INTERMESO

Penangkal Komunis, Pengumpul Suara Golkar

Pembentukan rukun tetangga di Jawa merupakan tiruan dari tonarigumi di Jepang dan Taiwan pada masa perang. Jadi mesin pengendali pikiran untuk mengontrol rakyat di akar rumput.

Spanduk ajakan mengikuti pemilihan ketua RT dan RW terpasang di Jalan Cahaya Titis, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat, Minggu, 25 September 2016.

Foto: Sudrajat/detikX

Kamis, 29 September 2016

Seiring dengan meningkatnya pengaruh komunis di daerah-daerah miskin, seperti Tegal dan Pekalongan di Jawa Tengah serta beberapa daerah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat, staf teritorial TT-IV (kini Kodam Diponegoro) Ali Moertopo mengaktifkan kembali sistem rukun tetangga (RT) dan rukun kampung di pedesaan-pedesaan. Tujuannya adalah memperkenalkan masyarakat pada sistem pengamanan lingkungan yang mereka urus sendiri.

Prinsip gotong-royong dikembangkan melalui wadah kerukunan warga tersebut, sehingga masyarakat terbiasa membahas dan memecahkan masalah mereka secara bersama dan melakukan upaya bersama pula untuk menangkal ancaman dari luar. “Sistem ini sebetulnya sudah diperkenalkan semasa pendudukan Jepang. Namanya tonarigumi,” kata Bambang Wiwoho, penulis buku Memori Jenderal Yoga saat berbincang dengan detikX, Selasa, 20 September 2016.

Dalam perekrutan tenaga romusha, biasanya kumicho (ketua RT) yang menunjuk siapa yang menjadi korban."

Bukan cuma terhadap perkembangan komunis, sistem ini dihidupkan juga untuk mendeteksi dan menangkal gerakan-gerakan subversif lainnya yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Di era Reformasi, kata Wiwoho, ketika struktur teritorial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia) di desa-desa dikikis, idealnya keberadaan RT dan rukun warga (RW) dioptimalkan. “Bila kesadaran itu masih ada, mestinya aksi terorisme di wilayah kita bisa dideteksi lebih dini,” ujarnya.

Aiko Kurasawa, peneliti asal Jepang, menyebutkan pembentukan tonarigumi atau RT dimulai oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia lewat sebuah maklumat pada 11 Januari 1944. Untuk menyukseskan program tersebut, seluruh residen di Pulau Jawa dikumpulkan di Jakarta. Mereka diminta mengikuti sebuah konferensi yang khusus membahas rancangan baru itu. "Program tersebut belum pernah ada saat zaman kolonial Belanda," kata Aiko kepada detikX, Jumat, 23 September.

Penelitiannya tentang RT menjadi salah satu bahasan dalam disertasi doktoralnya di Universitas Cornell, New York, Amerika Serikat. Disertasi dengan promotor indonesianis dari Universitas Cornell, Benedict Anderson, itu diterbitkan menjadi buku berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Guru besar emeritus Universitas Keio, Jepang, itu juga menulis berbagai buku tentang Indonesia, di antaranya Peristiwa 1965.

Aiko Kurasawa
Foto: Didik Dwi Haryanto/Detik TV

Menurut Aiko, pemerintah militer Jepang sudah membuat sebuah proyek percontohan tonarigumi di sebuah desa di kawasan Jatinegara, Jakarta, menjelang pengumuman resmi. Semua residen yang hadir dalam pertemuan di Jakarta lantas mengunjungi model tonarigumi ini. Bahkan, pada 15 Januari 1944, Panglima Tertinggi Angkatan Darat Letnan Jenderal Kumakici Harada menghadiri rapat pertama yang diadakan tonarigumi di Jatinegara. "Ini menunjukkan betapa pentingnya pembentukan tonarigumi untuk kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia," ujar perempuan kelahiran Osaka, 70 tahun lalu, itu.

Para pemimpin agama dimobilisasi untuk melegitimasi gagasan tonarigumi seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam.”

RT ala Jepang ini terdiri atas 10-20 rumah tangga. Tiap kepala tonarigumi atau disebut kumicho diberi berbagai tugas, di antaranya membantu organisasi keamanan, mempertahankan Tanah Air, serta melawan serangan udara, kebakaran, mata-mata, dan penjahat. Kumicho juga wajib memberi tahu rakyat mengenai dekrit, peraturan, dan petunjuk pemerintah serta menyadarkan mereka. Pemerintah militer memberi wewenang kepada ketua untuk mendistribusikan penjatahan barang. "Dalam perekrutan tenaga romusha, biasanya kumicho yang menunjuk siapa yang menjadi korban," kata Aiko.

Kumicho pun harus mengingatkan anggota jika ada yang bertingkah laku “tak sesuai”. Maksud “tak sesuai” ini bukan semata melakukan tindakan ekstrem, seperti menjadi mata-mata atau bersikap anti-pemerintah Jepang, tapi juga meliputi sikap malas-malasan, gaya hidup kebarat-baratan, dan semua bentuk kemewahan. Aiko pun mengutip laporan dinas intelijen Amerika Serikat yang menyatakan, dengan sistem tonarigumi, penguasa Jepang mampu mengendalikan pikiran serta tindakan seluruh penduduk. Dalam sistem itu, ada tanggung jawab kolektif yang membuat anggotanya saling mengawasi agar tak ada yang melanggar peraturan. "Tonarigumi dijalankan sebagai mesin pengendali pikiran untuk mengontrol rakyat di akar rumput secara efektif," ujar Aiko.

Pos keamanan di kompleks perumahan
Foto: Sudrajat/detikX

Untuk menarik perhatian, pemerintah militer Jepang menekankan bahwa tonarigumi didasari semangat gotong-royong yang telah lama menjadi tradisi masyarakat Jawa. "Tonarigumi dipromosikan bukan sesuatu yang asing bagi rakyat Jawa," kata Aiko. Bahkan berbagai media propaganda dirancang sebagai media kampanye untuk menggiatkan tonarigumi. Salah satunya menciptakan lagu yang syairnya menggunakan ungkapan gotong-royong. Bukan hanya itu, ulama-ulama pun dimobilisasi. Para pemimpin agama tersebut diminta melegitimasi gagasan tonarigumi. "Ulama diminta menyatakan tonarigumi sesuai dengan ajaran Islam," ujar Aiko.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah militer Jepang itu membuat tonarigumi menyebar dengan cepat ke seluruh Jawa. Tepat tiga bulan setelah pertama kali diluncurkan, total tonarigumi untuk seluruh Jawa mencapai 508 ribu dan jumlah aza jokai atau RW hampir mencapai 65 ribu.

Setelah kemerdekaan, tonarigumi resmi berganti nama menjadi RT. Fungsinya sebagai alat kontrol oleh aparat pemerintah pun berkurang. "Sebaliknya, fungsi sebagai institusi untuk mempromosikan gotong-royong bertambah," kata Aiko.

Pada masa ini pula intervensi partai mulai terjadi. Partai Komunis Indonesia, yang sangat berpengaruh, acap kali menggunakan RT dan RW sebagai alat untuk merekrut anggota serta simpatisan. Namun, setelah Sukarno jatuh, RT dan RW kembali ditempatkan sebagai alat mengendalikan rakyat. Aktivitas RT dan RW lebih banyak untuk mengindoktrinasi anggotanya dengan ideologi Pancasila, setia kepada negara, dan pentingnya stabilitas. "Pemerintahan Soeharto memakai RT dan RW untuk mengumpulkan suara bagi Golkar dalam setiap pemilihan umum," ujar Aiko.

* * *

Pembentukan tonarigumi di Jawa merupakan tiruan dari tonarigumi di Jepang dan Taiwan pada masa perang. Di Jepang, cikal bakal tonarigumi sudah ada pada masyarakat feodal Zaman Edo (1603-1867). "Ada namanya gonin gumi, yang terdiri atas lima rumah tangga. Ditetapkan penguasa Tokugawa untuk mengontrol petani," kata Aiko.

Suasana pemilihan ketua RW di kompleks Berlan, Jakarta Timur
Foto: Pasti Liberti/detikX

Setelah Restorasi Meiji, semua struktur pedesaan direorganisasi, disesuaikan dengan negara baru yang modern. Tonarigumi dibuat menggantikan gonin gumi. Menjelang Perang Dunia II, tonarigumi kemudian dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk melakukan kontrol sekaligus memobilisasi penduduk. "Setiap rumah tangga dipaksa ikut berpartisipasi. Yang tidak mau tidak berhak mendapatkan distribusi makanan," ujar Aiko.

Namun sekarang tonarigumi di Jepang tidak seperti dulu. Pemerintah Jepang tidak mengeluarkan peraturan khusus untuk mengatur soal tonarigumi. Bahkan tonarigumi tidak lagi dianggap sebagai sebuah institusi resmi. "Zaman dulu memang harus ada. Sekarang sudah bebas. Ada boleh, tidak ada juga boleh. Ikut boleh, tidak ikut juga boleh," kata Aiko. Tonarigumi, dia menambahkan, tetap eksis dan kuat terutama di wilayah pedesaan.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE