INTERMESO

Komik Indonesia
Tak Ada Matinya

Setelah sekian lama pingsan, komikus-komikus Indonesia bangkit dan menyerang balik komik-komik asing.

Ilustrasi: Fuad Hasim

Sabtu, 24 Desember 2016

Habis galau, terbitlah Galauman. "Cambuk air mata galau!" ujar Galauman berteriak seraya mengeluarkan salah satu jurus andalannya. Air mata Galauman keluar deras membentuk cambuk untuk menghajar musuh-musuhnya.

Galauman bukan karakter nyata, melainkan sosok pahlawan super pemberantas kejahatan dalam komik dengan judul yang sama. Komik ini berkisah mengenai Gabriel Laurent, pemuda yang selalu galau karena sering ditolak cewek. Istimewanya, ia tidak depresi karena galau. Tapi kegalauan mengubahnya menjadi sosok super yang menyelamatkan dunia dari kejahatan.

Cerita komik superhero Indonesia yang lucu banget ini ditulis Ockto Baringbing dengan ilustrasi oleh Ino Septian dan diterbitkan re:ON Comics. Karakter yang diperkenalkan sejak 2013 ini menjadi salah satu andalan komik kompilasi re:ON Comics.

Sama seperti Galauman yang muncul dari galau menjadi sebuah kekuatan, begitu pula dengan re:ON Comics. Kerisauan jugalah yang menjadi pemantik bagi Yudha Negara Nyoman, Chris Lie, dan Andik Prayogo mendirikan re:ON Comics. Ketiganya melihat banyak komikus Indonesia yang jago menggambar tapi justru bekerja untuk penerbit asing. Chris Lie sendiri punya jam terbang tinggi di dunia komik. Arsitek yang banting setir jadi komikus ini pernah bekerja untuk sejumlah penerbit komik di Amerika Serikat.

Banyaknya jago gambar Indonesia yang bekerja untuk studio komik asing memang tak dapat dihindari karena kondisi perkomikan Indonesia pernah memasuki masa-masa sangat suram. "Penerbit asing ini masuk tidak hanya untuk pasar, tapi untuk nyari ilustrator atau komikus yang jago. Karena di sana tarifnya sudah mahal," ujar Yudha kepada detikX, Kamis dua pekan lalu, di kantor re:ON Comics di kawasan Apartemen Mediterania, Jakarta. Tak hanya itu, Yudha melihat industri komik di Indonesia kerap diremehkan dan masih dicap tak mendidik.

Komik-komik re ON
Foto: re:ON Comics

Sekarang malah penerbit yang nyari komikus.”

Ino Septian, sarjana peternakan lulusan Institut Pertanian Bogor yang jadi komikus

Berangkat dari kegelisahan itu, ketiganya akhirnya sepakat mendirikan wadah untuk mengumpulkan komikus-komikus potensial. Re:ON Comics pun dicanangkan menjadi pusat inkubator bagi komikus dalam negeri untuk berkarya secara profesional sehingga dapat menghasilkan komik lokal dengan kualitas internasional. "Daripada kerja untuk orang luar dan hak intelektual juga diambil, mending kami buat wadah untuk menghidupkan kembali komik Indonesia," kata Yudha.

Komik Indonesia memang sudah lumayan lama pingsan, atau bolehlah disebut mati suri, setelah babak belur dihajar manga dari Jepang, juga komik-komik dari Hong Kong. Tapi seperti rumput yang meranggas karena kemarau panjang, komikus Indonesia tak benar-benar mati. Dengan rupa-rupa cara, komikus dan jago-jago gambar negeri ini berusaha bertahan hidup dan mencoba tegak kembali.

“Pendekar-pendekar” komik sepuh, seperti Ganes T.H., Teguh Santosa, Jan Mintaraga, Djair Warni, Hasmi, Taguan Hardjo, dan Zaldy, sebagian besar sudah meninggal. Hanya tinggal Hans Jaladara dan Mansyur Daman, pendekar komik tahun 1960-1970-an, yang masih bertahan. Hans dan Mansyur belum “menggantungkan” penanya sampai hari ini.

Sekarang ada banyak sekali komikus, rata-rata masih muda, yang bergerilya melawan dominasi manga dan berusaha menjadi tuan di negeri sendiri. Selain label re-ON, Dar!Mizan, dan M&C Gramedia yang gampang ditemui di toko buku besar, seperti Gramedia, ada pula penerbit komik indie, seperti Metha Studio di Yogyakarta, Penerbit Kosong, Barasub Press, Sarekat Dagang Komik, Scroll Down Comics, Milisi Fotocopy, dan Mataram Comics Indie asal Lombok.  

Sekarang, menurut Beng Rahadian, komikus sekaligus dosen di Institut Kesenian Jakarta, kesempatan merebut pasar bagi komik Indonesia sangat besar lantaran ada kecenderungan penurunan penetrasi komik luar. “Walaupun porsinya masih banyak di rak-rak toko buku,” kata Beng. Apalagi komik lokal punya keunggulan. “Karena kebanyakan komik lokal ini berbicara persoalan sehari-hari.”

Foto: Hasan Alhabsy/detikcom

Ino Septian
Foto: Pasti Liberti Mapapa

Galauman komik yang digambar oleh Ino Septian.
Foto: re:ON Comics

Tepat pada Juli 2013 majalah komik volume pertama re:ON Comics berhasil diluncurkan. Bentuknya kompilasi komik hasil karya komikus-komikus dalam negeri. Is Yuniarto dengan komik Grand Legend Ramayana; Angie & Kate Yan membuat komik The Journal of Platina Parlour, dan beberapa komikus muda lainnya. "Re:ON pun pada awalnya disangka komik luar," ujar Yudha sambil tertawa.

