INVESTIGASI

Mencari Nenek Moyang Orang Indonesia

Seluruh kelompok etnis di Nusantara adalah migran ribuan tahun lalu. Jejak migrasi ini tertinggal dalam genetik pribumi.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Rabu, 2 November 2016

Siapa pun boleh mengaku sebagai orang Indonesia asli. Tapi penelitian keberagaman manusia yang tinggal di Nusantara justru menemukan jawaban sebaliknya. Seluruh kelompok etnis di Indonesia adalah imigran.

Setidaknya itulah hasil penelitian lembaga biologi molekuler Eijkman Institute. Staf peneliti Eijkman Institute, Gludhug Ariyo Purnomo, menyebutkan, teori migrasi manusia Nusantara ini terekam dalam tubuh. Lembaganya sudah bertahun-tahun mengambil sampel dari seluruh pelosok Nusantara.

”Jadi, kalau dikaitkan dengan keanekaragaman dan genetik, kami meneliti hubungan penyakit dengan beberapa etnis di Indonesia. Sejalan dengan itu, berkembang penelitian mengenai migrasi manusia di Indonesia,” ujarnya.

Sudah bertahun-tahun Eijkman melakukan pendataan tentang migrasi manusia menggunakan metode genetik. Metode ini dapat menelisik asal-muasal manusia dengan melihat struktur mitokondria DNA (mtDNA) dan kromosom Y.

Metode genetik ini awalnya mengandalkan mitokondria, yakni organel yang terletak di luar sel inti. Setiap mitokondria memiliki 1.122 karakter. Referensi setiap karakter inilah yang menjadi penanda muasal manusia.

Sejumlah pemuka adat bersama warga melaksanakan ritual Vunja atau persembahan syukur atas hasil panen di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Minggu (16/10).
Foto: Basri Marzuki/Antara Foto


Indonesia kaya sekali biodiversitasnya, banyak yang bisa kita kerjakan di sini, enggak usah ke mana-mana. Negara lain punya alat, teknologi, tapi tidak punya bahan biodiversitas."

“Kami bisa melihat setiap individu ada posisi SNAP, ada posisi-posisi tertentu. Jadi kita bisa lihat, ‘Oh, dia masuk haplogroup (kelompok gen) yang ini, dia masuk grup yang ini.’ Jadi teknisnya seperti itu,” tutur Gludhug.

Haplogroup ini tersebar di seluruh dunia dan dapat digolongkan berdasarkan persebaran terbanyaknya. Persamaan haplogroup menunjukkan keterkaitan genetik. Namun, untuk menentukan haplogroup mana yang lebih tua, masih diperlukan pengolahan data lebih lanjut.

Pengumpulan sampel sendiri memiliki syarat, antara lain tidak pernah melakukan perkawinan dengan warga luar selama tiga generasi ke atas. Selain itu, warga yang diambil darahnya tidak memiliki hubungan sedarah selama tiga generasi ke atas mengingat mitokondria hanya diturunkan melalui ibu. Syarat ini menentukan kemurnian genetik masing-masing sampel.

Penelitian di Kepulauan Kei dilakukan di lima desa, di antaranya Dartutu dan Waur. Sekitar 30 warga dari tiap desa diambil contoh darahnya untuk diteliti. Hasilnya, struktur mtDNA memiliki pola yang mendukung teori migrasi manusia melalui tiga gelombang.

Warga Jakarta berjalan-jalan pada saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) di Jakarta beberapa waktu  lalu. 
Foto: Hasan Alhabshy/detikcom

Desa Bena di Flores
Foto: Thinkstock

Gelombang pertama adalah migrasi dari Afrika, yang terjadi 50-70 ribu tahun yang lalu atau dikenal dengan teori Out of Africa. Pada masa ini, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan belum mencair. Daratan besar antarbenua masih terhubung.

