METROPOP

Di Balik Mendunianya Eka Kurniawan

Novel Eka pernah ditolak empat penerbit Indonesia. Ben Anderson sampai berkali-kali meyakinkan Eka bahwa novelnya layak diterbitkan di luar negeri.

Foto: Grandyos Zafna/detikcom

Senin, 9 Mei 2016

Eka Kurniawan mengenang pertemuan pada November 2007 itu hanya diisi obrolan ngalor-ngidul. Ia hanya menyuguhkan teh dalam kemasan botol di apartemennya nan mungil di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Tamu Eka-lah yang istimewa.

Ia adalah Benedict Richard O'Gorman Anderson, seorang profesor dari Cornell University. Sebelum Ben datang, staf Universitas Cornell di New York, Amerika Serikat, menghubungi Eka lewat e-mail, mengabarkan bahwa Ben akan datang ke Jakarta dan ingin menemuinya.

Novelis Cantik Itu Luka tersebut tidak merasa keberatan bertemu dengan Ben karena sudah mengenalnya sebagai pakar sejarah dan politik Indonesia. Ia menduga Ben ingin bertemu dengannya terkait penelitiannya. Tapi Ben ternyata lebih banyak mengajaknya bicara tentang buku Eka.

“Dia sudah baca dua novelku. Dia tanya-tanya kapan aku mulai nulis, bagaimana belajar sastra, gitu-gitu. Lainnya ngalor-ngidul,” kata Eka.

Buku Corat-coret di Toilet karya Eka Kurniawan
Foto: dok. Eka Kurniawan

Sejak pertemuan itu, bila datang ke Jakarta, Ben selalu mengajak Eka bertemu hingga akhirnya mereka berteman. Eka tidak menduga pertemuan dengan pria yang ia panggil Om Ben itu akan sangat berpengaruh terhadap karier kepenulisannya.

Setahun setelah pertemuan pertama itu, Ben menerjemahkan cerita pendek Eka, "Corat-coret di Toilet". Cerpen ini diterbitkan dalam jurnal Indonesia edisi 86 terbitan Cornell. Ben juga menerjemahkan cerpen Eka yang lain, "Jimat Sero", yang diterbitkan untuk jurnal Indonesia edisi 89.

Ben mengaku ingin menerjemahkan novel Eka tapi tidak sanggup, mengingat stamina yang dibutuhkan. Setiap kali bertemu dengan Eka, Ben tidak lupa mengingatkan Eka akan pentingnya menerbitkan novel-novelnya di luar negeri. Sedangkan Eka tidak yakin novel-novelnya layak diterbitkan di luar negeri. “Kurasa penting untuk meragukan karya sendiri,” kata Eka.

Eka tidak punya referensi tentang karya sastra yang diterjemahkan ke luar negeri secara masif. “Satu-satunya penulis Indonesia yang novelnya secara masif diterjemahkan di luar kan cuma Pram (Pramoedya Ananta Toer). Aku merasa masih jauh dari Pram,” kata Eka.

Namun Ben terus meyakinkan Eka. “Sebenarnya dia (Ben Anderson) membujuknya santai-santai saja. Sampai terakhir bertemu tahun 2012 juga dia sih masih santai-santai.”

Sampai akhirnya datang Tariq Ali, editor jurnal politik The New Left Review, ke Jakarta. Ia mengaku direkomendasikan oleh Ben untuk menerbitkan buku Eka. The New Left Review, yang dikenal sebagai jurnal prestisius di kalangan intelektual radikal, mempunyai penerbitan bernama Verso Books. Salah satu editor di Verso adalah Perry Anderson, yang masih keluarga Ben.

Pertemuan pertama dilakukan di restoran Jepang di Kemang, Jakarta Selatan. Tariq Ali, yang di Indonesia dikenal lewat novelnya, Shadows of the Pomegranate Tree atau Di bawah Bayang-bayang Pohon Delima, pun membujuk Eka agar menerbitkan novelnya dalam bahasa asing. Shadows of the Pomegranate Tree mendapat penghargaan dari Archbishop San Clemente del Instituto Rosalia de Castro Prize untuk fiksi bahasa asing terbaik 1994.

Benedict Anderson
Foto: File/Google

Tariq Ali
Foto: Getty Images

Tariq Ali menjelaskan Verso sudah memberi lampu hijau untuk menerbitkan buku Eka. Akhirnya Eka pun luluh. “Ya, aku pikir dalam hati mungkin bukuku layak untuk diterbitkan. Ya sudah deh, cobain,” kata Eka.

Eka kembali bertemu dengan Tariq Ali di London. Mereka makan malam di sebuah restoran Cina di Soho, dekat kantor The New Left Review. Eka lupa nama restoran itu, tapi ingat ada kutipan Mao di restoran itu. Bunyinya, “Yang tidak makan cabai tidak bisa jadi revolusioner.”

Eka tidak cuma menulis sastra, tapi juga menulis skenario sinetron."

Sebelum sampai ke restoran, Tariq Ali sempat menunjukkan apartemen yang pernah ditempati Karl Marx. “Karl Marx tinggal di sana, di apartemen tiga kamar. Ia sangat miskin.”

Dalam pertemuan kedua ini, mereka membicarakan novel yang akan Eka buat, Islam radikal, anak Eka yang akan segera masuk taman kanak-kanak, dan tentang Charles Dickens.

* * *

Eka tidak cuma menulis sastra, tapi juga menulis skenario sinetron. Hal itu dia lakukan untuk mencari uang dan ia tidak malu mengakuinya meskipun sinetron banyak dicela. “Takut kenapa? Sudah banyak kok yang tahu.”

Meskipun demi mencari uang, Eka tetap pilih-pilih soal sinetron. Ia masih akan tetap menulis skenario sinetron dengan syarat ia menemukan keasyikan. Beberapa naskah sinetron Eka disetor kepada istrinya, Ratih Kumala yang juga seorang penulis, yang bekerja di stasiun televisi.

“Kalau pas seperti itu, dia bosnya, tapi dia tidak pernah utak-atik aku. Dia posisinya sebagai orang kantoran yang bilang, ‘Ingat ya, deadline-nya hari Sabtu.' Dia mengingatkan gitu aja.”

* * *

Novel Beauty Is a Wound, yang merupakan terjemahan Cantik Itu Luka
Foto: dok. Eka Kurniawan

Man Tiger, terjemahan dari novel Lelaki Harimau 
Foto: dok. Eka Kurniawan

Menerbitkan novel Eka di luar negeri tidaklah sesulit menerbitkan novel Cantik Itu Luka di dalam negeri. Novel itu sempat ditolak oleh empat penerbit.

Suatu ketika, Eka bertemu dengan editor yang menolak menerbitkan Cantik Itu Luka. Sang editor menjelaskan alasan menolak novel itu: kurang memiliki bobot sastra.

Si editor berkata Cantik Itu Luka tidak masuk dalam kriteria dia mengenai sastra yang bagus. Menurut si editor, novel sastra yang bagus semestinya seperti novel-novel Mangunwijaya, Kuntowijoyo, dan Ahmad Tohari.

Eka mengakui belum pernah membaca karya ketiga sastrawan itu. Meski banyak membaca karya sastrawan besar dunia, satu-satunya sastrawan Indonesia yang sangat diikuti Eka adalah Pramoedya Ananta Toer. Selebihnya, penulis Indonesia yang mempengaruhi Eka adalah novelis “picisan” yang karyanya ia baca saat remaja, seperti Fredy S., Asmaraman Kho Ping Hoo, dan novelis cerita horor Abdullah Harahap. Juga Enny Arrow, penulis novel porno.

Eka membayangkan, bila menjadi penulis, ia akan menjadi penulis seperti itu, menggabungkan kisah silat dan horor dibumbui kisah percintaan yang seru. Namun tentu saja jejak para sastrawan dunia yang dibacanya, seperti Gabriel Garcia Marquez, akan ditemukan pada novelnya.

Saat menulis tokoh Sodancho dalam Cantik Itu Luka, misalnya, Eka membayangkan menulis pahlawan Supriyadi, anggota pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang hilang, dengan cara Marquez menulis tentang Jenderal Simon Bolivar dalam The General in His Labyrinth.

Ulasan soal Eka Kurniawan di surat kabar Prancis, Le Monde  
Foto: dok. Eka Kurniawan

Cantik Itu Luka kemudian diterjemahkan oleh Annie Tucker menjadi Beauty Is a Wound dan diterbitkan oleh penerbit Amerika Serikat, New Directions. “Sangat mengesankan,” puji Tariq Ali untuk buku Beauty Is a Wound.

Pada November 2015, novel ini masuk daftar 100 buku terkemuka The New York Time. Lantas, pada 22 Maret 2016, Eka diganjar penghargaan World Readers Award gara-gara buku ini.

Beauty Is a Wound dipuji sebagai novel yang gelap tapi menghibur. Novel ini disebut sebagai novel yang mencengkeram pembacanya sejak dari kalimat pertama pembukanya yang menggetarkan.

Beauty Is Wound telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa dan para kritikus menyandingkan novel ini dengan karya-karya Gabriel Garcia Marquez dan Fyodor Dostoevsky.

Novel kedua Eka, Lelaki Harimau (Man Tiger), yang diterbitkan Verso Books pada 2004, mengantarkan Eka masuk nominasi penerima Man Booker International Prize. Novel ketiga Eka, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, yang diterjemahkan menjadi Love and Vengeance, akan diluncurkan oleh penerbit New Directions (Amerika Serikat dan Kanada), Pushkin Press (Inggris), serta Text Publishing (Australia). Novel ini akan segera difilmkan dengan penulis skenario Eka sendiri.

“Aku tidak pernah menduga akan mendapat apresiasi seperti itu. Karyaku diterbitkan dan kemudian diterjemahkan saja bagi aku sudah luar biasa.”


Reporter: Ibad Durohman
Penulis/Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.