image 1 for background / image background
image 2
image 3
image 4

METROPOP

GEMAS ORANG JEPANG
PADA JAKARTA

“Orang-orang Indonesia selalu mengatakan, 'Kita akan menjadi besar.
Kita ingin menjadi negara maju.' Tapi….”

Foto: Agung Pambudhy/detikX

Jumat, 19 Februari 2016

Tsuyoshi Ashida sudah 18 tahun menetap di Jakarta. Orang Jepang ini hafal dengan kebiasaan warga Ibu Kota, yang sering membuang sampah secara sembarangan. Kebiasaan ini membuat Ashida prihatin.

Ashida ingin Jakarta, kota tempat ia tinggal dan mencari uang, bersih dan nyaman seperti Jepang. Ia pun yakin orang Jepang di Jakarta dan semua orang punya keinginan yang sama dengannya. Tapi Ashida sadar ia hanya warga biasa. “Apa yang bisa saya lakukan?”


Video: dok. Jakarta Osoji Club

Ashida lantas terpikir untuk menggerakkan teman-teman senegerinya guna peduli Jakarta. Ia menulis surat terbuka yang diterbitkan di sebuah koran Jepang di Jakarta: memanggil warga Jepang di Ibu Kota untuk melakukan bersih-bersih.

Rupanya ajakan Ashida bersambut. Ada 15 ekspatriat asal Jepang yang sepakat dengan ide Ashida. Dan pada 29 April 2012, mulailah mereka membuat komunitas Jakarta Osoji Club dengan tagline “Malu Buang Sampah Sembarangan”.

Tsuyoshi Ashida   
Foto: Agung Pambudhy/detikX

Kegiatannya bersih-bersih di Stadion Utama Gelora Bung Karno setiap dua minggu sekali. Mereka berharap, dengan melihat orang asing mau bersih-bersih, warga Jakarta pun akan sadar dan tergerak untuk tidak sembarangan membuang sampah.

Ketika Ashida dan teman-temannya beraksi, memang banyak orang Indonesia yang bertanya, mengapa mereka, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia, malah peduli terhadap masalah sampah di Jakarta. "Orang Jepang di sini, walaupun bukan WNI, mereka tinggal di sini, kan. Jakarta adalah kota tempat mereka tinggal. Jadi mereka tidak mau sampah ada di mana-mana. Mereka mau tempat tinggalnya nyaman,” kata laki-laki berusia 54 tahun ini saat ditemui detikX

Ashida menuturkan, Jepang 50 tahun lalu juga kotor dan banyak sampah. Pemerintah Jepang kemudian mengkampanyekan kebersihan yang terintegrasi dengan sistem pendidikan. Ditanamkan pemahaman bahwa sampah merupakan perkara besar yang tidak boleh dianggap sepele. Sampah sedikit, kalau dibiarkan, bisa menggunung dan menjadi raksasa, yang siap menelan kota.

Jakarta Osoji Club bertandang ke sebuah SMA di Bintaro, Tangerang.
Foto: Agung Pambudhy/detikX

Di Jepang, siswa sekolah dari SD sampai SMA diwajibkan melakukan bersih-bersih kelas dan lingkungan sekolah sebelum belajar. Kegiatan itu tidak lama, sekitar 15 menit, tapi penting untuk mendidik anak-anak akan pentingnya kebersihan. Ashida ingin sekolah di Jakarta juga menerapkan contoh itu.

“Orang-orang Indonesia selalu mengatakan, 'Kita akan menjadi besar, kita ingin menjadi negara maju.' Saya juga berharap demikian. Tapi bagaimana bisa menjadi bangsa besar kalau buang sampah saja sembarangan.”

Ashida gemas melihat mobil mewah tapi suka sembarangan melempar sampah di jalan. Baginya, keberhasilan ekonomi tak ada artinya jika tidak disertai mental dan perilaku yang baik.

Edukasi kepada siswa SMA di Bintaro, Tangerang.
Foto: Agung Pambudhy/detikX


Foto: Agung Pambudhy/detikX

Karena itu, Ashida amat menyayangkan sikap pemimpin Indonesia yang menganggap sampah sebagai hal sepele. Ia memberi contoh, seusai acara-acara kampanye pemilihan presiden, sampah bertebaran di mana-mana.

“Orang yang berkampanye itu kan posisinya calon presiden. Meskipun dia cuma basa-basi, saya maunya waktu itu dia ajak, ‘Ayo, jangan kotori tempat kita.’ Sama sekali enggak ada ucapan itu. Mereka anggap ini hal kecil.”

