image for mobile / touch device
undefined
image 2
image 3

INTERMESO

FAJAR BARU
REVOLUSI IRAN

Sanksi untuk Iran dicabut.
Teheran diguyur duit dari minyak dan
rekening yang semula dibekukan.
Negara tetangga cemas.

Foto: NPR

Jumat, 12 Februari 2016

Pesawat carter Air France 747 terbang berputar tiga kali di atas Pegunungan Elburz sebelum akhirnya mendarat di Bandara Mehrabad, Teheran, pada suatu pagi awal Februari 1979. Angin dingin berembus kencang dan pintu pesawat terbuka

Seorang laki-laki tua, dengan turban hitam melilit di kepalanya, melangkah menuruni tangga pesawat. Setelah 15 tahun diasingkan di Najaf, Irak, dan Neauphle-le-Château, desa kecil di pinggiran Kota Paris, Prancis, itulah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tanah kelahirannya dan mengubah sejarah Iran. Dia adalah Ayatullah Ruhollah Musavi Khomeini.

Dari Bandara Mehrabad, Khomeini berziarah ke pemakaman Behesht-e Zahra. Ratusan ribu pendukungnya berkerumun seperti semut di sepanjang jalan. “Shah Mohammad Reza Pahlavi, si setan pengkhianat, sudah pergi. Dia melarikan diri dan menjarah semuanya.... Dia telah menghancurkan negara ini dan mengirim korban-korbannya ke kuburan,” Khomeini berpidato di kompleks Behesht e-Zahra, seperti dikutip BBC, kala itu. 

Revolusi pada hari itu tak menjadikan Iran negara demokrasi, melainkan Republik Islam, dan Khomeini sebagai pemimpin tertingginya. “Jangan pakai istilah demokrasi. Itu istilah Barat. Kita menghormati kebudayaan Barat, tapi tak akan mengikutinya,” kata Khomeini seperti dikutip Guardian.

Sejak didirikan, Iran selalu memiliki dimensi global. Iran terlahir sebagai imperium.... Para pemimpin Iran dan pejabat negeri ini selalu berpikir dalam dimensi global.”

Iran sudah lama menyimpan ambisi menjadi superpower di kawasan Timur Tengah. Kala Inggris mundur dari kawasan Teluk dan Terusan Suez pada 1971, Shah Iran Mohammad Reza Shah Pahlavi mengangkat dirinya sendiri menjadi “Pengawal Kawasan Teluk”. Bermodal duit berlimpah dari hasil minyak bumi, Shah Iran menggenjot industri negaranya. Dia menyebut Iran sebagai “Jepang di Timur Tengah”. 

Mimpi Shah Iran bubar di tengah jalan setelah dia terusir dari negaranya oleh Revolusi Islam pada 1979. Tapi mimpi Iran menjadi “Pengawal Timur Tengah” sepertinya tak pernah pudar. Bahkan sanksi ekonomi bertahun-tahun tak memupus ambisi Teheran. 

“Kita tumbuh sangat cepat menjadi negara superpower,” Presiden Mahmud Ahmadinejad berpidato dalam perayaan ulang tahun Revolusi Iran sembilan tahun lalu. “Kekuatan kita tak bersumber dari senjata militer atau kemampuan ekonomi.... Kekuatan kita berasal dari kemampuan kita mempengaruhi hati dan jiwa orang. Itulah yang menakutkan bagi negara-negara Barat.”

Presiden Hassan Rouhani
Foto: FoxNews

Presiden Ahmadinejad dan kawan-kawannya sepertinya membayangkan masa-masa kejayaan Imperium Persia di masa lampau. Presiden Iran berganti, mimpi itu ikut diwariskan. Ali Younesi, penasihat senior Presiden Iran Hassan Rouhani, mengatakan ambisi mereka adalah menjadi superpower regional, mirip dengan Imperium Persia. 

“Sejak didirikan, Iran selalu memiliki dimensi global. Iran terlahir sebagai imperium.... Para pemimpin Iran dan pejabat negeri ini selalu berpikir dalam dimensi global,” kata Younesi beberapa bulan lalu. Wilayah Iran Raya, menurut Younesi, meliputi teritori yang terbentang dari anak Benua India hingga Pegunungan Kaukasus di utara. “Kami melindungi kepentingan semua orang di wilayah ini karena mereka semua orang Iran. Iran harus memikul tanggung jawab itu, sama seperti di masa lalu.”

Tapi lain soal revolusi di mata warga Iran. Hampir 40 tahun kemudian, revolusi seperti yang dicita-citakan Khomeini tinggal samar-samar di ingatan warga Iran. “Shah Pahlavi maupun Khomeini sama-sama telah dilupakan,” kata Sara, mahasiswi di Teheran, kepada Guardian. Akbar, 36 tahun, warga Teheran, juga jutaan warga Iran, sudah kelewat sibuk dengan perjuangan mereka bertahan hidup. 


Presiden Hassan Rouhani
Foto: Reuters


Foto: Jacky Naegelen/Reuters

“Imam Khomeini orang yang baik di jalan yang lurus, tapi cita-cita revolusi itu ikut mati bersama kematiannya.... Tapi sekarang siapa yang punya waktu untuk memikirkan revolusi atau Imam Khomeini?” kata Akbar kepada Guardian beberapa waktu lalu. Hubungan buruk Iran dengan negara-negara Barat dan sanksi dari PBB selama bertahun-tahun membuat ekonomi negara itu sakit parah. Sulit sekali mencari pekerjaan yang layak.

“Cita-cita minyak dan rumah gratis bagi semua, juga kesetaraan, barangkali cocok pada 1979. Tapi kami semakin kehilangan kualitas hidup. Iran makin terisolasi. Iran tak lagi dikenal di dunia. Bukan lagi kami yang jadi rujukan bagi kemajuan, melainkan Amerika dan Eropa,” kata Mehrdad Naji, insinyur elektronika dari Isfahan. 

Bagi Mehrdad, Nazanin, Amir, Hamid, dan sebagainya, cita-cita “revolusi” mereka sudah jauh bergeser dari cita-cita revolusi Iran puluhan tahun silam. “Cita-citaku menjadi pengusaha,” kata Mehrdad kepada Financial Times. “Kitab” yang jadi rujukannya adalah buku Robert Kiyosaki, Rich Dad, Poor Dad. “Aku tak mau ada batas antarnegara. Batas itu hanya akan menghambat kemajuan.”

Bulan lalu, Iran bebas dari sebagian sanksi. Sebagian pengusaha Iran girang berharap bisa membuka akun bank di negara-negara Eropa. Gara-gara sanksi, warga Iran tak bisa membuka rekening bank di negara-negara Eropa dan Amerika. “Aku berharap bisa masuk komunitas pengusaha global,” kata Heshmat, pengusaha asal Tabriz, kepada Reuters


Foto: Reuters

Tapi Heshmat sepertinya masih harus bersabar. Begitu mendengar kabar sanksi dicabut, Maryam Sadeghian buru-buru menghubungi satu kantor bank di Muenchen, Jerman. Bertahun-tahun lalu dia punya rekening di bank tersebut. “Tapi jawabannya negatif. Petugas bank mengatakan belum ada perubahan baru,” ujar Maryam. Perubahan memang jarang terjadi dalam semalam.

Bagi musuh-musuhnya di Timur Tengah, lain pula ceritanya. “Hari ini hari yang hitam,” kata Omar Mushaweh, anggota senior Ikhwanul Muslimin Suriah. Mencabut sanksi Iran, Omar menuturkan, sama dengan membiarkan Iran menjadi “polisi” di Timur Tengah. Tangan-tangan Teheran ada di Bagdad, di Damaskus, juga di Sanaa. 

Tak cuma membuka pintu kerja sama dengan negara-negara Barat, pencabutan sanksi juga membuka pintu Teheran ke rekening mereka yang dibekukan di Amerika. Paling tidak ada duit US$ 100 miliar atau hampir Rp 1.400 triliun di rekening itu yang siap dicairkan. Belum lagi gelontoran dolar hasil penjualan minyak dan gas bakal membuat pundi-pundi Iran makin gemuk. 

“Apa lagi yang kita harapkan setelah sanksi dicabut dan tangan Iran dibebaskan?” Omar setengah frustrasi. Dia pantas khawatir. Bahkan saat ekonomi dalam negerinya kembang-kempis pun, Iran terus “mengekspor revolusinya” ke sejumlah negara. Lebih dari 10 tahun lalu, Raja Yordania Abdullah sudah memperingatkan soal ekspansi “revolusi” Iran. 

Saat pemilihan umum Irak pada awal 2005, Raja Abdullah mencium aliran duit sangat besar dari Iran untuk menyokong kampanye kandidat-kandidat yang akrab dengan Teheran. Ribuan warga Iran juga berbondong-bondong menyeberang ke Irak untuk membantu pemenangan kandidat-kandidat itu. “Iran berkepentingan menjadikan Republik Islam Irak,” kata Raja Abdullah dikutip Washington Post. Setelah Presiden Saddam Hussein, yang disokong minoritas muslim Sunni, tumbang, gerak bandul politik di Bagdad makin condong ke Teheran.

Tapi negara-negara Arab, menurut Kamran Bokhari, analis keamanan di Stratfor, mestinya tak perlu khawatir terhadap ekspor revolusi Syiah dari Teheran. “Yang membuat pengaruh Syiah Iran membesar justru perpecahan dan kelemahan komunitas Sunni,” kata Kamran. Namun, sepanjang sejarah, kekuasaan kerajaan-kerajaan Syiah jarang bertahan lama. Di seluruh dunia, Syiah hanya menjadi mayoritas di Iran, Irak, Bahrain, dan Azerbaijan. Selain bakal terganjal hambatan populasi dan perlawanan dari komunitas Sunni, menurut Kamran, ekspansi Iran juga tak selalu disokong sepenuh hati oleh komunitas Syiah lain. 


Ilustrasi: Thinkstock 

Jumat, 12 Februari 2016

Pardis Sabeti baru berusia empat tahun saat keluarganya buru-buru angkat kaki dari Teheran dan “mengungsi” ke Amerika Serikat pada 1979. Hari-hari itu adalah hari-hari Revolusi Islam di Iran. Parviz Sabeti, ayahnya, merupakan Wakil Kepala Dinas Intelijen dan Badan Keamanan, SAVAK, lembaga yang sangat ditakuti pada masa Shah Reza Pahlavi.

“Ayahku mengambil salah satu pekerjaan paling berat di pemerintahan lantaran dia mencintai negaranya lebih dari dirinya,” kata Pardis, kini 40 tahun, kepada majalah Smithsonian

Setelah Shah Reza tumbang digusur revolusi, para pendukungnya berhamburan menyelamatkan diri. Sempat singgah di Israel, akhirnya keluarga Sabeti menetap di Florida, Amerika. Pardis, yang lahir di Teheran tapi tumbuh besar di Amerika, sekarang menjadi ilmuwan kondang. Setahun lalu, majalah Time menempatkan profesor biologi di Universitas Harvard itu di daftar 100 Most Influential People dan Persons of the Year. 

Foto: SF

Di kampus-kampus dan pusat penelitian di Amerika, tak sedikit ilmuwan keturunan Iran seperti Pardis. Maryam Mirzakhani, perempuan pertama yang mendapatkan penghargaan prestisius di bidang matematika, Fields Medal, lahir dan tumbuh besar di Teheran. Sejak September 2008, Maryam menjadi profesor matematika di Universitas Stanford.

Lebih dari 90 persen kabur ke luar negeri.... Dari 45 orang di kelasku, mungkin hanya tinggal lima orang."

Iran memang punya persoalan gawat. Setiap tahun, ada ribuan pemuda pintar dari Iran yang “lari” ke Eropa atau Amerika. Puncaknya pada 1989 hingga 1993, ada 2,2 juta orang yang meninggalkan Iran. Tapi Khomeini kala itu tak ambil pusing atas banyaknya ilmuwan Iran yang lari ke luar negeri. “Biarkan saja orang-orang berpendidikan yang selalu bicara soal sains dan kebudayaan Barat itu pergi.... Biarkan mereka pergi. Kita tak butuh sains dan kebudayaan Barat,” kata Khomeini seperti dikutip Al-Jazeera.

Hidup di Iran, yang selama puluhan tahun punya hubungan buruk dengan negara-negara Barat, memang tak mudah. Apalagi setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjatuhkan sanksi pada 2006 lantaran Iran dianggap membandel dalam soal pengembangan nuklir. Pekerjaan yang bagus sulit didapatkan, bahkan bagi lulusan perguruan tinggi top sekalipun.

Foto: QZ

Araz Alipour bisa menghitung dengan jari berapa banyak teman kuliahnya yang bertahan di Iran. “Lebih dari 90 persen kabur ke luar negeri.... Dari 45 orang di kelasku, mungkin hanya tinggal lima orang,” kata Araz, 30 tahun, insinyur teknik informatika. 

Menurut survei Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa tahun lalu, “pelarian” intelektual asal Iran merupakan yang terbesar di dunia. IMF menaksir ada 250 ribu insinyur dan dokter serta 170 ribu warga Iran berpendidikan tinggi yang kabur ke Amerika. Hampir 90 persen mahasiswa doktoral asal Iran di kampus-kampus Amerika, National Science Foundation di Arlington menghitung, tak pulang lagi ke Negeri Para Mullah. Mereka memilih bekerja dengan gaji tinggi dan hidup nyaman di Amerika. 

Ya, mau bagaimana lagi, godaan itu memang sangat menggiurkan untuk dilewatkan. “Tak peduli sehebat apa kemampuan kalian, tak akan bisa kalian mendapatkan gaji awal di Iran sebesar US$ 3.000 seperti yang biasa diperoleh di Kanada atau Amerika,” ujar Mohammad, mahasiswa doktoral asal Iran di Amerika. Hidup di Amerika dan Eropa jadi impian pemuda Iran seperti Azadeh. Dia berniat bersekolah di Amerika dan tak berencana pulang kembali ke Teheran. 

Terpilihnya Hassan Rouhani menjadi orang nomor satu di Iran tiga tahun lalu meniupkan angin perubahan. Tak seperti pidato Khomeini, Rouhani dan para pembantunya mengakui larinya orang-orang terdidik membuat negara itu rugi besar. “Hari ini, ekonomi tradisional tak akan mampu bersaing di luar sana.... Kita akan bisa bersaing di dunia jika ekonomi kita berbasis ilmu pengetahuan,” kata Rouhani. 

Maryam Mirzakhani
Foto: Guardian

Lily Sarafan
Foto: Sepash

Reza Faraji Dana, Menteri Sains, Riset, dan Teknologi, mengatakan Iran rugi US$ 150 miliar atau lebih dari Rp 2.000 triliun setiap tahun gara-gara pelarian ilmuwan. Belajar dari Cina, yang mengalami masalah serupa, menurut Reza, mereka harus menawarkan sesuatu supaya orang-orang pintar seperti Maryam mau pulang ke kampung halaman.

Hasilnya mulai kelihatan. Sepanjang 2015, harian Financial Tribune menulis, ada 76 ilmuwan Iran yang tersebar di pelbagai negara yang pulang ke tanah air mereka. Masih ada ratusan ilmuwan Iran lain yang menyatakan berminat pulang kampung. Ali Morteza Birang, Deputi Bidang Hubungan Internasional di kantor Wakil Presiden untuk Urusan Sains dan Teknologi, mengatakan mereka akan menyediakan fasilitas serta dana riset bagi para peneliti yang pulang kampung.

Terhadap para ilmuwan yang belum menuntaskan wajib militer, pemerintah Iran juga berjanji akan memberi jalan gampang. “Kami akan memberikan pengecualian.... Mereka bisa terlibat dalam riset militer,” kata Ali Morteza. Satu di antara lulusan kampus luar negeri yang memilih pulang ke Teheran adalah Salar. 

