INTERMESO

Operasi Anti-Hillary

“Mereka mengatakan aku telah mendukung putri setan dan tanganku turut berlumuran darah 60 juta janin yang diaborsi.”

Poster yang menolak Hillary sebagai Presiden Amerika Serikat 

Foto: Ethan Miller/Getty Images

Kamis, 20 Oktober 2016

Di mata warga Amerika Serikat, paling tidak menurut survei Pew Research Center beberapa bulan lalu, Hillary Rodham Clinton bukan tergolong orang yang dekat dengan gereja. Hampir separuh orang yang ditanya berpendapat Hillary bukanlah orang yang terlalu religius.

Bahkan Donald Trump, lawan politik Hillary, mempertanyakan apakah Hillary beragama. “Dalam soal agama, kita tak tahu apa pun soal Hillary,” kata Trump di muka para aktivis United in Purpose, dikutip CNN, pada Juni lalu. “Padahal dia sudah bertahun-tahun ada di depan mata publik.”

Entah memang tak tahu atau Trump pura-pura tak tahu, ada banyak berita soal keyakinan Hillary. Sebagai anggota jemaah Gereja First United Methodist, saat berkampanye di New Hampshire pada awal tahun lalu, Hillary menyitir sebagian ajaran yang dia yakini. “Kalian tahu, agama dan keluargaku mengajarkan kredo sederhana: buat kebaikan semampumu, mengikuti cara yang kamu bisa, dan untuk sebanyak-banyaknya orang yang kamu mampu,” kata Hillary. Sebelumnya, walaupun agak jarang bicara soal agama, mantan Menteri Luar Negeri Amerika itu juga berulang kali bicara soal kepercayaan dalam hidupnya. “Aku dibesarkan dengan doa, pada malam hari atau saat hendak makan.”

Hillary tak asal “jual kecap”. Sejak masih kecil, jauh sebelum urusan agama ini jadi soal politik, menurut Patrick Maney, penulis biografi Bill Clinton, Hillary memang dekat dengan agama. Adalah Don Jones, pendeta di Gereja Methodist di Park Ridge, yang jadi sumber inspirasi Hillary muda.

Poster penolakan Hillary
Foto: Alex Wong/Getty Images

Tak ada satu hal pun yang berbau feminin atau perempuan padanya.”

“Dialah yang mengajariku soal iman, juga pentingnya keadilan sosial dan hak asasi manusia,” kata Hillary, dikutip Chicago Sun Times. Pendeta Jones tak hanya berkhotbah di atas podium gereja. Dia juga mengajak “murid-murid”-nya terjun ke lapangan untuk melihat langsung masalah yang dihadapi banyak orang. “Dia membawa Hillary dan teman-temannya mengunjungi kampung-kampung kumuh di Chicago, bertemu dengan komunitas miskin kulit hitam dan keturunan Puerto Riko,” kata William Chafe, profesor sejarah di Universitas Duke.

Hillary memang tak pernah jauh dari gereja, bahkan masih selalu menyempatkan diri ke gereja di sela-sela bertumpuk-tumpuk kegiatannya. Tapi sebagian orang terus menyangsikan kepercayaannya. Survei bersama Washington Post-ABC beberapa bulan lalu menunjukkan lebih dari 73 persen jemaah Gereja Evangelis di Amerika punya pandangan buruk terhadap Hillary. Kebencian terhadap Hillary inilah yang jadi pertimbangan utama mereka menyokong Donald Trump.

Salah satu sumber kebencian itu adalah dukungan Hillary terhadap kelompok pro-choice dalam hal pengguguran janin. “Hillary seolah-olah bertanggung jawab atas setiap janin yang diaborsi,” kata Deborah Fike, mantan pemimpin Asosiasi Evangelis Nasional, kepada Washington Post. Deborah mundur dari asosiasi itu setelah terang-terangan menyampaikan dukungan kepada Hillary. Gara-gara keputusan itu, Deborah turut dimusuhi. “Mereka mengatakan aku telah mendukung putri setan dan tanganku turut berlumuran darah 60 juta janin yang diaborsi.”

* * *

Hillary Clinton
Foto: Lucy Nicholson/Reuters

Ada banyak alasan untuk tak suka kepada Hillary, entah mengada-ada atau memang punya dalih kuat. Puluhan tahun lalu, saat Hillary masih Ibu Gubernur Arkansas, Meredith Oakley menulis kolom di koran Arkansas Democrat Gazette.

Meredith menulis salah satu alasan mengapa warga Arkansas tak suka kepada Hillary. “Dia tak mencukur bulu kakinya.” Tak hanya menolak mencukur bulu-bulu di kaki, Hillary juga tidak mencukur bulu di ketiak dan tak memakai stoking ketika mengenakan rok. Satu hal yang dianggap tak lazim bagi perempuan Arkansas kala itu.

“Tak ada satu hal pun yang berbau feminin atau perempuan padanya,” ujar mantan sekretaris di Rose Law, kantor Hillary kala itu, dikutip David Brock dalam bukunya, The Seduction of Hillary Rodham. Bahkan selera makan Hillary juga jadi bahan pergunjingan para staf di kantornya. “Dia seperti tengah berdiet untuk selamanya…. Dia membawa satu kotak besar selada dan memakan itu sepanjang hari.”




Poster anti-Hillary
Foto: Jessica Kourkounis/Getty Images

Beberapa mantan pengawal Bill Clinton di Arkansas mengomel soal kecerewetan Hillary soal rokok dan sejumlah hal. “Dia selalu meneriaki kami salah arah saat kami mengantarnya ke satu acara…. Dia juga penentang berat rokok, dan sebagian besar kami merupakan perokok,” kata Larry Gleghorn, mantan pengawal Gubernur Bill Clinton, dikutip dalam buku David Brock.

David Brock, kala itu wartawan The American Spectator, merupakan salah satu tokoh kunci dalam Proyek Arkansas. Bermodal guyuran duit dari triliuner Richard Mellon Scaife, Brock bersama mantan polisi Rex Armistead dan sejumlah orang bayaran menggali segala cerita buruk soal Hillary dan Bill Clinton.

Ide untuk Proyek Arkansas ini, menurut R. Emmett Tyrrell Jr., redaktur The American Spectator, bermula dari obrolan antara politikus konservatif David Handerson dan teman-temannya pada 1993. Obrolan ringan untuk menjegal karier politik pasangan Clinton itu makin serius dan akhirnya “dijual” kepada Richard Mellon.

Seorang warga mengenakan kaus anti-Hillary
Foto: Jeff J. Mitchell/Getty Images

Kepada Washington Post bertahun-tahun kemudian, David Brock mengaku belakangan baru sadar bahwa mereka tak hanya mengungkap borok pasangan Clinton, tapi hal itu dimanfaatkan untuk menjegal karier politik mereka. Dalam buku keduanya, Blinded by the Right, Brock mengaku tak menemukan bukti ada yang “amis” pada pasangan Hillary-Bill Clinton.

Lewat majalah Esquire pada 1998, Brock minta maaf kepada pasangan Clinton. “Aku telah ikut berkonspirasi untuk menjatuhkan kalian,” Brock menulis. Menurut Brock, banyak cerita buruk soal Clinton yang dia dapat di Arkansas besar kemungkinan terlampau dibesar-besarkan oleh narasumbernya. “Aku tak bilang mereka telah berbohong, tapi besar kemungkinan cerita itu dilebih-lebihkan.”

Lantaran kelewat bersemangat mencari cerita buruk soal Clinton, menurut Brock, sikap kritisnya sebagai wartawan luntur, sehingga dia gampang termakan oleh cerita-cerita yang bombastis dari narasumber. Pengakuan Brock jadi bukti bahwa memang ada konspirasi untuk menjegal Hillary dan Bill Clinton.

“Aku punya otoritas untuk bicara soal konspirasi sayap kanan karena aku pernah menjadi bagian dari mereka,” kata Brock kepada Observer. Gara-gara pengakuan itu, Brock ditendang dari kantornya dan jadi musuh bagi kawan-kawan lamanya. Kehidupan pribadinya—dia seorang gay—dibocorkan ke sejumlah media. Brock dan pasangannya jadi bulan-bulanan.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE