INTERMESO

Kisah Ali ke Amsterdam tanpa Paspor

Tinggi badan Alijullah Hasan Jusuf cuma 160 sentimeter, tapi cita-citanya setinggi langit. Optimistis bisa mewujudkan mimpinya dengan kerja keras.

Alijullah (kiri) dan sepupunya, Nurdin Achmad, saat bertemu di Amsterdam

Foto: repro dok. pribadi

Kamis, 27 Oktober 2016

Sebelum berhasil terbang menyusup ke Paris, Prancis, Alijullah Hasan Jusuf pernah menyelinap ke kabin Garuda menuju Amsterdam, Belanda, pada 11 Desember 1967. Aksi nekatnya itu dipicu oleh rasa cemburu setiap kali melihat orang lain yang dapat dengan leluasa naik-turun pesawat dari Bandara Kemayoran.

Lelaki kelahiran Aceh, 24 Juli 1951, itu tinggal di Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Ia tinggal di kediaman sepupunya, Nurdin Achmad, yang bekerja di Departemen Penerangan sekaligus menjadi wartawan lepas di beberapa media. Tapi Ali tak mau berpangku tangan. Siang hari sepulang dari sekolah di STM Budi Utomo, di Lapangan Banteng ia berjualan koran milik agen Teuku Achmad Tito untuk sekadar menambah uang jajan. Maklum saja, M. Yusuf, ayahnya, yang cuma sersan TNI, tak punya gaji cukup untuk selalu mengiriminya uang. 

Sebagai pelajar pada masa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru pada 1966, sesekali Ali ikut berdemonstrasi. Apalagi aktivitas belajar-mengajar kerap kali kosong karena guru-guru silih berganti absen. Mereka memilih ngobyek di tempat lain karena berbulan-bulan gaji tak dibayarkan. Kondisi tersebut tentu membuat galau remaja asal Blang Paseh, Pidie, Aceh, itu.

Alijullah Hasan Jusuf
Foto: repro dok. pribadi


Sempat terlintas untuk menyelinap ke bagian roda pesawat. Tapi ia sadar akan risiko maut yang bakal dihadapi.”

Di kala istirahat di rumah sang paman di Jalan Gunung Sahari II, telinga Ali kerap tergoda oleh deru suara pesawat di Kemayoran. Suatu hari ia meniatkan diri mengunjungi bandara untuk sekadar melihat hilir mudik para calon penumpang. Juga mengagumi kecantikan pramugari maskapai penerbangan KLM milik Belanda. "Harum wangi mereka memenuhi hidungku. Beda dengan minyak wangi cap Ikan Duyung punya kakak saya," kata Ali diiringi tawa lepas saat berbincang dengan detikX di sebuah mal di Jakarta Selatan, Rabu, 19 Oktober 2016.

Suasana di Bandara Kemayoran memantik rasa cemburu dalam batin Ali. Kecemburuan yang kemudian melambungkan ambisi dan mimpi-mimpinya sebagai remaja. Meski cuma orang kampung dengan uang pas-pasan, ia bertekad untuk berlagak seperti mereka. Hasratnya terbang ke luar negeri meluap-luap. Terbang ke Amsterdam, Belanda, menggunakan maskapai KLM menjadi salah satu targetnya.

Ali pun rutin mengunjungi bandara, mempelajari jadwal penerbangan dan situasi bandara. Begitupun seluk-beluk naik pesawat dan proses di bagian Imigrasi. Sempat putus asa, terlintas di benaknya untuk menyelinap ke bagian roda pesawat. Tapi ia sadar akan risiko yang dihadapinya. "Bisa gepeng nanti," kata Ali.

Alijullah bersama keluarga besar saat pernikahan salah seorang anaknya di Paris
Foto: repro dok. pribadi

Suatu hari, saat keluar dari bandara, matanya terantuk pada sehelai kartu berwarna merah yang tergeletak di dekat tempat buang puntung rokok. Ia memungutnya begitu suasana sepi. Sesampai di rumah, kartu itu dia bersihkan. Bekas-bekas sepatu dilap dengan kain basah. Terbaca coretan dengan pulpen di kolom “Seat” tertera 57-F dan di “Flight” ada angka 892. Tanggal 11 Desember 1967, tibalah saat yang dia tunggu-tunggu. Tas kecil yang dibelinya di Pasar Senen diisi dengan sarung Aceh hadiah ibu, dua kemeja, dan baju dalam. "Saya juga bawa sajadah murahan, buku sejarah Eropa, dan kamus," ujarnya.