Sebelum pulang ke Iran, pemuda lulusan sebuah kampus di Inggris itu sempat bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab. Teman-teman lamanya di Iran, menurut Salar, kini tersebar di pelbagai negara. “Ada yang di Australia, Austria, ada yang di Amerika, ada pula yang bekerja di Prancis,” kata Salar, bukan nama sebenarnya, kepada CSM. Kendati masih begitu banyak ketidakpastian di Iran, pencabutan sanksi terhadap negerinya membuat Salar lebih optimistis menatap masa depan di Teheran. 



REVOLUSI KHOMEINI
ALA NIGERIA

Pada 1979, ketika Republik Islam Iran berdiri menggantikan rezim lama, Islam Syiah belum begitu dikenal di Nigeria, kampung halaman Zakzaky.

Foto: IBTimes

Jumat, 12 Februari 2016

Ketika Ayatullah Ruhollah Khomeini kembali menginjakkan kaki di Teheran dan memimpin revolusi Iran, Ibrahim Zakzaky baru berumur 25 tahun. Darahnya masih muda dan panas. Terinspirasi Revolusi Islam ala Iran, Zakzaky ingin mengikuti jalan Khomeini.

Pada 1979, ketika Republik Islam Iran berdiri menggantikan rezim lama, Islam Syiah belum begitu dikenal di Nigeria, kampung halaman Zakzaky. Dia lahir dan tumbuh besar di Zaria, Negara Bagian Kaduna, di belahan barat laut Nigeria. Dengan sokongan Iran di balik layar, Zakzaky melebarkan pengaruh Syiah di Nigeria meniru jalan Hizbullah di Libanon.

Setiap tahun, Zakzaky dan pengikutnya memperingati Asyura, memperingati kematian tragis Husain, cucu Nabi Muhammad. Asyura adalah hari yang penting bagi muslim Syiah. Puluhan tahun kemudian, Zakzaky dengan gagah mengklaim jumlah pengikutnya sudah jutaan orang. Kini diperkirakan ada hampir 10 juta muslim Syiah di Nigeria.

Jika kami menghendaki 1 juta orang turun ke jalan untuk memperjuangkan satu isu, kami bisa melakukannya.”

“Jika kami menghendaki 1 juta orang turun ke jalan untuk memperjuangkan satu isu, kami bisa melakukannya,” kata Zakzaky, kini 62 tahun, kepada BBC, 15 tahun lalu. Kendati jumlah muslim Syiah hanya sekitar sepersepuluh dari total warga muslim di Nigeria, Zakzaky percaya bukan hal mustahil mendirikan negara Islam seperti Iran di Benua Afrika.

Seperti Hizbullah, Zakzaky “memelihara” milisi bersenjata. Menurut Muhammad Kabir Isa, peneliti di Universitas Ahmadu Bello, Nigeria, Zakzaky juga “menyusupkan” anak buahnya ke tubuh militer dan kepolisian. “Dia memastikan ada anak buahnya yang masuk dinas militer dan kepolisian,” kata Kabir Isa. Pengaruh Zakzaky tak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ibrahim Zakzaky
Foto: Alalam

Zakzaky mengatakan tak ada aliran uang dari Teheran untuk membesarkan kelompoknya. Pada Oktober 2010, otoritas Pelabuhan Apapa di Lagos menemukan bertumpuk-tumpuk senjata di antara kontainer yang memuat bahan bangunan. Merebak dugaan, senjata yang dikapalkan dari Pelabuhan Bandar Abbas, Iran, itu dikirim untuk milisi Syiah di Nigeria. 

Odein Ajumogobia, Menteri Luar Negeri Nigeria, mengancam akan melaporkan temuan senjata itu kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bagi Iran, yang tengah menghadapi sanksi dari Dewan Keamanan PBB, ancaman itu urusan yang sangat serius. Penguasa di Teheran buru-buru mengatakan ada “kesalahpahaman” soal senjata dari Iran tersebut. Manouchehr Mottaki, Menteri Luar Negeri Iran saat itu, sampai perlu terbang ke Nigeria untuk meluruskan “kesalahpahaman” itu.