Yudha pun memaklumi pandangan itu. Pasalnya, hampir semua komikus yang bergabung dengan re:ON Comics terpengaruh dengan gaya manga. "Mereka mau tidak mau sudah lama terekspos dengan komik Jepang yang menguasai industri komik kita," kata Yudha. Akhirnya re:ON menekankan pada komikusnya memasukkan unsur kehidupan di Indonesia sehari-hari pada setiap ceritanya. "Ada warung kaki lima, bus TransJakarta, agar cerita komik dan pembaca terasa dekat."

Setelah tiga tahun lebih berjalan, sudah 24 volume majalah kumpulan komik yang diterbitkan re:ON. Beberapa judul dalam kompilasi yang mendapat sambutan bagus, seperti The Grand Legend Ramayana, Galauman, dan Big Slacker Baby, dicetak sendiri dalam komik lepas. Bahkan Big Slacker Baby karya Annisa Nisfihani, seorang komikus dari Tenggarong, Kalimantan Timur, akan diangkat dalam serial televisi. "Serial ini unik karena menggabungkan animasi dengan yang riil," kata Yudha.  

Teknologi pun dimanfaatkan untuk mengenalkan re:ON Comics. Selain membuat serial televisi, kini beberapa karakter komik dijadikan karakter dalam aplikasi game. Lagu-lagu dan klip videonya pun dibuat untuk menyasar pasar anak-anak usia remaja. "Karena kita tumbuhnya organik lewat komunitas, pemasaran lewat mulut ke mulut, maka untuk mempercepat pengenalan kita mencoba keluar dari komik," ujar Yudha.

* * *

Galauman mulai masuk majalah komik re:ON pada edisi kedua. Ilustratornya, Ino Septian, sarjana peternakan lulusan Institut Pertanian Bogor. Galauman berawal dari perkenalannya dengan Ockto Baringbing, yang juga seorang komikus, pada awal 2013. Cerita Galauman yang dibuat Ockto berhasil menarik perhatian editor re:ON. "Namun dibutuhkan komikus lain untuk menggambar dan Ockto mengajak saya," ujar Ino.

Ino sudah kenal komik sejak masih kanak-kanak. Tinggal di Pati, kota kecil di Jawa Tengah, Ino ikut terjangkit demam komik-komik terbitan Hong Kong, seperti Tapak Sakti. "Karena komiknya mahal, carinya harus di penyewaan komik, sementara rental komik pun jarang karena Pati kota kecil," kata Ino.

Tiga pendiri re:ON Andik Prayogo, Chris Lie, dan Yudha Negara Nyoman
Foto: Hasan Alhabsy/detikcom

Studio re:ON Comics
Foto: Hasan Alhabsy/detikcom


Pria kelahiran 34 tahun lalu ini makin asyik masyuk dengan komik setelah kuliah di Kota Hujan, Bogor, untuk kuliah pada tahun 2000. Di Bogor komik gampang diperoleh. Buku-buku tulis bukan hanya dipakai untuk catatan kuliah. Berbagai macam karakter dari buku-buku komik memenuhi buku-bukunya. "Saya waktu itu hanya niru-niru. Kayak karakter dari komik Dragon Ball kan lumayan banyak," ujarnya.

Tapi saat itu tak sekali pun Ino bermimpi menjadi tukang gambar komik. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan kuliah dan mencari pekerjaan. "Menggambar hanya hobi untuk mengisi waktu saja saat itu," katanya. Setelah lulus kuliah, Ino diterima menjadi pengawas di bagian pengemasan di sebuah perusahaan farmasi di Jakarta Barat.

Setelah hampir 4 tahun bekerja di pabrik, Ino mulai jenuh. Ia merasa tak cocok dengan kultur kerja di pabrik yang menurutnya monoton, seperti mesin, bekerja dari pagi dan pulang sore hari. Ayah dua anak ini teringat bahwa dia punya kemampuan menggambar. "Saya cari-cari peluang bagaimana caranya keterampilan gambar saya bisa menghasilkan uang," katanya.

Ino menggambar komik kisah petualangan Hanoman yang dimodifikasi. Komik yang diberi judul Pancanaka itu kemudian dia tawarkannya kepada penerbit Elexmedia Komputindo. "Rupanya penerbit tersebut sudah tidak menerbitkan komik fiksi," ujar Ino. Tak putus asa, berdasarkan informasi yang didapatkannya, Ino memutuskan membuat akun di DeviantArt, situs komunitas seniman dari seluruh dunia untuk memamerkan karya.

Ino pun memajang gambar-gambarnya dalam situs itu. Tak berapa lama, pesanan pun mulai berdatangan. "Yang memesan macam-macam…. Ada dari Inggris, Amerika, India. Kebanyakan meminta digambarkan karakter dari film tertentu untuk koleksi mereka," kata Ino. Komik Pancanaka ciptaannya akhirnya diterima Penerbit Koloni untuk diterbitkan.

Setelah memiliki keyakinan bisa menjadi komikus profesional, Ino akhirnya memutuskan pamit keluar dari perusahaan farmasi. "Semakin ke sini komik Indonesia semakin maju. Sekarang malah penerbit yang nyari komikus. Apalagi sekarang banyak yang online," katanya. Selain menggambar untuk re:ON, komik karya Ino yang berjudul Creep bisa dinikmati lewat portal Line Webtoon. Karya-karya Ino dan semangat teman-temannya menjadi bukti bahwa komik Indonesia tak ada matinya.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mapapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE