INTERMESO

Orang Miskin di Antara Triliuner Lembah Silikon

“Mereka memperlakukan para karyawan badge hijau seperti kami ini sebagai warga kelas dua.”

Lembah Silikon, San Francisco, tempat berdirinya banyak perusahaan komputer dan semikonduktor.
Foto: Thinkstock

Jumat, 30 September 2016

Barangkali memang seperti inilah hukum besi ekonomi, ada uang, maka ada barang. Tak punya uang, maka kau akan ditendang. Hukum itu berlaku pula di Lembah Silikon, konon kiblatnya industri teknologi informasi dunia. Hukum besi itulah yang kini akan menyepak keluarga Laura Hernandez dari apartemen mereka.

Selama ini, Laura, 26 tahun, dan suaminya, Adan Estevez, selalu membayar sewa apartemen sebelum tenggat dari pemilik setiap bulan. Ongkos sewa apartemen satu kamar yang mereka tinggali bersama sang bayi di Redwood City, salah satu distrik di lingkungan Lembah Silikon, US$ 1.600 atau hampir Rp 21 juta per bulan.

Lokasi apartemen tiga lantai itu memang lumayan strategis. Apartemen Laura hanya berjarak 7 kilometer dari kantor pusat Facebook, dan sekitar 15 kilometer dari markas Google di Mountain View. Tapi posisi itulah yang kini jadi sumber “masalah”. Baru beberapa pekan lalu, Laura menerima sepucuk surat dari Trion Properties. Trion merupakan majikan baru apartemen yang dia tempati.

Lewat surat itu, manajemen Trion memberitahukan tak lagi memperpanjang sewa untuk keluarga Laura. Keluarga kecil itu hanya diberi waktu dua pekan untuk berkemas dan angkat kaki. Laura dan Adan kontan pusing tujuh keliling. “Karena aku sedang menyusui, aku khawatir bakal menyalurkan stres dan frustrasi itu kepada bayiku,” kata Laura, kepada Guardian, dengan lunglai.

Plang nama kantor Google di Silicon Valley 
Foto: Justin Sullivan/Getty Images

Wajar jika Laura puyeng dan perutnya mules. Mencari apartemen dengan harga sewa yang cocok dengan isi kantong mereka di Lembah Silikon sama susahnya dengan menemukan sebutir emas di lautan pasir. Seandainya Adan seorang triliuner seperti Mark Zuckerberg, atau paling tidak seorang programmer di Google atau Facebook, tentu dia tak usah pusing kepala. Apa daya, Adan hanya karyawan kecil di perusahaan daur ulang.

Aku tahu perusahaan-perusahaan itu malu dengan nasib para karyawan kontrak yang bekerja untuk mereka.”

Laura sudah berjuang meminta perpanjangan waktu kepada Trion, bahkan memohon pertolongan pemerintah kota, tapi tanpa hasil. Trion tak memberinya tambahan waktu satu hari pun. Pemerintah kota juga tak punya kuasa untuk campur tangan dalam urusan sewa-menyewa apartemen. “Padahal kami tak meminta perpanjangan sewa dengan gratis. Kami hanya minta perpanjangan waktu,” kata Laura.

Dia dan keluarganya punya banyak kawan senasib. Max Sharkansky dari manajemen Trion mengatakan mereka sudah meminta 15 penghuni apartemen itu segera mengemasi barang-barangnya. Trion berencana memugar apartemen tersebut dan menyewakannya kembali. Tentu saja harga sewanya tak lagi sama. Trion mengincar para karyawan raksasa-raksasa teknologi informasi di Lembah Silikon yang isi kantongnya jauh lebih gemuk ketimbang dompet keluarga Adan Estevez.

“Ini merupakan pengusiran terang-terangan…. Yang mereka pedulikan hanya kesempatan menggaruk keuntungan, tapi tak peduli ongkos sosialnya,” kata Salimah Hankins, pengacara dari Community Legal Service, yang mewakili penghuni apartemen yang diminta segera pergi.

Menurut penelitian Universitas California, Berkeley, sepanjang tahun 2010-2013, lebih dari setengah dari apartemen yang masuk kategori ongkos sewanya terjangkau telah hilang dari pasar properti di kawasan Lembah Silikon dan sekitarnya.