Ashida bersama Jakarta Osoji Club berusaha mendekati pemerintah untuk mengatasi masalah sampah ini. Ia menemui Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, meminta agar pemerintah DKI Jakarta lebih serius memperhatikan kebersihan.


Jakarta Osoji Club bersama siswa SMA di Bintaro, Tangerang, seusai kegiatan edukasi tentang peduli kebersihan.
Foto: Agung Pambudhy/detikX

Osoji juga kerap mengkampanyekan kegiatan bersih-bersih Jakarta melalui parodi raksasa sampah. Sebuah drama berisi imbauan kepada masyarakat supaya tidak sembarangan membuang sampah dibuat.

“Dramanya kalau dalam bahasa Jepang disebut gomi-kaijuu. Karena, kalau buang sampah sembarangan, nanti ada raksasa sampah yang muncul,” ujar Addie Valent, salah satu relawan di Jakarta Osoji Club.

Tomoko Kaneko juga menuturkan, Jakarta dan Tokyo sangat berbeda, terlebih dalam hal kebersihan dan kerapiannya. Ia pun tidak habis pikir dengan kebiasaan warga Jakarta membuang sampah sembarangan. Meski demikian, wanita asal Osaka ini berharap suatu hari Jakarta bebas dari sampah. “Saya heran, ada tempat sampah tapi kenapa buang sembarangan? Semua bisa berubah asalkan ada kemauan,” ujar Kaneko.

Empat tahun Osoji melakukan bersih-bersih dan edukasi, kebiasaan buruk warga Jakarta belum juga hilang. Namun komunitas Osoji telah menyebar ke kota-kota besar lainnya. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan orang. Ashida memperkirakan Jakarta butuh waktu 30 tahun untuk menjadi bersih dan rapi seperti Jepang. "Kita harus bersabar," kata Ashida.



MALU AKU PADA
ORANG JEPANG

“Mereka kalau ditegur suka bilang, ‘Apa, sih.
Kan sudah ada yang nyapu, biarin aja.’”

Foto: Hasan Alhabshy/detikX

Jumat, 19 Februari 2016

“Malu buang sampah sembarangan!” Sekumpulan orang berkaus hijau-hijau meneriakkan kalimat itu berkali-kali. Risa Fadhila merasa heran. Sebab, meski teriakan menggunakan bahasa Indonesia, logatnya bukan logat Indonesia.

Risa saat itu sedang menonton Ennichisai (Festival Seni dan Budaya Jepang) 2012 di Blok M, Jakarta Selatan. Risa pun mendekat. Ternyata orang yang berteriak-teriak itu warga asing. Mereka semua orang Jepang yang tinggal di Jakarta.

Anggota Jakarta Osoji Club memunguti dan mengumpulkan sampah di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Foto: Hasan Alhabshy/detikX

“Pas lihat mereka kampanye sambil pungut-pungut sampah, malu saya rasanya. Malulah, kan kita yang buang sampah sembarangan, masak mereka yang orang asing malah pungutin sampahnya,” cerita Risa saat ditemui detikX.

Yang agak bikin jengkel, kalau ditegur, mereka suka bilang, ‘Apa, sih. Kan sudah ada yang nyapu, biarin aja.’”

Akhirnya Risa memutuskan bergabung dengan komunitas orang Jepang itu, yang bernama Jakarta Osoji Club. Ia juga mengajak keluarganya bergabung. Ibunya, Nazhiva Muslim, dan ayahnya, Mawardi Abdullah, pun ikut serta menjadi relawan.

Risa dan keluarga antusias dengan kegiatan Osoji, seperti petik sampah, yaitu memunguti sampah di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Terbiasa dengan kegiatan bersih-bersih ini, Risa pun tidak tahan bila melihat lingkungannya kotor. Ia otomatis menjadi motor acara bersih-bersih setiap kali acara di kompleksnya usai.

“Contohnya sewaktu ada pemotongan hewan kurban di masjid dekat rumah, setelah itu kami ajak semua peserta, termasuk anak-anak kecil, buat membersihkan sampah,” cerita perempuan berusia 27 tahun ini.

Foto: Hasan Alhabshy/detikX


Nazhiva, yang sudah berusia 52 tahun, merasa tidak ada kata terlambat untuk menjaga kebersihan. Ia dengan gesit mengejar anak muda yang buang sampah sembarangan dan menasihatinya agar mengubah perilaku buruk itu.

Beneran saya kejar, saya suruh pungut sampahnya dan buang ke tempat sampah. Sambil bersih-bersih, saya nasihatin juga mereka, ‘Dik, kalau habis minum, buang di tempat sampah, ya.’”