Saat penumpang dipanggil untuk masuk ruang pemeriksaan di bagian Bea-Cukai, ia melihat rombongan sarjana Indonesia yang akan mengikuti seminar di Kairo, Mesir, berkumpul di ruang VIP. Ali pun memutuskan membaur dengan rombongan tersebut melalui pintu kecil yang dipergunakan pekerja bandara. Semuanya berjalan mulus sampai dia duduk di kursi sesuai dengan boarding pass yang dia temukan sebelumnya.

Ali juga lolos dari pemeriksaan Imigrasi saat pesawat transit di Singapura, Bangkok, Bombay, Karachi, Kairo, dan Roma. Setiap kali transit, degup jantungnya selalu cepat berpacu. Dua puluh empat jam setelah meninggalkan Kemayoran, pesawat tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Pilot mengumumkan suhu udara Amsterdam kala itu mencapai minus 10 derajat Celsius. Kenyataan itu menyulitkan Ali karena tak punya jaket tebal. "Saya akhirnya menyerah," ujarnya.

Kliping sebuah surat kabar yang memberitakan kenekatan Ali menyusup ke dalam pesawat Garuda dari Jakarta ke Belanda
Foto: repro dok. pribadi

Dideportasi ke Jakarta dan ditahan lebih dari tiga bulan tanpa proses persidangan.”

Ia diinterogasi petugas Imigrasi. Konsul Jenderal Indonesia di Amsterdam yang datang mendampratnya. Kalau mau serius sekolah, kata si Konjen, harus punya paspor, visa, dan membeli tiket pesawat. Keesokan paginya, Ali dideportasi menggunakan Garuda. “Kamu harus kembali ke sini dengan paspor dan visa," polisi Belanda yang mengantarnya memberi nasihat.

Sesampai di Kemayoran, Ali diserbu wartawan. Dia lantas digiring ke kantor polisi di Kemayoran dan ditahan lebih dari tiga bulan tanpa proses persidangan. Tepat tengah hari pada 18 Februari 1968, Ali dibebaskan. Perjalanan nekatnya itu ia paparkan dalam buku bertajuk Penumpang Gelap: Menembus Eropa tanpa Uang yang diterbitkan Kompas.

Proklamator Mohamad Hatta, Menteri Luar Negeri Adam Malik, dan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Syarif Thayeb, yang pernah ditemuinya di Paris pada awal 1972, menyarankan agar Ali menuliskan perjalanan hidupnya itu. Dua tahun kemudian, ia mulai menulis dan menerbitkannya pada 2015. 

Foto: repro dok. pribadi

Pesan utama yang ingin disampaikan melalui buku tersebut, kata Ali, bukan soal kenekatannya menyusup ke pesawat, melainkan bagaimana meraih mimpi tanpa kenal menyerah.

Alexandra Meutia, putri sulungnya, mengaku baru tahu detail perjalanan hidup sang ayah dari buku-buku tersebut. Sebab, Ali merahasiakan kerasnya kehidupan yang dijalani, termasuk perjuangan menjadi loper koran atau tidur di atas peti rokok. “Sambil menangis, saya telepon Ibu, yang sedang di Indonesia, apakah yang dikisahkan dalam buku ini benar," ujar Alexandra. “Saya dan adik-adik makin mengagumi ayah.”

Menurut Suryati Harefa, semua anaknya memang mewarisi sifat Ali, terutama keberanian mengejar mimpi dan berjuang sendiri untuk sekolah. Mereka bersekolah dan mengikuti training sampai ke luar Prancis dengan usaha sendiri. “Dua dari lima anak kami berhasil menyelesaikan S-2 dalam usia yang relatif muda," ujarnya bangga. “Sampai sekarang, setelah 39 tahun menikah, saya melihat karakter Ali masih seperti itu. Selalu bekerja keras bila ingin mendapatkan sesuatu.”


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE