanjang tahun. Kalian bisa melihat betapa emosionalnya lomba kali ini. Orang-orang bisa melihat betapa sulitnya lomba ini setelah ada perubahan peraturan,” kata Lynsey kepada BBC. Jozwik berkomentar sinis menanggapi kemenangan Caster. Menurut dia, hanya ada satu cara untuk mengalahkan Caster, yakni dengan suntik hormon testosteron. “Dia punya kadar hormon testosteron sangat tinggi, sama seperti laki-laki, makanya dia punya penampilan seperti itu dan bisa lari seperti itu.”

Di lintasan atletik, juga di arena olahraga lainnya, masalah hormon testosteron pada atlet perempuan ini sebenarnya isu yang sudah berumur puluhan tahun. Pada Juli 1950, Federasi Atletik Internasional mewajibkan verifikasi jenis kelamin pada setiap atlet. Semula, urusan ini diserahkan kepada organisasi masing-masing negara. Baru pada 1966, Federasi Atletik menerapkan tes jenis kelamin ini lantaran curiga ada atlet perempuan dari Eropa Timur dan Uni Soviet yang sebenarnya seorang laki-laki.

Salah satu “korban” dari tes ini adalah Ewa Klobukowska, sprinter asal Polandia. Hasil tes menunjukkan Ewa punya kromosom XX/XXY sehingga masuk kategori sebagai laki-laki. Tiga tahun sebelum tes, pada Olimpiade 1964, Ewa dan tim Polandia mendapatkan medali emas lari estafet 4 x 100 meter. Gara-gara tes itu, medali dan catatan waktu Ewa dicopot. Kesimpulan tes itu terbukti salah. Pada 1968, setahun setelah dinyatakan sebagai “laki-laki”, Ewa melahirkan bayi laki-laki.

Pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, di babak final lari 800 meter di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil.
Foto: Getty Images

Pada 2009, Federasi Atletik meninggalkan tes kromosom dan menggantinya dengan tes hormon. Sepanjang kadar hormon testosteron dalam darah tak lebih dari 10 nanomole per liter, seorang atlet akan masuk kategori “perempuan”. Pada Juli 2015, Badan Arbitrase Olahraga menganulir aturan Federasi Atletik. Menurut Badan Arbitrase, Federasi Atletik tak bisa memberikan bukti meyakinkan soal keuntungan bagi atlet perempuan yang punya kadar hormon testosteron lebih tinggi.

Apa bedanya variasi genetis itu dengan variasi dalam hormon testosteron? Kita mestinya merayakan perbedaan itu."

Tapi silang pendapat soal hormon testosteron ini tak lantas selesai. “Caster Semenya adalah bukti keuntungan punya hormon testosteron lebih tinggi,” kata Ross Tucker, peneliti olahraga asal Afrika Selatan. Elisa Cusma, pelari pesaing Caster, juga punya pendapat miring soal lawannya. “Dia seorang laki-laki,” kata Elisa kepada Guardian.

Jaime Schultz, profesor kinesiologi di Universitas Negeri Pennsylvania, salah satu yang meragukan manfaat tes hormon. Menurut Jaime, ada banyak hal yang membuat arena olahraga bukan lapangan yang setara bagi para atlet. Mereka datang dari latar belakang sosial-ekonomi yang sangat beragam. Atlet-atlet itu juga lahir dengan kondisi fisik yang jauh berbeda. Di beberapa cabang seperti atletik, atlet-atlet Asia sangat sulit bersaing dengan atlet-atlet keturunan Afrika dan Eropa.

Dari penelitian, paling tidak ada lebih dari 200 variasi genetis yang bisa mempengaruhi kemampuan atlet. Misalnya atlet ski asal Finlandia, Eero Mäntyranta, peraih tujuh medali emas Olimpiade. Mutasi gen EPOR dalam tubuhnya membuat Eero punya darah merah jauh lebih banyak ketimbang manusia normal. Toh, tak ada satu pun atlet yang dipersoalkan lantaran punya variasi genetis yang membuatnya lebih unggul dari atlet lain.

“Apa bedanya variasi genetis itu dengan variasi dalam hormon testosteron? Kita mestinya merayakan perbedaan itu,” Jaime menulis di The Conversation.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim


Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.