Pelayan menyiapkan meja makan dalam acara Google Press Day di kantor Google.  
Foto: Justin Sullivan/Getty Images

Mariana Jimenez, 39 tahun, hanya bisa berurai air mata setiap kali memikirkan nasibnya dan dua saudara laki-laki beserta para keponakannya yang tinggal bersama di apartemen itu. Dia tak tahu akan pindah ke mana pada Oktober ini. “Kama terus mencari apartemen…. Tapi semuanya mematok harga sewa sangat mahal,” kata Mariana. Sehari-hari, dia hanya bekerja sebagai pengasuh anak bagi keluarga-keluarga tajir di Lembah Silikon. “Harus ada orang yang membantu kami.”

Sebagian warga di Lembah Silikon bergabung membentuk organisasi untuk mengusulkan kebijakan pengendalian harga sewa properti. Salah satu pemimpinnya adalah Evan Ortiz, karyawan Google. “Selama setahun terakhir, kita bisa merasakan kenaikan sewa US$ 1.000 per bulan dan menyaksikan makin banyak orang terusir dari apartemennya dan tak punya tempat tinggal,” kata Ortiz kepada KQEG.

* * *

Ketika saham perusahaan-perusahaan teknologi di Lembah Silikon, seperti Google, Facebook, Apple, Tesla, dan Oracle, terus menanjak, dan para karyawan mereka berlimpah bonus, fasilitas, dan tentu saja, gaji ratusan ribu dolar AS setiap tahun, ada ribuan orang di kawasan itu yang jadi penonton.

Mereka adalah staf kebersihan, sopir, tenaga keamanan, dan karyawan-karyawan kecil lain di perusahaan itu. Orang-orang ini yang membuat kantor-kantor perusahaan itu tetap bersih dan nyaman, tapi sehari-hari mereka harus berjuang setengah mati supaya tetap bisa bertahan hidup di Lembah Silikon.

Di kawasan Teluk San Francisco, termasuk di dalamnya Lembah Silikon, ongkos sewa apartemen satu kamar rata-rata US$ 3.500 atau Rp 45 juta. Jika mau apartemen dua kamar, harganya hampir US$ 4.900. Padahal gaji minimum di kawasan ini hanya US$ 12,25 per jam. Jika sopir dan tenaga keamanan itu bekerja 160 jam per bulan, mereka hanya mendapat sekitar US$ 2.000. Masih jauh dari cukup.

Mark Zuckerberg
Foto: Justin Sullivan/Getty Images

Nahima Aguiniga, 34 tahun, bekerja sebagai pencuci piring merangkap kasir di kafe di kantor Intel. Tak seperti staf “badge biru” di kantor Intel yang menikmati semua fasilitas di kantor itu, termasuk makan dan kopi, dengan gratis, Nahima dan kawan-kawannya yang mengenakan badge hijau dan bergaji lebih kecil justru mesti bayar.

“Cara mereka memperlakukan para karyawan badge hijau seperti kami ini warga kelas dua,” kata Nahima kepada Guardian. Di Lembah Silikon, Nahima dan anaknya tinggal menumpang di rumah mertua. “Anakku sering berkata, ‘Aku tak ingin tinggal seperti ini.’ Hatiku sakit, tapi tak bisa memberinya jawaban.”

Arwin Buditomo, 46 tahun, berangkat dari Indonesia dan merantau ke Amerika dengan mimpi besar bakal hidup sejahtera di sana. Sudah beberapa tahun dia bekerja sebagai tenaga keamanan di salah satu perusahaan Lembah Silikon, tapi dia tetap tak bisa membayar sewa apartemen sendiri. Dia tinggal menumpang di rumah saudara perempuannya. “Aku sudah melewatkan mimpi Amerika, bahkan tak mau memimpikannya lagi,” kata dia, dikutip Pittsburgh Post.

Facebook, Google, Apple, dan sebagainya sebenarnya tak berpangku tangan melihat sebagian “penghuni” kantor mereka hidup sengsara. Setahun lalu, Facebook mewajibkan para perusahaan penyedia tenaga kerja di kantornya membayar gaji minimum US$ 15 per jam dan memberikan tunjangan anak US$ 4.000. Sebelumnya, Google dan Apple memutuskan merekrut langsung tenaga keamanan, tak lagi memakai jasa dari perusahaan lain. Sebagai karyawan, mereka akan menikmati hak atas fasilitas yang sama dengan para programmer dan staf lain.

“Aku melihat tren yang sangat bagus…. Aku tahu perusahaan-perusahaan itu malu dengan nasib para karyawan kontrak yang bekerja untuk mereka,” kata Derecka Mehrens dari Working Partnerships USA kepada Washington Post.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE