INTERMESO

Pahlawan yang Dipermalukan

“Dia bukan laki-laki, bukan pula seorang perempuan. Dia kedua-duanya”

Stella Walsh

Foto: SBNation

Rabu, 24 Agustus 2016

Batas antara dicaci dan dipuja-puji kadang hanya setipis medali. Pada Desember 2006, Santhi Soundarajan merupakan pahlawan bagi India. Santhi berhasil merebut medali perak di Asian Games di Doha, Qatar. Dia menjadi atlet perempuan keturunan Tamil pertama yang meraih medali di Asian Games.

“Medali ini merupakan mimpiku sebagai atlet,” kata Santhi, dikutip ESPN. Tahun itu memang masa-masa keemasan bagi Santhi, kini 35 tahun. Tiga bulan sebelumnya, pelari jarak menengah keturunan Tamil ini membawa pulang dua medali emas dari lintasan atletik South Asian Games di Colombo, Sri Lanka. Bagi gadis miskin dari kasta Dalit, kasta paling bawah di India, seperti Santhi, prestasi itu satu pencapaian yang tak pernah dibayangkannya.

Tapi kegembiraan Santhi hanya berumur sangat singkat. Sehari setelah merebut medali Asian Games, Kumar Mendiratta, dokter tim atletik India, memintanya mengikuti tes. Dokter Kumar tak menjelaskan tes apa yang mesti dilewati Santhi. Dokter mengambil darahnya dan Santhi diminta melepaskan busana. Empat dokter dari Federasi Atletik Internasional (IAAF) memeriksa sekujur tubuhnya. Hari berikutnya, Santhi diminta pulang tanpa penjelasan.

Secara kultural, sosial, dan hukum, Stella Walsh diterima sebagai perempuan selama 69 tahun. Dia hidup dan meninggal sebagai perempuan.”

Kurang dari sepekan setelah upacara penutupan Asian Games di Doha, Federasi Atletik Asia melayangkan sepucuk surat ke Federasi Atletik India. Surat itu jadi palu godam yang menghancurkan hidup Santhi. Lewat surat tersebut, Federasi Atletik Asia menyampaikan hasil tes gender Santhi. Kesimpulannya, Santhi dianggap tak memenuhi “karakteristik seksual” sebagai atlet perempuan. Dia memiliki kelainan kromosom yang membuatnya mirip laki-laki. Dus, Santhi tak diperkenankan berlomba melawan atlet-atlet perempuan lain.

“Federasi Atletik India diminta mengembalikan medali yang diperoleh Santhi,” Komite Olimpiade India menyampaikan pernyataan, seperti dikutip Times of India, kala itu. Lalit Bhanot, Sekretaris Komite, menelepon Santhi. “Kamu tak bisa lagi mengikuti perlombaan,” Santhi mengutip kata-kata Lalit. “Itulah akhir karierku sebagai atlet.”

Pelari dari India, Shanti Soundarajan
Foto: Jamie Squire/Getty Images

Bukan hanya kariernya sebagai pelari yang tamat saat ada di puncak, hidup Santhi pun hampir saja berakhir. Dicampakkan dan dipermalukan, Santhi pulang ke kampung halamannya di Pudukkottai, Negara Bagian Tamil Nadu. Berangkat dipuja, pulang dengan menanggung hinaan. “Orang-orang memandangku dan seolah-olah bertanya, apakah dia seorang laki-laki? Situasi itu sangat menyakitkan, menghancurkan hidupku dan hidup keluargaku,” Santhi mengenang.

Manimekelai mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya. “Apakah nanti anak-anakku bakal bisa menikah? Cap pada satu gadis akan jatuh pula ke seluruh keluarganya,” kata sang ibu. Depresi berat, Santhi sempat mencoba mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung, nyawanya terselamatkan. Untuk menghidupi diri, gadis peraih medali Asian Games itu sempat bekerja sebagai buruh di pabrik batu bata.

Santhi hanya bisa iri terhadap Caster Semenya, pelari asal Afrika Selatan, yang menghadapi masalah serupa dengannya. Mereka sama-sama atlet perempuan yang diragukan keperempuanannya. “Rakyat dan pemerintah Afrika Selatan membela dan memperjuangkan nasibnya…. Di sini tak ada yang mendukungku,” kata Santhi, perih.

* * *

Sepanjang sejarah atletik modern, ada “Santhi-Santhi” lain, pelari-pelari yang jadi “korban” dari tes gender Federasi Atletik Internasional (IAAF). Mereka punya kelainan kromosom atau memiliki kadar hormon testosteron sangat tinggi, sehingga dianggap tak layak dikategorikan sebagai perempuan.

Eric Vilain, konsultan medis IAAF, berpendapat, tingginya kadar testosteron pada perempuan mengakibatkan dampak mirip dengan doping atau obat kuat. Tapi Rebecca Jordan Young, peneliti dari Bernard College, menyangsikan kesimpulan itu. Rebecca sudah bertahun-tahun menelusuri pengaruh testosteron pada atlet-atlet perempuan. Menurut Rebecca, hipotesis bahwa tingginya testosteron dalam darah atlet perempuan akan mendongkrak prestasinya, tak disokong bukti meyakinkan.