Penguasa Nigeria memang sudah lama pasang mata terhadap kelompok Zakzaky. Kelompok Syiah ini, menurut Kabir Isa, dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan. Pada September 2009, pengikut Zakzaky bentrok dengan polisi di Kota Zaria. Tiga orang tewas dan puluhan terluka. Zakzaky, seperti dikutip harian VanGuard, menuduh pemerintah berniat menumpas habis Gerakan Islam Nigeria (IMN) yang dia pimpin. 

Foto: Daily Signal

Lima tahun kemudian, satu setengah tahun lalu, kembali terjadi bentrokan berdarah antara pengikut Zakzaky dan tentara Nigeria di Zaria. Menurut keterangan IMN, 12 anggota mereka tewas, tiga di antaranya putra Zakzaky. Ibrahim Musa, salah satu pemimpin IMN, mengatakan tentara Nigeria menghamburkan tembakan ke arah massa IMN yang berniat menggelar unjuk rasa dukungan untuk Palestina seusai shalat Jumat. Luka itu makin sulit disembuhkan.

Sepertinya otoritas Nigeria memang susah hidup damai dengan kelompok Zakzaky. Pada Sabtu malam pertengahan Desember tahun lalu, menyandang senjata lengkap, tentara Nigeria menyerbu rumah Zakzaky di Distrik Gyelesu, Zaria. Sejumlah saksi mata, kepada VanGuard, menuturkan baku tembak tentara Nigeria dengan milisi pendukung Zakzaky baru berakhir keesokan harinya.

Kolonel Sani Kukasheka Usman, juru bicara militer Nigeria, menuduh kelompok Zakzaky yang cari gara-gara. “Milisi Syiah, atas perintah Ibrahim Zakzaky, menyerang konvoi Panglima Militer Letnan Jenderal Tukur Buratai di Zaria,” kata Sani. Mereka, menurut Sani, berencana membunuh Jenderal Tukur. “Tindakan seperti itu tak bisa kami toleransi.”


Milisi Syiah Nigeria
Foto: QZ

Cerita versi Kolonel Sani dibantah Mallam Ibrahim Musa, juru bicara IMN. Mereka, kata Mallam, sama sekali tak punya niat menyerang Jenderal Tukur. “Kami sedang memperingati Maulid Nabi,” kata Mallam. Supaya tak mengganggu lalu lintas, anggota IMN mengatur lalu lalang pengunjung. Kebetulan, konvoi Jenderal Tukur melintas. “Pengawal Jenderal Tukur turun dan berdiskusi dengan kami.... Kami membiarkan mereka melintas.”

Tak berapa lama setelah Jenderal Tukur lewat, Mallam menuturkan, puluhan tentara bersenjata lengkap datang dengan tiga truk. “Mereka mulai menembak,” kata Mallam. Dia menuding, serangan terhadap Jenderal Tukur hanyalah karangan tentara Nigeria sebagai pembenaran atas penembakan brutal itu. Teheran pun ikut bersuara. Presiden Iran Hassan Rouhani menelepon langsung Presiden Nigeria Muhammadu Buhari untuk meminta penjelasan soal penembakan di Zaria. 

Komandan Divisi 1 Militer Nigeria Mayor Jenderal Adeniyi Oyebade mengatakan mereka tak anti-Syiah. “Mereka juga warga Nigeria dan tugas kami melindungi mereka,” kata Jenderal Adeniyi. “Tapi kami tak bisa menerima rencana mereka mendirikan negara dalam negara.”

Ada ratusan orang, versi Mallam, yang jadi korban. Ratusan lainnya hilang tak ada kabar. Ibrahim Zakzaky dan istrinya terluka dan ditangkap tentara Nigeria. Dia dituduh mengompori pengikutnya untuk melawan pemerintah. Revolusi Khomeini ala Zakzaky ditumpas sebelum bertunas. 


Penulis/Editor: Sapto Pradityo

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.