INVESTIGASI

‘Hantu’ Bernama
Freddy Budiman

Freddy Budiman sudah mati. Tapi perkara aliran uangnya menjadi “hantu” bagi polisi dan tentara. Transaksinya mencapai miliaran rupiah, lari ke mana?

Ilustrasi: Edi Wahyono

Selasa, 30 Agustus 2016

Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Provinsi Lampung Komisaris Besar Suwanto tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. Penyebabnya, kontroversi Freddy Budiman terus bergulir. Padahal terpidana narkotik itu sudah mati di tiang eksekusi pada 29 Juli 2016.

“Saya bilang orang itu (Freddy) hidup bikin susah, mati bikin susah lagi,” ucapnya ketika berbincang dengan detikX pada Rabu, 24 Agustus 2016.

Suwanto adalah penyidik BNN yang menangani kasus penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi asal Cina. Freddy memegang kendali pengiriman barang haram ini dari balik Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Hasil penyidikan Suwanto itulah yang dijadikan dasar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk menghukum mati Freddy.

Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea-Cukai, dan orang-orang yang saya telepon itu semuanya nitip (menitip harga).”

Kontroversi Freddy awalnya dibuka oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Ia mengunggah pengakuan Freddy mengenai titipan harga narkotik oleh petinggi Polri, BNN, dan TNI. Ia menuliskan cerita Freddy itu di akun Facebook resmi Kontras pada Kamis, 28 Juli 2016, sehari sebelum eksekusi mati.

“Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea-Cukai, dan orang-orang yang saya telepon itu semuanya nitip (menitip harga),” tulis testimoni itu.

Freddy, yang cuma lulus sekolah dasar, mengaku pernah satu mobil dengan perwira TNI bintang dua dari Sumatera ke Jakarta dengan muatan penuh narkoba. Selain itu, mantan bos copet tersebut juga mengklaim telah menyetor uang kepada pejabat di BNN sebesar Rp 450 miliar.

Freddy Budiman (kiri)
Foto: Arbi Anugrah/detikcom

Haris mendapat pengakuan Freddy pada 2014. Saat itu ia bertandang ke sel Freddy bersama rohaniwan ke LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia sempat menelusuri pengakuan itu dengan membaca pleidoi Freddy, tapi tak kunjung menemukan jawaban.

Pengakuan Freddy tentang jumlah uang yang dia setorkan sepertinya bukan isapan jempol belaka. Kemampuan finansial bandar besar seperti Freddy cukup kuat. Berdasarkan penelusuran detikX dari kasus yang menjerat Freddy, ia tak segan merogoh kocek dan mencari rekanan importir narkoba.

Dalam kasus penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi dari Cina pada 2014, Freddy menjalin rekanan dengan Chandra Halim alias Akiong, Abdul Syukur alias Ukung, dan Serma TNI Supriyadi. Waktu itu Freddy mendapat tawaran dari Akiong untuk mendatangkan ekstasi dari Cina.

Akiong memiliki bos di Cina bernama Wang Chang Shu. Ia mendapat tawaran untuk membeli ekstasi sebanyak 1,4 juta butir seharga Rp 8.000 per butir. Jika ditambah biaya perjalanan, totalnya adalah Rp 15 ribu per butir. Freddy lalu mematok harga jual di pasaran sebesar Rp 45 ribu per butir.

Freddy menyerahkan uang patungan sebesar Rp 625 juta sebagai modal. Ia mengutang kepada seseorang bernama Edi Kuncir alias Babe sebesar Rp 500 juta. Sedangkan sisanya, Rp 125 juta, menggunakan uang pribadi. Seluruh uang ini ditransfer ke rekening Bank BCA atas nama Lina, keponakan Akiong.

Jaringan Freddy Budiman yang ditangkap
Foto: Jabbar/detikcom

Biaya jasa ekspedisi muatan kapal laut ditanggung oleh Freddy sebesar Rp 90 juta. Uang ini disetor dua kali, yakni Rp 60 juta dan Rp 30 juta, melalui seorang tukang ojek bernama Hawe pada Mei 2012.

Operasi penyelundupan dilakukan dengan memasukkan ekstasi ke dalam kontainer akuarium yang diurus pengeluarannya dari Pelabuhan Tanjung Priok oleh Primer Koperasi (Primkop) Kaltara milik Badan Intelijen Strategis TNI. Barang itu akan dijual ke sejumlah diskotek di Jakarta, Surabaya, dan dikirim ke Lampung.

Freddy sendiri mengenal Akiong dalam penyelundupan sabu. Dalam berita acara pemeriksaan Freddy sebagai saksi kasus 1,4 juta pil ekstasi itu di BNN, ia ikut mengimpor ekstasi karena masih berutang senilai Rp 5 miliar kepada Akiong dalam penyelundupan sabu.

Di lain waktu, Freddy mengaku pernah mentransfer uang hasil penjualan narkoba kepada Akiong sebesar Rp 7 miliar. Sebelumnya, ia juga berbisnis sabu-sabu dengan Akiong seberat 6 kilogram. Dari setiap kilogram sabu yang dijualnya itu, Freddy mendapat imbalan Rp 36 juta.

Transaksi narkotik yang dilakukan Freddy selanjutnya adalah pembuatan pabrik sabu di dalam LP Kelas II Narkotika, Cipinang, Jakarta, pada akhir 2012. Freddy bekerja sama dengan napi Cecep Setiawan Wijaya alias Asiong dan Haryanto Chandra serta Wakil Kepala Pengamanan LP Cipinang Gunawan Wibisono.

Naskah: Irwan Nugroho, dari berbagai sumber
Infografis: Luthfy Syahban

Pemasaran di luar LP dilakukan melalui teman Freddy, Laosan. Hasil produksi sabu ini mulai diterima Freddy pada 7-21 Juli 2013. Produksi pertama mencapai 2,1 kg. Freddy mencampurnya dengan sabu pembelian di tempat lain sebanyak 1 kg. Freddy berhasil mengantongi uang hampir Rp 2 miliar.

Terbongkarnya kasus ini justru membuat sepak terjang Freddy kian menjadi. Ia membangun pabrik ekstasi dengan bantuan adiknya, Johni Suhendra alias Latief. Ia membeli mesin pencetak ekstasi dengan modal Rp 32,5 juta di Semarang, Jawa Tengah.

Alat pembuat ekstasi ini dioperasikan di bekas pabrik garmen di Jalan Kayu Besar Nomor 20, Cengkareng, Jakarta Barat. Di samping itu, Freddy menerima kiriman ekstasi kelas super berjumlah puluhan ribu butir dari Laosan, seorang berkewarganegaraan Belanda.

Distribusi sabu racikan ini diperkirakan sudah mencapai kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bali, dan Palu. Sabu yang sudah diedarkan diperkirakan 75 ribu butir.

Kalau ada kaitannya dengan petinggi Polri, itu tentu kami telusuri. Dan dari PPATK tentu kami pilah.”

Selain mengedarkan ekstasi racikan, kawanan Freddy ini menjual narkotik jenis sabu dan narkotik kertas CC4 (C amphetamine). Sabu yang disita mencapai 800 gram dan 112 lembar CC4.

Pada April 2015, Polri menyatakan aset sementara dari bisnis haram Freddy itu mencapai Rp 80 miliar. Freddy dijadikan tersangka tindak pidana pencucian uang. Namun penelusuran transaksi dan harta-harta Freddy berjalan sangat lambat. Karena itu, perputaran uang hasil transaksi narkotik Freddy seperti menguap begitu saja.

Selain pengakuan kepada Haris, belakangan muncul dua video pendek yang berisi testimoni Freddy sebelum dieksekusi mati. Sumber detikX menyebutkan, dalam video itu Freddy menyebutkan nama seorang oknum pejabat penegak hukum yang menerima uang dari dirinya.

Video itu kembali menambah panas kuping aparat. Ketika Freddy mengungkap bisnis gelapnya yang melibatkan aparat, sekaligus setoran-setoran yang jumlahnya miliaran rupiah, BNN dan Polri melaporkan Haris atas dugaan pencemaran nama baik.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar (kiri) bersama Koordinator Kontras Haris Azhar saat memberikan pernyataan menyikapi tindak lanjut tulisan Haris Azhar tentang kesaksian Freddy Budiman di Jakarta, Rabu (10/8).
Foto: Reno Esnir/Antara Foto

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengungkapkan, lembaganya menemukan aliran dana ratusan miliar rupiah dari seorang gembong narkoba yang diduga memiliki hubungan dengan Freddy Budiman. Temuan tersebut telah diserahkan kepada BNN dan Polri.

“Datanya sudah saya serahkan berikut analisisnya. Datanya cukup tebal,” ujar Yusuf.

Namun Yusuf enggan mengungkap identitas orang yang menerima dana tersebut. Ia hanya memastikan si penerima bukan berasal dari BNN.

Polisi dan BNN sudah membentuk tim independen untuk memperdalam informasi dari Haris Azhar. Mereka sudah memeriksa banyak pihak. Ketua tim itu, Hendardi, mengaku keterangan Haris perlu diperdalam. Namun ia menegaskan komitmennya untuk mencari aparat yang benar-benar menjadi beking Freddy.

“Kalau ada kaitannya dengan petinggi Polri, itu tentu kami telusuri. Dan dari PPATK tentu kami pilah,” tuturnya kepada detikX.

Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan, video Freddy lebih banyak berisi curhat sebelum dieksekusi. Freddy merasa bersalah dan bertobat. Ia juga merasa diperlakukan tidak adil karena jaringannya yang terlibat tidak ikut dieksekusi mati.

Tentang penegak hukum penting dalam video itu, Tito mengakui ada seorang polisi yang memang disebut namanya oleh Freddy. Namun Freddy hanya mengatakan polisi itu mengetahui sepak terjang Freddy. Tidak ada aliran uang yang disinggung oleh Freddy.

“Tahu itu kan sumir sekali. Tahu apa maksudnya? Kita tidak mengerti. Tahu soal kegiatannya, jaringannya, atau bagaimana? Kalau yang tahu dia kan banyak sebetulnya,” ujar mantan Kepala Detasemen Khusus 88 ini.


Reporter: Isfari Hikmat, Bahtiar Rifai, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.