Stella Walsh
Foto: TheWeek

Sampai tewas dibunuh pada Desember 1980, Stella Walsh sudah kenyang merasakan pahit getirnya hidup sebagai perempuan dan atlet perempuan yang diragukan keperempuanannya. Saat masih di bangku SMA South High di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat, Stella merupakan bintang di lapangan bisbol.

Alih-alih membicarakan kehebatannya, teman-temannya malah mengolok-olok penampilannya. Stella, yang lahir di Wierzchownia, Polandia, memang tak mirip gadis-gadis sebayanya. Posturnya mirip laki-laki dengan hidung besar dan rahang menonjol. Teman-teman sekolahnya memberinya julukan “Bull Montana”, jelas bukan satu pujian bagi Stella.

Kepada seorang teman perempuan, Beverly Perret Conyers, Stella mengeluhkan penampilan fisiknya. “Apakah Tuhan telah menghukumku,” kata Beverly kepada Washington Post, mengutip pertanyaan Stella. “Aku bilang, 'Tidak…Itu satu kesalahan.'”

Diolok-olok di luar lapangan, Stella menghabiskan energinya untuk mengejar prestasi di lintasan atletik. Pada masa itu, jumlah atlet perempuan masih sangat sedikit. Nama dan prestasi Stella cepat sekali menanjak. Medali demi medali dia rebut, rekor demi rekor dia pecahkan. Pada awal 1930-an, nyaris tak ada atlet lain di lintasan atletik yang menyamai popularitasnya.


Pemakaman Stella Walsh
Foto: SBNation

“Inilah prestasi paling menakjubkan dalam sejarah atlet perempuan,” harian New York Times menulis soal prestasi Stella. Kepercayaan diri Stella tengah ada di puncak. “Aku sudah hampir mencapai kondisi fisik paling sempurna,” kata Stella. Kondisi fisik dan mental sangat prima, dia merasa tak akan ada yang akan menghalanginya untuk merebut medali.

Olimpiade 1932 di Los Angeles, Amerika, menjadi panggung gadis itu. Stella, yang membawa bendera Polandia, berlari kencang dan menyabet medali emas di nomor bergengsi lari 100 meter. Harian LATimes menulis kemenangan dengan nada sinis. Koran itu menyebut Stella sebagai “perempuan yang mirip laki-laki”. Demikian pula beberapa koran di Kanada. Koran-koran itu terus mengungkit soal fisik Stella yang mirip laki-laki.

Setelah berjaya di Olimpiade 1932, Stella sempat mengalami cedera. Kendati masih terus berlari, keperkasaannya tak pernah pulih kembali. Empat tahun kemudian, di Olimpiade Berlin, Stella hanya pulang dengan medali perak. Tapi hidupnya memang untuk atletik. Dia masih terus berlari. Bahkan saat umurnya sudah 45 tahun, pada 1956, dia berencana mengikuti seleksi tim Olimpiade Amerika.

Supaya bisa mewakili Amerika, Stella menikah dengan Harry Olson, yang 12 tahun lebih muda. Menurut Olson, seperti dikutip SBNation, tak ada bulan madu seusai resepsi pernikahan di Las Vegas. “Tiga bulan menikah dengan Stella, rasanya seperti kawin dengan bintang film,” Olson menuturkan pernikahan mereka yang sangat singkat. Selama menikah, keduanya jarang berkumpul. “Kadang Stella muncul pada Kamis malam untuk makan bersama, kemudian aku tak akan melihatnya lagi sampai Minggu.”

Shanti Soundarajan di Asian Games 2006 di Doha, Qatar.
Foto: Andy Lyons/Getty Images

Stella gagal lolos ke Olimpiade dan bubar pula pernikahannya. Sejak hari itu, dia tak pernah menikah lagi atau dikabarkan dekat dengan laki-laki lain. Stella memang sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Kematiannya pada 4 Desember 1980 menyingkap sebagian rahasia yang selama hidup disembunyikan Stella.

Pada malam itu, Stella baru selesai berbelanja dan hendak masuk ke mobilnya, Oldsmobile Omega, saat dua pemuda mendekatinya dan menodongkan pistol. Stella berusaha membela diri, tapi satu tembakan ke perut menghentikan perlawanannya. Beberapa jam kemudian, Stella, yang sudah hampir berumur 70 tahun, meninggal di rumah sakit.

Hasil otopsi atas jenazah Stella-lah yang bikin geger Kota Cleveland. Menurut Dokter Samuel Berger, dokter yang mengotopsi jenazahnya, Stella memiliki penis dan skrotum, tapi tak berkembang sempurna. Stella juga tak memiliki rahim seperti perempuan. Tes kromosom pada Stella juga menunjukan ada kelainan. Dia memiliki kromosom XY/XO. Seorang perempuan normalnya memiliki kromosom XX, sementara laki-laki XY. Hasil tes itu menunjukkan bahwa Stella lebih dekat kepada laki-laki.

Di dokumen hasil otopsi, Dokter Gerber tak menyebut Stella sebagai seorang laki-laki. “Secara kultural, sosial, dan hukum, Stella Walsh diterima sebagai perempuan selama 69 tahun. Dia hidup dan meninggal sebagai perempuan,” Dokter Gerber menuliskan kesimpulannya. Dengan gaya diplomatis, Dokter Lester Adelson, wakilnya, memberikan pernyataan soal status Stella, ”Dia bukan laki-laki, bukan pula seorang perempuan. Dia kedua-duanya.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.