INTERMESO

Menyusup ke Paris demi Kuliah
di Sorbonne

Terobsesi untuk bersekolah di luar negeri, Alijullah Hasan Jusuf bertindak nekat. Tanpa paspor dan visa, dia menyusup ke pesawat Qantas menuju Paris.

Ilustrasi: Fuad Hasim

Kamis, 27 Oktober 2016

Dua hari menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia pada 1968, situasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, Prancis, mendadak kembali sibuk. Mereka kedatangan tamu tak diundang, seorang remaja berusia 17 tahun bernama Alijullah Hasan Jusuf. Dia terdampar di Bandara Le Bourget malam sebelumnya dan kemudian dijemput staf kedutaan.

Juwana, yang saat itu tengah melaksanakan tugas belajar di Institut International d'Administration Publique, Paris, masih ingat dengan jelas peristiwa hampir setengah abad lalu tersebut. "Anak itu tidak membawa paspor dan visa," ujar Juwana saat mengisahkan peristiwa itu kepada detikX, Selasa, 25 Oktober 2016.

Kepada staf Kedutaan, Ali mengaku berencana menuju London untuk bersekolah. Di sana dia akan tinggal bersama pamannya, Usman Hamzah. Tapi, setelah dicek ke Imigrasi Indonesia, kata Juwana, tak ada nama Alijullah. Begitupun saat dimintakan konfirmasi ke KBRI London, tak ada nama Usman. Meski demikian, Ali tak pernah mengubah pengakuannya, sehingga keberadaannya di Paris terus menjadi teka teki bagi Duta Besar Letnan Jenderal GPH Djatikoesoemo dan para stafnya.

Menurut Juwana, yang kemudian menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Cina pada era 1990, Ali tinggal di gedung Kedutaan hampir sebulan. Ali tinggal di kamar bersamanya, Widodo, serta staf kedutaan Yudadi.

Alijullah Hasan Jusuf dan istri, Suryati Harefa, saat berada di Jakarta pertengahan Oktober lalu
Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX

Alijullah saat baru tiba di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris Agustus 1968
Foto: dok pribadi

Mantan Dubes untuk Cina, Juwana, dan istri di depan monumen Hiroshima, Jepang
Foto: dok pribadi Juwana

Melihat kukuhnya Ali menyimpan rahasia, Juwana bersiasat. Sambil cuci piring, ia berkata, "Ali, tiap malam kok kamu mimpi jelek? Kirimkanlah kabar kepada keluargamu." Ali pun menukas, "Saya tidak punya duit, Om." Juwana berjanji akan membantu mengirimkan.

Remaja kelahiran Blang Paseh, Pidie, Aceh, itu akhirnya menulis surat kepada saudaranya di Jakarta. Namun, sebelum surat itu diposkan, diam-diam Juwana membuka dan membaca isi pesannya. Dalam surat itu, Ali antara lain bercerita tentang keberhasilannya menyelundup ke Paris. "Dari situ akhirnya saya tahu anak ini," ujar Juwana.

Beberapa waktu kemudian, Juwana kembali menghampiri Ali. Seolah-olah belum tahu, ia membujuknya agar menceritakan kisah yang sebenarnya. Ali, yang sudah lelah menutupi kisah perjalanannya itu, akhirnya menyerah dan berterus terang. "Ali menangis sambil mengaku ia menyelundup ke Paris," ujar Juwana. Ia lantas menghubungi sekretaris Duta Besar untuk minta izin agar Ali bisa menceritakan langsung kisahnya kepada Djatikoesoemo.

* * *

Ali terbang ke Paris menggunakan pesawat maskapai penerbangan Qantas. Pesawat yang terbang dari Sydney, Australia, tersebut sedang transit di Bandara Kemayoran, Jakarta. Saat itulah Ali menyelundup naik. Ia membaur dengan para penumpang yang turun sejenak. Persiapan menuju Eropa tanpa tiket itu sudah dilakukan Ali beberapa bulan sebelumnya. Ia bahkan punya pengalaman menyelundup terbang ke Belanda pada Desember 1967, tapi akhirnya dideportasi. Perjalanan nekatnya yang pertama itu ia paparkan dalam buku bertajuk Penumpang Gelap: Menembus Eropa tanpa Uang, yang terbit pada 2015.

Cita-cita saya sekolah ke Eropa tidak padam setelah dideportasi, bahkan bertambah besar."

Alijullah Hasan Jusuf

"Cita-cita saya sekolah ke Eropa tidak padam setelah dideportasi, bahkan bertambah besar," kata Ali saat ditemui detikX di sebuah pusat belanja di kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 19 Oktober. Ia nekat mencoba peruntungannya kembali dengan hanya berbekal sweater krem, alamat Kedutaan Besar RI di Paris dan London, serta baju dan celana yang dipakainya.

Pelukis Salim, yang dianggap sebagai ayah angkat Alijullah di Paris
Foto: dok pribadi


Berhasil naik ke pesawat, masalah baru muncul bagi Ali. Ia kesulitan menemukan kursi 48-B. Kursi kosong itu sudah dia tandai dari loket check-in di bandara. Hampir saja pramugari mencurigai tingkahnya yang kebingungan. Tak selesai di situ. Ketika Boeing 707 tersebut transit di Singapura dan Sri Lanka, Ali harus berkelit menghindari pemeriksaan imigrasi.

"Ketika petugas menghitung penumpang, mereka sempat berhenti sesaat di pintu, mungkin merasa aneh dengan hitungan mereka," ujar Ali. Tapi petugas itu rupanya tak masuk lagi. "Mungkin mereka mengira salah hitung." Keajaiban serupa dialaminya saat mampir di Bandara Beirut dan Roma. "Belakangan, saya pikir-pikir keajaiban itu mungkin hadir karena kepasrahan dan tekad saya menuju Eropa menjadi satu."

* * *

Hati-hati, anak ini (Ali) cerdas. Kalau tidak dibina, bisa bahaya."

Pengakuan Ali kepada Dubes Djatikoesoemo tak banyak mengubah nasibnya. Ia hanya dijanjikan paspor tanpa kepastian waktu. Untuk mengisi waktu, Ali bekerja serabutan di kantor Kedutaan, seperti menyapu halaman dan mencuci mobil staf Kedutaan untuk mendapat uang saku. Ia juga belajar bahasa Prancis kepada Sofia Anggraini, yang tengah berkuliah di Universitas Sorbonne. Ia juga bersahabat dengan pelukis Salim.

Kepastiannya menerima paspor semakin sirna ketika Djatikoesoemo digantikan oleh Raden Askari pada Mei 1969. Duta besar yang baru ini bahkan memintanya kembali ke Jakarta. Remaja yang baru dua tahun bersekolah di Sekolah Teknik Menengah Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu menolak menyerah. Ia memutuskan kabur dari kompleks Kedutaan. Akari pun memerintahkan para stafnya, termasuk Juwana, mencari Ali. "Pak Dubes khawatir Ali kabur ke Amerika Serikat," ujar Juwana sambil tertawa.

Rupanya Dubes Askari menaruh perhatian besar terhadap Ali. Bahkan, menurut Juwana, Askari sempat berpesan khusus kepada stafnya, "Hati-hati, anak ini (Ali) cerdas. Kalau tidak dibina, bisa bahaya." Juwana berhasil menemukan Ali di depan restoran Kamboja. Ia pun memeluk Ali dan menggenggam erat tangannya agar tak melarikan diri.

Alijullah berfoto bersama staf Kedutaan Besar Indonesia lainnya di Paris pada 1974
Foto: dok pribadi

Setelah situasi tenang, Juwana mengajak Ali minum kopi. Ia membujuknya agar mau pulang ke Indonesia. "Saya tekankan, meski niat untuk bersekolah sangat baik, kejujuran tetap diperlukan," ujar Juwana. Ia menilai, sebagai remaja, Ali punya kemauan belajar yang sangat kuat. “Itu yang saya apresiasi."

Setelah 10 bulan di Paris, Ali akhirnya memenuhi nasihat Juwana, yang sudah dianggapnya sebagai kakak. Dia kembali ke Jakarta dan bekerja di perusahaan Prancis atas rekomendasi Paul Nayoan, mantan Direktur Perwakilan Garuda di Paris. Ali sangat menghemat pengeluarannya agar bisa membiayai pengurusan paspor, visa, dan membeli tiket ke Paris.

Pada 18 Februari 1970, Ali kembali ke Eropa lewat prosedur resmi. Ia memilih mendarat di Amsterdam karena ingin membuktikan kepada polisi Belanda yang pernah menangkapnya bahwa dirinya bisa ke Eropa secara legal. Dari Amsterdam ia naik kereta ke Paris.

Pelukis Salim menyambutnya, "J'etais sur que tu reviendrais. Saya yakin kau akan kembali." Ia diminta membantu di bagian tata usaha Kedutaan.

Beberapa minggu kemudian, Ali mendaftar di Alliance Francaise, sekolah bahasa Prancis. Sesudah bisa berbahasa Prancis dengan baik, ia mendaftar ke Universitas Sorbonne. "Aku cium tembok gedungnya. Gedung yang sudah kuidam-idamkan," katanya. Karena harus bekerja, Ali mengambil kelas malam. Kisah hidupnya menuju Paris itu kemudian ditulisnya dan diterbitkan menjadi buku Paris Je Reviendrai, yang diluncurkan pada Sabtu, 15 Oktober lalu, di Jakarta.

Setelah pensiun tiga tahun lalu, Ali memilih menetap di Paris. Lima anak hasil pernikahannya dengan Suryati Harefa lahir di Paris. Bahkan dua anaknya sudah menikah dengan pria warga negara Prancis.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE