undefined
image 1 for background / image background
image 2
image 3
image 4

INVESTIGASI

Hat Trick Sesat
'Nabi' Moshaddeq

Ahmad Moshaddeq menggeser Al-Qiyadah Al-Islamiyah menjadi Komunitas Millah Abraham, lalu jadi Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Untuk ketiga kalinya, ajaran Moshaddeq mendapatkan stempel sesat.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Selasa, 1 Maret 2016

Ahmad Moshaddeq akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dua hari beradu argumen dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan tentang Islam, ia pun menyatakan bertobat.

Hari itu, Jumat, 9 November 2007, di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, pemimpin aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah tersebut mengucapkan kalimat syahadat yang sama dengan ajaran Islam. Moshaddeq juga mencabut klaimnya sebagai rasul setelah Nabi Muhammad.

"Saya menyadari, sejak lama ulama bersepakat bahwa khatamun nabiyyin menjadi ijmak para ulama dan umat Islam. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir. Saya mendapat penjelasan dan saya menyadari," kata Moshaddeq, yang saat itu juga meminta pengikutnya bertobat.

Moshaddeq berada di ruang tahanan Polda Metro Jaya karena sangkaan penistaan agama lewat aliran Al-Qiyadah, yang sebulan sebelumnya dinyatakan sesat oleh MUI. Kejaksaan Agung juga melarang penyebaran ajaran tersebut dan minta agar segala aktivitasnya diawasi.

Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Moshaddeq dijatuhi hukuman empat tahun penjara pada 2008. Ia meringkuk di ruang tahanan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Bila sesuai dengan masa hukuman, Moshaddeq bebas pada 2013.

Ini merupakan sesuatu yang baru. Dari Alqi (Al-Qiyadah), kami bergeser ke Komar."

Namun penjara rupanya tidak membuat Moshaddeq jera. Sebulan ini namanya kembali mencuat pascapemulangan ribuan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dari kamp-kamp mereka di Kalimantan Barat. Gafatar disebut-sebut metamorfosis Al-Qiyadah.

Moshaddeq memang terus bergerilya menyebarkan ajarannya. Setelah Al-Qiyadah dilarang, ia sempat membentuk wadah baru bernama Komunitas Millah Abraham (Komar) pada 2009. Komar menggabungkan tiga ajaran agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh detikX, pembentukan Komar itu dilakukan pada 12 September 2009 dalam sebuah pertemuan di Cisarua, Puncak, Bogor. Dalam pertemuan itu, diedarkan pula wejangan yang diduga berasal dari Moshaddeq.


Ahmad Moshaddeq
Foto: Gagah Wijoseno/detikX

Millah Abraham, kata Moshaddeq, bertujuan membangun dunia baru seperti halnya Yerusalem dalam Injil atau Darrussalam dalam Al-Quran. Namun kali ini negeri yang baru tersebut lebih bersifat global.

Moshaddeq kembali menyisipkan risalah kenabiannya dalam wejangan itu. Kemudian ia mengatakan Al-Quran akan menggunakan bahasa Indonesia supaya gampang dipahami. "Ini merupakan sesuatu yang baru. Dari Alqi (Al-Qiyadah), kami bergeser ke Komar."

Moshaddeq pun mewanti-wanti, kalau ada yang mempermasalahkan nama "Komar", dijawab saja bahwa komunitas itu tak bicara atribut-atribut keagamaan. Namun yang diutamakan adalah pemahaman kitab-kitab suci.

Ajaran Komar menyebar dan diikuti jemaah dari berbagai wilayah. Dua tahun eksis, “baju baru” Moshaddeq itu pun tercium. Pada 6 April 2011, Gubernur Aceh mengeluarkan keputusan yang melarang ajaran tersebut dan MUI setempat menyatakannya sesat.


Buku-buku Gafatar
Foto: dok Polda Kalimantan Barat

Setelah dilarang di Aceh, Komar tiarap. Tak lama, muncullah deklarasi Gafatar pada 14 Agustus 2011 di Kemayoran, Jakarta Pusat. Dalam acara itu juga ditunjuk Mahful Manurung sebagai ketua umum dan Berny Satria sebagai Sekretaris Jenderal Gafatar.

Dalam deklarasi itu hadir aktor Ray Sahetapy, beberapa ketua organisasi kemasyarakatan, dan pegawai negeri dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri. Gafatar pun berusaha mendaftarkan diri sebagai organisasi resmi.

Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, Gafatar menyebut diri sebagai organisasi masyarakat yang berasas Pancasila. Kegiatannya antara lain dialog dan membantu program-program pemerintah di bidang sosial.

Dengan bakti sosial, Gafatar mampu memikat simpati banyak orang. Mereka juga mendekati tokoh serta pejabat. Sejumlah nama tenar pernah diajak bergabung, seperti eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto. Bibit segera keluar setelah tahu Gafatar sesat.

Ahmad Moshaddeq 
Foto: dok. detikcom

Aneka aktivitas sosial memang kedok yang dipakai Moshaddeq guna melancarkan misinya. Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Utang Ranuwijaya mengatakan Gafatar melakukan kegiatan-kegiatan berbau keagamaan secara terselubung.

Mereka membaiat para anggota Gafatar. Baiat itu berupa pengucapan kalimat syahadat yang menyebut nama Moshaddeq sebagai Al-Masih Al-Maw'ud. Meski demikian, masih banyak anggota yang belum berbaiat dan hanya tertarik pada kegiatan bertani dan bisnis.

Ketua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Amin Djamaluddin menambahkan, saat Moshaddeq mengumumkan dirinya sebagai nabi di Gunung Bunder, Bogor, pada 2006, ada 54 orang yang jadi saksi. Mereka antara lain Mahful dan Berny, yang merupakan anak Moshaddeq sendiri.

Selain keduanya, ada 11 pendiri Gafatar yang juga berbaiat kepada Moshaddeq dan jadi saksi kerasulan saat itu. Dari kepengurusan Gafatar itu saja, kata Djamaluddin, dapat diambil kesimpulan bahwa Gafatar merupakan versi baru dari Al-Qiyadah.

Bahkan, kata Djamaluddin, hal ini diungkapkan sendiri oleh Moshaddeq saat datang ke kantor LPPI pada Oktober 2015. Saat itu Moshaddeq juga memberikan sejumlah buku ajarannya kepada Djamaluddin.

Dalam pertemuan itu, Moshaddeq menjelaskan, dalam ajarannya ada enam proses perjuangan mendirikan negara, yakni sirru (dakwah secara sembunyi-sembunyi), jahrun (dakwah terang-terangan), hijrah (berpindah), qital (peperangan), futuh (kemenangan), kemudian khilafah (membuat negara).


Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat atas Gafatar.
Foto: Agung Pambudhy/detikX

Kamp-kamp Gafatar di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa gerakan Gafatar sudah sampai tahap hijrah. Hijrah ini mengacu pada pindahnya Muhammad dari Mekah ke Madinah karena mendapat tentangan keras saat menyebarkan agama Islam.

"Jadi di Kalimantan itu mereka menyiapkan diri untuk perang. Tujuan akhirnya membuat khilafah. Menurut mereka, abad ke-21 adalah kemenangan. Itulah yang dia jelaskan kepada saya," ujar Djamaluddin.

Polda Kalimantan Barat pada Sabtu, 6 Februari 2016, menemukan ratusan buku serta kartu identitas anggota Gafatar yang ditimbun di bekas kamp Gafatar di Ketapang. Buku-buku itu antara lain berjudul Kerajaan Allah dan Theologi Abraham, Millah Abraham.

Selain itu, terdapat buku Ruhul Qudus—Eksistensi dan Esensi Al-Quran, Menyingkap Tabir Pemisahan Yesus dari Sejarah, serta buku berjudul Ahmad Moshaddeq dan Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Buku-buku itu menguatkan bukti penyebaran ajaran Moshaddeq.

Disinyalir, Moshaddeq sering berkunjung ke Pontianak, termasuk ke Kabupaten Mempawah, kamp terbesar Gafatar. Sekitar akhir 2013, ia juga pernah datang ke kantor MUI Kalimantan Barat untuk memaparkan pahamnya.

Gafatar terkuak luas ke publik setelah anggotanya asal Yogyakarta, dr Rica, menghilang dari keluarganya. Namun aktivitas mencurigakan Gafatar di Kalimantan Barat terdeteksi sejak awal 2015. Gafatar Kalimantan Barat pun langsung membubarkan diri pada April 2015.

Mahful T. Manurung (kiri), Ketua Umum Gafatar 
Foto: dok. YLBHI

Sementara itu, Gafatar secara nasional dibubarkan pada Agustus 2015 dengan alasan tidak mendapatkan izin dari Kesbangpol. Namun, meski Gafatar sudah bubar, perekrutan dan hijrah dengan jumlah yang bahkan lebih besar justru dilakukan hingga Desember 2015.

Mahful menolak tudingan bahwa Gafatar hendak mendirikan kekhalifahan. Eksodus ribuan pengikut Gafatar ke Kalimantan Barat adalah untuk bercocok tanam. Kegiatan bertani itu merupakan program Gafatar untuk menunjang ketahanan pangan Indonesia.

Ia juga membantah anggapan bahwa Moshaddeq adalah nabi kaum Gafatar. Moshaddeq hanyalah Ketua Dewan Pembina Gafatar. Namun Gafatar memang mengajarkan Millah Abraham. Ajaran itu keluar dari Islam, sehingga, menurut Mahful, MUI tidak berhak memberikan stempel sesat.

Namun, menurut Utang Ranuwijaya, penyebaran ajaran Millah Abraham itu sudah cukup bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa. Walhasil, pada awal Februari 2016, MUI menyatakan Gafatar sesat. Sebuah “hat trick” untuk ajaran Moshaddeq.

.....

Rumah Misterius
di Ujung Gang 12

Moshaddeq pernah menyamar dan mengajak berdebat anggota MUI dari malam hingga subuh.

Ilustrasi: Suteja Angkasa 

Selasa, 1 Maret 2016

Rumah di atas lahan 1.000 meter persegi di RT 04, RW 07, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat, itu sehari-hari selalu sepi. Pintu gerbang dan pagar tembok yang tingginya sekitar 2 meter terlihat kusam tak terpelihara. Coretan di sana-sini.

Melongok ke dalam, terlihat dua bangunan di bagian kiri. Di teras bangunan depan teronggok dua mobil jip tua. Sedangkan bangunan yang belakang dipakai sebagai tempat tinggal. Seluruh area rumah itu dinaungi pohon-pohon rindang.

Rumah bernomor 49 itu adalah milik Ahmad Moshaddeq alias Abdussalam. Moshaddeq disebut-sebut berada di balik organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Majelis Ulama Indonesia menyatakan Gafatar merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan sesat.

Tidak hanya itu, Gafatar dituduh hendak melakukan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ribuan pengikutnya berbondong-bondong hijrah ke lokasi bakal berdirinya negara Islam ala Gafatar itu di Kalimantan Barat.

detikX menyambangi rumah Moshaddeq dua kali pada pertengahan Februari lalu. Namun seorang penjaga rumah mengatakan Moshaddeq sedang berada di luar kota. Si penjaga pun enggan memberi izin masuk untuk sekadar melihat-lihat.


Dua mobil di rumah Ahmad Moshaddeq.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Penjaga hanya menyarankan detikX mencatatkan nomor telepon di sebuah buku daftar hadir dan si penjaga rumah berjanji akan mengabarkan jika Moshaddeq sudah berada di rumah. "Nanti, kalau Bapak di rumah, akan saya beri tahukan," ujar pria berperawakan sedang itu.

Informasi yang diperoleh detikX menyebutkan Moshaddeq, yang menikahi Waginem Abdussalam, mempunyai empat anak, yakni Andry Cahya, Berny Satria, Farah Meifera, dan Zulfikar Imani. Namun, di rumah itu, pasangan tersebut hanya tinggal bersama penjaga dan tukang kebun.

Anak-anak Moshaddeq punya pemahaman yang sama soal aliran kepercayaan yang dianutnya, terutama anak pertama dan kedua. Berny juga menjadi salah satu saksi ketika Moshaddeq menyatakan diri sebagai nabi gerakan Al-Qiyadah di Gunung Bunder, Bogor, pada 2006.

Berny ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Gafatar sampai dibubarkan pada Agustus 2015. Berny bersedia ditemui detikX di Beji, Depok. Namun, saat ditanya mengenai ajaran-ajaran yang dikembangkan Moshaddeq, ia bungkam. Sebagai bekas sekjen, ia juga menolak namanya dikutip.

"Kalau yang keempat (Zulfikar), karena sempat terpengaruh narkoba, tak terlalu melekat doktrin yang ditanamkan ayahnya," ujar sumber detikX.


Pekarangan rumah Moshaddeq.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Zulfikar sempat kuliah di bidang perhotelan di Swiss. Saat dimintai konfirmasi, Zulfikar mengakui sampai saat ini masih sering berbicara dengan Moshaddeq meski hanya lewat telepon. Dan ia membenarkan bahwa orang tuanya setiap hari tinggal di rumah Beji itu.

Moshaddeq, kata Zulfikar, belum bersedia memberikan tanggapan apa pun tentang Gafatar. Zulfikar sendiri mengaku buta terhadap organisasi yang telah membaiat banyak orang itu. "Saya bukan Gafatar. Saya tidak tahu program-programnya," katanya.

Sejak kasus nabi palsu mencuat sewindu yang lalu, Moshaddeq jarang terlihat di rumahnya. Bahkan rumahnya semakin tertutup saja. Warga jarang ada yang boleh masuk ke rumah Moshaddeq. "Kecuali aparat, baru bisa," katanya.

Menurut Ketua RT 04 Niman Ali, Moshaddeq jadi warga di situ sejak 1980-an. Lahan yang dimiliki Moshaddeq sebelumnya merupakan sawah milik orang tua Niman. "Dia dulu beli dari orang tua saya 1.000 meter persegi," ujar Niman.

Di Beji, Moshaddeq dikenal dengan nama Haji Salam atau Abdul Salam. Warga hanya tahu Moshaddeq sebagai pensiunan pegawai negeri yang pernah bekerja di Komite Olahraga Nasional Indonesia.

Ahmad Moshaddeq di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Foto: dok. detikcom

Warga tidak banyak tahu aktivitas spiritual Moshaddeq maupun Al-Qiyadah yang didirikannya. Moshaddeq sendiri jarang menyasar tetangga atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya untuk dibaiat. Warga tahu aktivitas Moshaddeq dari berita-berita televisi.

"Sejak tinggal di sini, Moshaddeq tidak pernah salat berjemaah di masjid. Apalagi salat Jumat. Jadi warga enggak tahu soal ajaran yang dibawa Moshaddeq," tutur Niman.

Niman terakhir kali melihat Moshaddeq setahun lalu di kantor Kelurahan Tanah Baru saat mengurusi ganti rugi pembangunan jalan tol Cinere-Jagorawi. Lahan Moshaddeq terkena gusur pembangunan jalan tol tersebut. "Di sana saya biasa saja menyapa, mengobrol sekadarnya aja," kata Niman.

Al-Qiyadah merupakan aliran yang dibangun Moshaddeq setelah pecah dari Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9. Moshaddeq merasa tidak cocok dengan NII di bawah pimpinan pengasuh Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, Panji Gumilang.


Bangunan rumah yang ditempati Moshaddeq.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Utang Ranuwijaya, Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI, mengatakan Al-Qiyadah mempunyai perbedaan pandangan dengan NII. Perbedaan itu terletak pada konsep kenabian. NII masih mengakui Muhammad sebagai nabi.

"Jadi si Moshaddeq ini lain, sudah menyempal dari NII. Al-Qiyadah lebih menampilkan paham Millah Abraham, ajarannya (merujuk) ke Nabi Ibrahim, itu juga yang dianut oleh Gafatar sekarang. Kalau NII, saya kira tidak ke situ," katanya.

Moshaddeq terkenal pandai mempengaruhi pengikutnya sehingga, sejak Al-Qiyadah berdiri, anggotanya ribuan orang. Moshaddeq juga melayani setiap pihak yang ingin berdebat seputar kenabiannya sekaligus prinsip-prinsip dalam Islam.

Ketua Komisi Fatwa MUI Kalimantan Barat Wajidi Sayadi punya cerita. Akhir 2013, Moshaddeq menyamar dan datang ke kantor MUI Kalimantan Barat. Dia berdebat dengan para anggota MUI. Moshaddeq pintar menghubungkan dan menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci.


Vila tempat Moshaddeq mengaku menerima wahyu di Gunung Bunder, Bogor.
Foto: Istimewa

Debat itu berlangsung sampai subuh. "Jadi, begitu masuk waktu salat subuh, teman-teman kami salat dan dia (Moshaddeq) tidur. Setelah kejadian itu, baru teman berpikir, itulah Ahmad Moshaddeq," ujarnya.

Kini Gafatar dinyatakan sesat dan dilaporkan ke Mabes Polri. Polisi belum melakukan tindakan hukum terhadap Moshaddeq. Kendati demikian, gerak-gerik Moshaddeq kini diawasi dengan ketat. Pemantauan itu melibatkan TNI, Polri, dan aparat desa di mana Moshaddeq tinggal.

"Sekarang (dilakukan) pemantauan, baik oleh kepolisian maupun Koramil. Enggak asal main tangkap saja," kata Sekretaris Kelurahan Tanah Baru, Edi Muhammad, kepada detikX.

.....

Bulan Hijrah
di Mempawah

Hijrah besar-besaran anggota Gafatar ke Kalimantan terjadi setelah ada aba-aba dari Moshaddeq. Mereka biasanya tiba di kamp pada malam hari supaya tak terlihat warga.

Ilustrasi: Suteja Angkasa

Selasa, 1 Maret 2016

Puing berserakan di Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Sebelas barak dari kayu tinggal menyisakan arang. Permukiman mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) itu sudah mati.

Ladang di sekitar permukiman itu masih menghijau. Beberapa orang dengan bebas memetik sayur mayur dan buah yang sudah siap panen. Mereka berasal dari luar Desa Antibar.

"Itu bukan warga sini. Mereka datang dan mengambil saja yang ada," ucap Wakil Ketua Bidang Dakwah Dewan Pimpinan Wilayah Front Pembela Islam Kalimantan Barat, Syahrani, ketika bertandang ke Dusun Moton Asam pada Kamis, 11 Februari 2016.

Penjarahan hasil panen ini dibiarkan saja oleh warga maupun aparat. Sepak terjang Gafatar masih membuat mereka khawatir. Organisasi yang dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia itu membesar di tengah desa mereka.

Syahrani mengaku sudah lama mengamati gerak-gerik Gafatar di Kalimantan Barat. Berdasarkan informasi yang dihimpunnya, mereka mulai masuk ke Kalimantan Barat pada 2011. Pembukaan wilayah ini dilakukan oleh segelintir orang.

Dalam semua wawancara yang kami lakukan, bagi mereka salat tidak wajib."

Pada 2013, Gafatar menggelar kegiatan sosial di Sekolah Tinggi Agama Islam di ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Melalui kegiatan ini pula mereka menjaring kader dengan menyebar formulir pendaftaran.

Sedangkan di daerah, mereka mempersiapkan lahan untuk bertani. Tempat asal Syahrani di Kepulauan Sungai Raya Kepulauan, Bengkayang, Singkawang, juga didiami oleh beberapa orang Gafatar. "Di tempat saya ada 21 keluarga, hampir 100 kepala," ujarnya.

Kepala Subdirektorat Kewaspadaan Dini Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Kalimantan Barat, Ruslan Abdul Gani, menyampaikan data yang sama. Informasi yang diterimanya, permukiman Gafatar mulai terbentuk pada 2012. Konsentrasi terbesar permukiman berada di Mempawah dan Ketapang.

Asap hitam membubung dari permukiman Gafatar
yang dibakar massa di Kalimantan Barat.
Foto: Adi Saputro/CNN Indonesia
Puing-puing
sisa permukiman Gafatar
yang dibakar massa.
Foto: Isfari Hikmat/detikX
Puing-puing sisa permukiman Gafatar yang dibakar massa.
Foto: Isfari Hikmat/detikX

Mereka membuat permukiman secara mandiri dan eksklusif. Permukiman ini didukung dengan tempat tinggal sistem barak, sehingga mereka hidup secara berkelompok. Bukan berdasarkan keluarga dalam satu atap, melainkan beberapa keluarga dalam satu atap.

Meski keberadaan kader Gafatar itu di Kalimantan Barat sudah lama, gelombang kedatangan mereka paling besar terjadi pada akhir 2015. Hijrah besar-besaran itu terjadi justru empat bulan setelah organisasi itu dibubarkan sendiri oleh pengurusnya.

Dari dokumen yang diperoleh detikX, eksodus itu dilakukan setelah adanya perintah dari Ahmad Moshaddeq Abdussalam. Perintah ini disampaikan pria yang pernah tersandung kasus nabi palsu itu dalam pertemuan Millah Abraham di Bogor, Jawa Barat, Desember 2015.

Moshaddeq, yang diklaim sebagai Ketua Dewan Pembina Gafatar, memerintahkan hijrah, yang diawali oleh pengurus, lalu diikuti oleh anggota secara bertahap dan diam-diam. "Akhir Desember bulan puncak eksodus," begitu bunyi dokumen itu.

Dalam konsep Al-Qiyadah Al-Islamiyah atau Komunitas Millah Abraham (Komar) buatan Moshaddeq, hijrah adalah tahapan ketiga pendirian khilafah. Negara baru itu nantinya disebut Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.

Seperti halnya nabi-nabi terdahulu, Moshaddeq merasa harus menjalani proses hijrah itu. Ia mengajak anggotanya berhijrah untuk kembali hidup pada fitrahnya. Karena itu, mereka harus mengorbankan harta dan diri mereka.


Berhijrah ke ‘Madinah’

Ahmad Moshaddeq disinyalir hendak mendirikan daulah islamiyah atau negara Islam melalui organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Ia menganjurkan pengikutnya menyeberang ke Kalimantan Barat, lokasi negara yang diberi nama Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.

Hijrah merupakan fase ketiga dari rencana pembentukan negara Islam Moshaddeq, yang pernah bikin heboh karena mengaku sebagai rasul. Aktivitas hijrah ini mengacu pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah karena mendapat tentangan keras ketika menyebarkan agama Islam.

Ribuan simpatisan Gafatar melakukan eksodus ke Kalimantan Barat sejak 2011. Puncaknya terjadi pada Desember 2015, beberapa bulan setelah Gafatar dibubarkan. Mereka membentuk kantong-kantong permukiman yang tersebar sejumlah kabupaten/kota di Kalbar. Kini para simpatisan Gafatar itu sudah dikeluarkan dari Kalbar.

Persebaran kamp Gafatar di Kalimantan Barat

indonesia indonesia
Persebaran kamp Gafatar di Kalimantan Barat

Seorang sumber menyebutkan anggota Gafatar yang hijrah disuruh menanggalkan jejak di tempat asal. Mereka juga diminta menutup komunikasi dengan keluarga serta tidak lagi beraktivitas di media sosial.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat Wajidi Sayadi mengatakan para pengurus Gafatar yang hijrah terlebih dulu mengontrak rumah-rumah penduduk. Lalu mereka membeli lahan-lahan yang dipakai untuk membangun kamp dan lahan pertanian.

Ketika kamp dan lahan sudah siap, baru para anggota Gafatar dari berbagai wilayah didatangkan. Mereka masuk lokasi biasanya pada malam hari. Hal itu sengaja dilakukan agar kedatangan mereka tidak diketahui oleh masyarakat setempat.

Bukan hanya penggarap, banyak yang datang ke Kalimantan Barat merupakan ahli atau pakar dalam berbagai bidang, terutama pertanian. Tak aneh bila tata kelola pertanian dan pengairan mereka cukup unggul. Mereka mampu mengubah lahan gambut menjadi tanah subur.

Perintah Moshaddeq ditaati oleh para pengikutnya. Para anggota yang hijrah ke Kalimantan Barat rela menjual seluruh harta bendanya demi hidup dari nol di kamp Gafatar. Hamid misalnya. Mantan anggota Gafatar ini menjual warung, kendaraan bermotor, dan rumahnya di Bogor.

Wildan Nasution, salah satu anggota Gafatar asal Bekasi
Foto: Ibad Durohman/detikX

Hasil penjualan itu dipakai untuk membiayai pemberangkatan dirinya, istri, dan dua anaknya untuk bergabung dengan rombongan Gafatar di Singkawang pada Desember 2015.

Di permukiman Gafatar, selain usaha pertanian, ia membuka usaha toko kelontong. "Tujuan kami ke Kalimantan adalah mengelola tanah. Kan banyak yang kosong, kami mau menyuburkan tanah gambut," ujarnya.

Anggota Gafatar asal Bekasi, Wildan Nasution, merasa kehidupan yang dibangunnya di Kalimantan Barat dengan menjadi petani jauh lebih baik. Sebelumnya, Wildan, yang datang bersama istri dan kelima anaknya, pada 2014 hanya menjajakan sosis bakar di Bekasi.

Tapi, selama di Singkawang, ia bisa menggarap lahan seluas 2 hektare. Semua lahan itu awalnya berupa hutan belantara. "Kami benar-benar babat hutan dari awal. Pohon gede-gede," katanya.

Wajidi mengatakan, selain pertanian, di kamp-kamp Gafatar mereka mendapatkan bimbingan-bimbingan keagamaan sesuai dengan ajaran Al-Qiyadah atau Komar. Misalnya mereka diajari tentang kalimat syahadat yang menyebut Moshaddeq sebagai "Al-Masih Al-Maw'ud".

Kemudian ajaran tentang pengkafiran orang-orang yang berada di luar komunitas Gafatar. Fase-fase perjuangan Al-Qiyadah menuju tahap pembangunan negara, termasuk di antaranya hijrah, juga menjadi dogma yang diterima para anggota Gafatar.

Tidak ada kewajiban beribadah salat bagi pengikut Gafatar. Wajidi tidak menemukan sarana peribadahan berupa masjid di kamp Gafatar. "Dalam semua wawancara yang kami lakukan, bagi mereka salat tidak wajib," katanya.

Dokumen lain yang diperoleh detikX menunjukkan sistem organisasi diberlakukan sangat ketat. Untuk izin pulang ke daerah asal saja harus melalui Gubernur Gafatar. Bahkan ada yang ditolak permintaannya ketika hendak pulang ke kampung halamannya.

Lahan pertanian kelompok Gafatar di Kalimantan Barat
Foto: Isfari Hikmat/detikX

Sebagai contoh, seorang anggota Gafatar yang ingin pulang ke Jawa untuk mengurus uang pensiun sebagai pegawai negeri sipil ditolak. Alasannya, Gafatar sedang ber-baroah (melepaskan diri) dari pemerintahan RI, yang disebut thogut (berhala).

Seorang warga yang mengetahui kamp Gafatar di Mempawah, Dedi Jamiat, mengatakan perkampungan Gafatar tak boleh dimasuki orang luar. Mereka hanya memberikan izin kepada satu atau dua orang untuk masuk. Perkampungan pun sangat terkoordinasi.

Sebelum terjadi pembakaran, komunitas Gafatar sudah menduga eksistensi mereka bakal terancam dan melakukan antisipasi. Bulan Januari mereka dilarang meninggalkan kamp. Setiap anggota dilarang berkomunikasi dengan kaum "musyrik" dengan pertimbangan keamanan.

Sekretaris Daerah XII Wilayah Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara mengeluarkan imbauan pada November 2015 agar anggota ikut salat Jumat di tengah-tengah warga untuk menghindari anggapan miring. Agar tidak kentara, mereka memberi nama kamp itu dengan Paguyuban Kemandirian Pangan Parahyangan.

Wildan mengakui mengenal Moshaddeq sebagai Ketua Dewan Pembina Gafatar. Namun, kata dia, tidak ada ajaran-ajaran agama maupun aliran yang diberikan kepada anggota. Masalah agama menjadi wilayah masing-masing individu.

"Yang jelas, yang ditekankan di Gafatar itu pertama cenderung ke Pancasila saja. Keagamaan urusan masing-masing. Jika mau salat, silakan, enggak dilarang. Anggota kan bukan dari Islam saja, ada Kristen juga. Kami organisasi yang terbuka," tuturnya.

.....

Takut Dipancung
Kalau Pulang

Beberapa anggota Gafatar masih keras kepala dan takut pulang. Mereka takut mendapat hukuman berat di kampung halaman.

Foto: Budi Sugiharto/detikcom

Selasa, 1 Maret 2016

Nenek berusia 73 tahun, Sarah, memasuki gedung Panti Sosial Loka Bina Karya sambil menangis terisak. Keresek berisi pakaian dan makanan ia tinggalkan di teras panti di Jalan Bina Marga Nomor 48, Cipayung, Jakarta Timur, itu.

Anak Sarah, Abdul Rauf Syah, berulang kali menolak kehadiran sanak saudara dan bantuan makanan di panti itu. Kehadiran Sarah mampu meluluhkan hati Abdul Rauf. Syaratnya, hanya Sarah yang masuk.

"Yang penting saya, anak, dan istri sehat. Kebutuhan kami sudah dipenuhi pihak dinas sosial. Mohon doanya saja," ucap Abdul ditirukan oleh seorang petugas panti berseragam pegawai negeri sipil.

Abdul adalah salah satu mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dipulangkan pemerintah dan ditampung di panti itu. Nasibnya terkatung-katung sejak permukiman mantan anggota Gafatar di Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dibakar warga.


Anggota Gafatar saat turun dari kapal saat dipulangkan dari Kalimantan Barat.
Foto: Istimewa

Informasi yang diterima keluarga Abdul pun sepenggal-sepenggal. Abdul pernah berpamitan untuk mengadu nasib bersama organisasi kemasyarakatan yang diikutinya sejak sekitar 2012 itu buat menggarap tanah di Mempawah. Namun, tepatnya Mempawah sebelah mana, Abdul tak pernah mau memberitahukannya. Adik iparnya, Rina Marliawati, mengaku kepergian Abdul boleh dibilang setengah minggat. Abdul menjual rumahnya di Jati Asih, Bekasi, untuk pergi ke Kalimantan tanpa memberi tahu keluarga. Malam menjelang kepergiannya, ia mampir ke rumah Sarah di Condet, Jakarta Timur, untuk menitipkan sepeda motor.

Rina mengaku keluarga besarnya nyaris putus asa untuk mencari informasi mengenai keberadaan Abdul. Pesan melalui telepon seluler tidak pernah dibalas. "Setelah dia beberapa hari enggak ada, kami tanya di mana, dia menjawab di Kalimantan. Dia sering update status (BBM). Tapi, pas kami tanya, dia tidak pernah menjawab," kata Rina.

Kepergian Abdul memang tak diduga. Ia tergolong sebagai keluarga mapan. Abdul meniti karier sebagai kontraktor. Sebelum malang melintang di Jabodetabek, ia menggarap proyek dan tinggal di Palu, Sulawesi Tengah.

Kekhawatiran keluarga bertambah karena Abdul turut mengajak istri dan dua anaknya ke Kalimantan. Anak-anak disuruh keluar dari sekolah sejak ia bergabung dengan Gafatar. Kondisi Kalimantan, pikir Rina, kian menjauhkan anak-anak dari pendidikan.

Kabar terang mengenai Abdul datang setelah pemerintah mengungsikan mantan anggota Gafatar. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempersiapkan beberapa titik untuk menampung pengungsi mantan anggota Gafatar. Mujur, Rina langsung menemukan keberadaan Abdul di Panti Sosial Loka Bina Karya.

Setiap pengurus, pengikut, dan simpatisan Gafatar yang tidak bertobat agar ditindak dan dihukum seberat-beratnya."

"Kami mah menerima banget, sudah disiapkan rumah, kok. Bahkan, kalau dia mau pulang, mau ke Az-Zikra juga sudah janjian sama Ustad Arifin Ilham. Kalau ini mah suruh (mengucap) syahadat lagi, kepinginnya dia tobatlah," ujar Rina.

Pemulangan mantan anggota Gafatar memang tidak mulus. Abdul bukan satu-satunya mantan anggota Gafatar yang tidak mau pulang. Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial, Syahbuddin, menyebutkan belum semua mantan anggota Gafatar pulang ke kampung halaman.

Jakarta menampung 3.004 mantan anggota Gafatar. Sebagian sudah dipulangkan ke daerah asal, tapi masih menyisakan 196 orang di Asrama Haji Bekasi dan 69 orang di Panti Sosial Loka Bina Karya, Cipayung. "Yang di Asrama Haji Pondok Gede itu dipindahkan ke Cipayung, karena mau dipakai," katanya.


Eks anggota Gafatar memprotes pemulangan mereka dari kamp-kamp di Kalimantan Barat.
Foto: Ayunda W. Savitri/detikX

Sebagian besar pemerintah daerah asal mantan anggota Gafatar sudah menjemput mereka dan menyediakan fasilitas. Namun beberapa mantan anggota Gafatar tidak mendapat solusi bila kembali ke daerah asalnya. Syahbuddin menyebutkan masalah pengembalian anggota Gafatar yang masih tersisa di antaranya yang berada di Jakarta dan Bekasi ini.

Misalnya saja mantan anggota Gafatar dari Aceh tidak mau pulang karena takut pada ancaman hukuman pancung. Padahal Kementerian Sosial sudah memastikan tidak ada ancaman hukuman semacam itu bagi mantan anggota Gafatar dalam qanun (peraturan daerah) Provinsi Aceh.

"Ada salah satu wali kota di Aceh ada yang menelepon dan menjamin melindungi, tidak usah takut," ujarnya.

Ketakutan ini bukan isapan jempol. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pada 22 Januari 2015 mengeluarkan fatwa sesat atas Gafatar. Keputusan Fatwa MPU Aceh Nomor 1 Tahun 2015 tentang Gafatar menyebutkan organisasi ini menyebarkan ajaran Millah Abraham dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah.


Eks anggota Gafatar tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 27 Januari 2016.
Foto: Grandyos Zafna/detikX

"Setiap pengurus, pengikut, dan simpatisan Gafatar yang tidak bertobat agar ditindak dan dihukum seberat-beratnya," tulis fatwa tersebut.

Fatwa ini pulalah yang menjadi dasar hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman penjara kepada dua pengurus Gafatar Aceh, T. Abdul Fatah dan M. Althaf Mauliyul Islam, masing-masing empat tahun dan tiga tahun penjara pada 15 Juni 2015. Putusan inilah yang bisa jadi membuat mantan anggota Gafatar keder pulang ke kampung halamannya.

Selain itu, permasalahan administrasi membuat pemulangan banyak mantan anggota Gafatar terhambat. Beberapa telanjur membuat kartu tanda penduduk di Kalimantan Barat. Namun mereka ingin pulang ke kampung asal, misalnya Depok, Jawa Barat.

Atau beberapa anggota memiliki KTP daerah asal tapi tak ingin pulang, misalnya asal Jambi tapi minta ke Yogyakarta.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sendiri menolak jika mantan anggota Gafatar dipulangkan ke tempat mereka mengolah lahan. Pemerintah menyebut mantan anggota Gafatar merupakan pendatang walau sudah memiliki KTP setempat.


Para pengungsi eks Gafatar di lokasi penampungan di Jakarta.
Foto: Grandyos Zafna/detikX

Parahnya, daerah seperti Sumatera Utara, ketika dihubungi Kemensos, berdalih tidak memiliki anggaran untuk menjemput mantan anggota Gafatar. Mereka justru meminta tolong kepada Kemensos.

"Jadi yang repot Kemensos. Di penampungan itu, eks anggota Gafatar aman, logistik atau makannya. Padahal, semakin cepat meninggalkan penampungan ini, hal itu semakin baik karena mereka sudah jenuh di pengungsian," ujar Syahbuddin.

Mantan anggota Gafatar pun masih beranggapan faktor kebencian mendominasi bencana yang mereka alami itu. Pengusiran ini hanya berdasarkan praduga. Agus, mantan anggota Gafatar asal Riau, mengaku sudah tiga bulan lalu datang ke Ketapang, Kalimantan Barat.

Aktivitas sehari-hari kelompoknya hanya bertanam. Ia tidak tahu-menahu mengenai tudingan sesat. Menurut dia, selama ini anggota kelompoknya melaksanakan ritual sesuai dengan agama masing-masing. Adapun Moshaddeq hanya menjadi guru spiritual.

Sedangkan Hamid, mantan anggota Gafatar asal Bogor, membantah jika organisasinya dikatakan memeluk ajaran Millah Abraham. Ia justru heran, keberhasilan menata komunitas dihadiahi pengusiran. "Fitnah besar kalau ada yang mengatakan bahwa kami, istilahnya, yang enggak-enggak. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan," ucap Agus.

Anggota Gafatar asal Bandung, Wildan Nasution, menegaskan Gafatar sudah bubar pada 2015. Kehadiran mereka justru didorong keinginan bersama tanpa embel-embel organisasi. Mereka hanya berkoordinasi soal lahan garapan bersama.

"Organisasi kan sudah bubar, ini dikembalikan kepada masing-masing. Nah, kalau untuk lokasi tanah, mungkin ada koordinasi, itu untuk memudahkan saja," ujarnya.

Pemerintah memang belum menjawab pertanyaan mengenai masa depan mantan anggota Gafatar ini. Mereka sudah menjual semua aset pribadi di daerah asal. Sedangkan aset di perantauan masih tidak menentu.


Reporter: Aryo Bhawono, Bahtiar Rifai, Ibad Durohman, Isfari Hikmat
Penulis: Deden Gunawan, Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.