Gelombang kedua adalah migrasi dari Asia melalui Indocina, yang terjadi sekitar 10 ribu tahun lalu. Terakhir adalah migrasi dari Formosa (Out of Taiwan), yang terjadi pada 4.000 atau 6.000 tahun lalu. Dua gelombang terakhir ini, masa es sudah lewat.

Hasil penelitian di Kepulauan Kei tersebut menunjukkan jejak migrasi ini. Secara garis besar, konstruksi mitokondria terdiri atas kombinasi haplogroup Austronesia, Melanesia (Papua), dan Austroasiatik.

Kombinasi yang sama terdapat pada mitokondria DNA hampir seluruh kelompok etnis dan suku masyarakat di Indonesia. Hanya, dominasi antara Austronesia, Melanesia, dan Austroasiatik berbeda.

Semakin ke timur wilayah Indonesia, haplogroup Melanesia (Papua) semakin dominan. Demikian pula sebaliknya.

Wanita Ugimba membawa sayur-mayur
Foto: Afif/detikTravel

Kepala suku Dani di Kampung Anemaugi
Foto: Randy/detikTravel

“Iya, komposisi dari tiga ini. Hanya, dominannya berbeda per populasi. Misal saja, di kawasan timur apa yang dominan. Semakin turun, misalnya, Austronesia masih ada, mulai sedikit Austroasiatik,” kata Gludhug.

Eijkman Institute sudah melakukan penelitian ke berbagai daerah, di antaranya Gayo, Mentawai, Orang Rimba di Jambi, Ogan di Palembang, Jawa, Sunda, Madura, Rote Ndao, Ternate, Maluku Barat, hingga Korowai.

Gludhug mengingatkan, temuan melalui metode mtDNA ini sebatas jejak pada tubuh manusia. Sedangkan proses dan sebab migrasi tidak dapat dilacak melalui metode ini.

Hasil penelitian kerja sama antara Eijkman Institute; Arizona Research Laboratories di Departemen Antropologi University of Arizona; Santa Fe Institute; dan Institute of Fundamental Sciences, Massey University, Selandia Baru; juga menunjukkan keberagaman manusia di Indonesia.

Penelitian ini dipublikasikan melalui Journal of Human Genetic edisi 24 Januari 2013. Mereka telah meneliti 2.740 orang dari 70 komunitas yang berasal dari 12 pulau berbeda. Keberagaman ini tampak dalam jenis haplogroup.

Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman Institute
Foto: dok. detikcom

Jurnal tersebut memperkirakan migrasi manusia mulai terjadi pada masa Pleistosen, yang memungkinkan manusia melakukan penjelajahan tanpa berlayar. Migrasi selanjutnya baru dilakukan dengan menyeberang lautan karena manusia mungkin sudah mengembangkan teknologi.

Temuan ini merupakan hasil yang universal. Deputi Direktur Eijkman Institute Herawati Sudoyo mengungkapkan, hubungan lintas wilayah pada masa lalu sangat dimungkinkan. Ia terlibat dalam kerja sama penelitian empat lembaga pengetahuan tersebut.

Anehnya, ketika mengkomparasikan penelusuran genetik ini dengan Madagaskar, daerah tersebut memiliki hubungan dengan Jawa, Sumatera, Nias, dan Mentawai. Keempat daerah itu menjadi nenek moyang orang Madagaskar.

Ia memperkirakan manusia perempuan asal Indonesia berlayar ke negara Benua Afrika di tepi Samudra Hindia itu sekitar 1.200 tahun lalu. Menurut Herawati, Indonesia memiliki potensi keberagaman manusia (biodiversitas) yang cukup besar.

“Indonesia kaya sekali biodiversitasnya, banyak yang bisa kita kerjakan di sini, enggak usah ke mana-mana. Sedangkan di negara lain, mereka punya alat, teknologi, tapi tidak punya bahan biodiversitas,” tuturnya.


Reporter: Ibad Durohman, Aryo Bhawono
Penulis: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.

SHARE