Sering orang mengira relawan Osoji sebagai petugas kebersihan. Addie Valent, relawan Osoji lainnya, menuturkan berulang kali ia harus memberi penjelasan bahwa ia bukan petugas kebersihan, melainkan relawan yang mengajak warga buang sampah di tempatnya.

Tsuyoshi Ashida (berkaus merah) mengkampanyekan gerakan "Malu Buang Sampah Sembarangan" di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Foto: dok. Jakarta Osoji Club

“Yang agak bikin jengkel, kalau ditegur, mereka suka bilang, ‘Apa, sih. Kan sudah ada yang nyapu, biarin aja.’” Padahal di sampingnya ada tempat sampah.

Addie bersama Jakarta Osoji Club pernah melakukan studi banding ke Jepang dan mengagumi bersihnya Negeri Sakura. Ia juga berkunjung ke salah satu sekolah di Jepang. Di sekolah itu, anak-anak Jepang menyiapkan makanan sendiri dan bersih-bersih kelas, tidak hanya menyapu, tapi juga mengepel dan memberishkan toilet.

Risa, Nazhiva, Addie, dan relawan Osoji optimistis suatu hari nanti Jakarta akan menjadi kota yang sehat dan indah. Mereka yakin, tidak hanya mereka, di luar sana masih banyak orang yang peduli untuk membuat kota ini jauh lebih indah dan bersih.


image for mobile / touch device
image 2
image 3

MEREKA MENGOBATI
GUNUNG SAKIT

Tidak mengambil kecuali foto,
tidak membunuh apa pun kecuali waktu,
dan tidak ada yang ditinggalkan kecuali jejak.

Foto: dok. Trashbag Community

Jumat, 19 Februari 2016

Sejak kecil Ragil Budi Wibowo suka mendaki gunung. Dari tahun ke tahun pendakiannya, Ragil merasakan perubahan kondisi gunung yang semakin menyedihkan. Gunung-gunung Indonesia yang cantik kini banyak yang sakit.

Ragil sebenarnya senang, kian banyak anak muda yang tergerak untuk naik gunung. Film tentang pendakian dan berkembangnya media sosial turut membuat pendakian menjadi tren.

“Ketika belum ramai media sosial, dari data setiap pengelola gunung, per minggu kunjungan ke gunung hanya 100 orang. Sekarang bahkan bisa 1.000 orang lebih. Artinya, jumlah pendaki naik hingga 10-20 kali lipat,” kata Ragil.

Karakteristik pendaki pun berubah. Pendaki bukan lagi hanya para pencinta alam, yang mendapat pembekalan soal menjaga dan melestarikan alam, tapi juga pendaki pemula, yang cuma ingin selfa-selfie.

(Saat) saya mendaki Gunung Rinjani, banyak sekali sampah. Saya frustrasi melihat sampah itu, jadi selalu saya pungut.”

Selfie di gunung tentu tidak dilarang. Sayangnya, semenjak gunung jadi buruan untuk tempat selfie, tumpukan sampah juga semakin banyak. Banyak pendaki yang meninggalkan sampah di gunung. Gunung Rinjani menjadi salah satu korbannya.

Saking banyaknya yang berkunjung, Rinjani sudah seperti tempat pembuangan akhir dengan sampah di mana-mana. “(Saat) saya mendaki Gunung Rinjani, banyak sekali sampah. Saya frustrasi melihat sampah itu, jadi selalu saya pungut,” kata Angela Jelita Richardson, salah seorang penghobi naik gunung.

Kegiatan Trashbag Community membersihkan gunung dari sampah.
Foto: dok. Trashbag Community

Gunung-gunung ternama lainnya bernasib sama. Bahkan gunung tertinggi di Indonesia yang jarang didaki, seperti Gunung Puncak Jaya di Papua, juga tidak lepas dari masalah sampah.

“Pendaki sekarang naif. Mereka cuma membagikan foto-foto yang indah, tetapi tidak menampilkan fakta sebenarnya di sana. Banyak gunung yang sudah sangat tercemar,” tutur Ragil.

Ragil awalnya cuek terhadap kondisi menyedihkan tersebut. Tapi lama-lama ia dan teman-teman sesama pendaki gunung menjadi gerah. Ia jengkel pada para pendaki yang semakin tidak tahu aturan itu.

Seharusnya para pendaki mengetahui tiga aturan mendaki gunung: tidak mengambil kecuali foto, tidak membunuh apa pun kecuali waktu, dan tidak ada yang ditinggalkan kecuali jejak.

Relawan Trashbag Community membawa sampah dari puncak gunung.
Foto: dok. Trashbag Community

Pada 11 November 2011, sejumlah pendaki gunung, termasuk Ragil, berkumpul di Gunung Pangrango, Jawa Barat. Mereka menyimpulkan banyak gunung sekarang sedang sakit. Gunung harus diobati. Obatnya tentu saja dengan membersihkannya dari sampah-sampah.

Mereka sepakat membentuk Trashbag Community untuk menyelamatkan gunung-gunung dari sampah. Komunitas ini membuat moto “Gunung Bukan Tempat Sampah”.

“Awalnya saya memang acuh tak acuh. Tapi makin lama saya perhatikan kok makin parah kondisinya. Ini tidak bisa dibiarkan, makanya kami bikin Trashbag,” ujar Ragil, pendiri Trashbag Community, saat ditemui detikX di sekretariat Trashbag Community, Jalan Kalibata Timur 4F Nomor 20, Jakarta Selatan.

Relawan Trashbag Community setelah memunguti sampah di gunung.
Foto: dok. Trashbag Community

Trashbag kini memiliki 3.600 anggota dan simpatisan di seluruh Indonesia. Mereka rutin melakukan aksi bersih gunung di setiap pendakian. Proses pendakian sambil mengumpulkan sampah ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari.

Pada 12 September 2015, misalnya, Trashbag melakukan operasi bersih Sapu Jagat di 15 gunung. Acara ini diikuti oleh ratusan relawan. Sampah, seperti botol plastik, bungkus mi instan, tisu, hingga celana dalam bekas, yang ditemukan saat mendaki dipungut, lalu dibawa turun gunung. Aksi atau operasi bersih saja dinilai Ragil bukanlah solusi efektif untuk mengurangi sampah di gunung. Oleh sebab itu, Trashbag melakukan edukasi dan pengawasan.

Edukasi perlu dilakukan karena banyak pendaki yang tidak menyadari bahaya sampah. Mereka seenaknya saja buang sampah tanpa merasa bersalah karena berpikir toh ada petugas gunung yang bakal bersih-bersih.

Relawan Trashbag Community setelah memunguti sampah di gunung.
Foto: dok. Trashbag Community


Para relawan Trashbag sering kali kesulitan saat harus mengedukasi pendaki nakal ini. Mereka sering tidak terima bila dinasihati. Tidak jarang para relawan Trashbag malah dicaci maki karena mengingatkan pendaki agar tidak lupa membersihkan lokasi dari sampah setelah makan.

Imam Sukamto, Sekretaris Jenderal Trashbag, mengaku sering dikatai pamer ketika memunguti sampah di gunung. Selain makian, relawan sebenarnya menghadapi medan yang sulit, misalnya memungut sampah yang berada di jurang atau di semak-semak.

Rizki, seorang relawan Trashbag Community, mengingatkan, kebersihan gunung tidak bisa hanya dibebankan pada para ranger atau penjaga gunung. Jumlah ranger tidak sebanding dengan jumlah pendaki setiap minggunya. Rizki, yang juga menjadi ranger Gunung Guntur, Garut, Jawa Barat, pun mengaku kewalahan menghadapi pendaki nakal yang membuang sampah sembarangan.

“Walaupun garda terakhir adalah ranger. Hak kita menikmati alam. Kewajibannya ya menjaga alam,” kata Rizki mengingatkan.

Ragil menambahkan, kawasan terluas di Indonesia selain laut adalah hutan dan gunung. “Hilir pantai sudah tercemar. Kalau hulu juga tercemar parah, mau bagaimana? Efeknya mungkin enggak akan terasa sekarang, tetapi akan dirasakan anak-cucu kita.”


SATU HARI SAJA,
TAPI PENTING ARTINYA

Perlu aksi peduli kebersihan yang dilakukan secara besar. Artis-artis pun tergerak ikut bersih-bersih.

Foto: dok. Clean Up Jakarta

Jumat, 19 Februari 2016

Orang umumnya akan langsung membuang begitu saja kaleng-kaleng minuman yang sudah tidak dipakai ke tempat sampah. Tapi tidak dengan Angela Jelita Richardson. Ia akan mencuci terlebih dulu kaleng itu sampai bersih sebelum membuangnya.

Angela memang sangat peduli pada kebersihan. Bukan hanya itu, ia juga menganggap penting pengelolaan sampah. Di apartemennya, Angela menyediakan dua tempat sampah, untuk yang organik dan non-organik.

Sampah dipilah-pilah dan dimasukkan ke tempat sampah sesuai dengan jenisnya. Angela tumbuh dan besar di London, Inggris. Selama 13 tahun, ia terbiasa dengan kebersihan dan keteraturan di kota modern itu. Di London, setiap rumah mendapatkan dua tempat sampah. Satu tempat untuk sampah makanan yang mudah hancur, dan satu lagi tempat untuk sampah plastik. Setiap Senin, petugas kebersihan datang mengambil sampah itu, dan bila ketahuan sampah tidak dipilah, pemilik rumah akan dijatuhi denda.

Sandiaga Uno ikut dalam aksi Clean Up Jakarta Day.
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Pejabat Dinas Kebersihan DKI Jakarta tak mau ketinggalan dalam aksi.
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Pindah ke Jakarta enam tahun lalu, Angela tetap menerapkan kebiasaan hidup bersihnya itu. Ia membayangkan dan berharap Jakarta suatu saat akan sebersih London.

Suatu ketika, perempuan yang punya hobi menyelam dan naik gunung itu pergi ke Ambon. Sepanjang jalan menuju pantai, sang sopir terus berpromosi bahwa Ambon Manise sangat bersih. Tidak ada sampah!

Tapi nyatanya? Di depan mata Angela, sampah bertebaran. Ia pun frustrasi. Bersama sang suami, ia memunguti sampah-sampah di sepanjang pantai itu. Seorang penjual makanan yang dimintai plastik untuk menaruh sampah ikut membantu. Demikian juga sang sopir.

Kejadian pada 2012 itu lantas menyadarkan Angela. Pemimpin Redaksi Indonesia Expat itu tidak bisa hanya sendirian menjaga kebersihan. Perlu sebuah gerakan untuk menyadarkan orang bahwa kebersihan adalah hal penting.

Angela dan Marissa
Foto: dok. Clean Up Jakarta

“Saya pikir, kalau kita bisa menyadarkan orang lain tentang keberadaan sampah, respons mereka akan berubah, sama seperti sopir itu,” kata Angela saat ditemui detikX di sebuah kafe di Jakarta.

Angela tahu ada sejumlah komunitas peduli kebersihan di Jakarta, tapi mereka bergerak sendiri-sendiri. Ia berpikir, perlu ada sebuah gerakan besar. Kebetulan Angela mendapat informasi mengenai gerakan Clean Up Australia Day. Ia pun berpikir untuk mengadaptasi dan menerapkannya di Indonesia. Maka, pada Oktober 2013, Angela menggelar aksi Clean Up Jakarta Day.

“Hanya satu kali dalam setahun, tapi gerakannya besar,” cerita Angela. Pada 2015, gerakan itu dilakukan di 37 lokasi di Jakarta dan sekitarnya secara serentak. Gotong-royong bersih-bersih itu dimulai pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 10.00 WIB. Sampah yang terkumpul kemudian dipilah untuk disetorkan ke bank sampah.

Ersa Mayori
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Mike Lewis
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Relawan Clean Up Jakarta
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Slank
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Mereka yang bergabung dalam aksi ini diingatkan bahwa kegiatan mereka itu bukan bertujuan membersihkan jalan, tapi untuk mengubah mental orang. Perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri.

Makanya peserta juga harus bawa barang bawaan yang reuseable.”

“Makanya peserta juga harus bawa barang bawaan yang reuseable. Misalnya, kalau bawa botol minum, usahakan jangan bawa botol plastik, tetapi tumbler,” kata Angela.

“Semua yang kami gunakan reuse atau bisa dipakai lagi. Kami kasih T-shirt yang dibuat dari 100 persen recycle plastic. Untuk edukasi, kalau bisa didaur ulang, sampah bisa menjadi barang yang lebih bermanfaat.”

Aksi Clean Up Jakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Foto: dok. Clean Up Jakarta

Ternyata banyak yang berpartisipasi dalam aksi Clean Up Jakarta Day. Sejumlah perusahaan memberikan dukungan berupa dana ataupun peralatan untuk bersih-bersih. Tidak ketinggalan para selebritas ikut bergabung dalam aksi ini, seperti personel grup Slank serta artis sinetron Mike Lewis dan Ersa Mayori.

Setiap tahun jumlah peserta juga meningkat. Tahun lalu ada 10 ribu peserta. Angela berharap gerakan ini makin besar dan menyebar ke kota-kota lain. Yang palig penting, banyak relawan yang akhirnya menyadari ruginya membuang sampah sembarangan. Mereka ikut menerapkan prinsip 3R, yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle. Bisa dimulai dengan menyediakan dua tempat sampah untuk proses pemilahan di rumah. Sebab, kebersihan kota bukan hanya pekerjaan petugas kebersihan, pemulung, atau pemungut sampah, tapi juga merupakan tanggung jawab bersama.


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Iin Yumiyanti

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.