METROPOP
Kisah seorang ibu yang mendampingi putranya
yang divonis terkena kanker darah.
Pinta Manullang dan sang suami, Sabar Manullang, menangis semalaman saat diberi tahu dokter bahwa anak sulungnya, Andrew Maruli David Manullang, terkena kanker darah atau leukemia.
Anyo, panggilan Andrew, anak yang lincah. Karena itu, Pinta pun sulit percaya putranya kena penyakit berbahaya tersebut.
Anyo terkena kanker darah saat berusia 11 tahun. Saat itu tahun 2000, Pinta dan suami langsung membawa putra sulung dari tiga bersaudara itu untuk berobat. Setelah Anyo menjalani kemoterapi, dokter memutuskan melakukan tindakan transplantasi darah dari adiknya. Anyo memiliki dua adik, yakni Andri Manullang dan Abel Manullang.
Kematian itu pasti semua kita alami. Kita jangan denial walaupun kita tidak mendahului Tuhan. Mumpung anak masih ada, kita harus lakukan yang terbaik supaya tidak ada penyesalan.”
“Adiknya diambil darah induknya, lalu diberikan kepada Anyo. Itu belum bisa dilakukan di sini. Jadi kami lakukan di Amsterdam, Belanda,” kisah Pinta kepada detikX.
Awalnya, gejala yang dialami Anyo seperti orang yang sakit tifus. Ia demam, terlihat pucat, dan otot-ototnya terasa nyeri. Setelah dirujuk ke onkolog atau ahli darah, baru ketahuan Anyo menderita leukemia. Pinta, yang kakaknya meninggal akibat kanker, pun langsung menjadi depresi dan kehilangan harapan akan kesembuhan Anyo.
“Kakak saya kan meninggal karena kanker otak. Jadi, begitu dengar Anyo kena kanker, saya hopeless. Saat (Anyo) divonis kena kanker, waktu itu hari Jumat, saya dan suami nangis semalaman.”
Pinta Manullang (berbaju hijau, baris ketiga) dalam sebuah konferensi mengenai kanker di London, 2012.
Foto: dok. pribadi
Namun Anyo ternyata tetap bersemangat untuk mencari kesembuhan. Kebetulan pada saat itu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat Anyo berobat, memiliki kerja sama dengan rumah sakit di Amsterdam di Academic Medical Center. Akhirnya, pada 1 Oktober 2000, Pinta dan suami membawa Anyo berobat ke Belanda. Namun, tidak berapa lama, penyakit Anyo kambuh lagi.
“Begitu terus sampai-sampai dia enggak pernah mengalami yang namanya prom night. Jadi kelas VI SD, III SMP, III SMA selalu dia dalam keadaan sakit,” tutur Pinta sedih.
Anyo masih berusaha mencari pengobatan di negara lain. Tapi, saat ikut kongres bagi survivor klub leukemia di Berlin, Jerman, ia bertemu dengan seorang profesor dari Amerika Serikat. Anyo sempat bertanya mengenai kondisi kesehatannya kepada sang profesor.
“Lalu profesornya bilang, ‘Kalau yang di Belanda bilang seperti itu, sudah… sekarang kamu nikmati saja hidup. Enggak usah cari pengobatan lagi karena badanmu sudah resist terhadap obat.’”
Dokter memvonis usia Anyo tinggal beberapa minggu lagi. Setelah 8 tahun melawan leukemia, Anyo memutuskan pulang ke Indonesia. Dia ingin menghabiskan waktu yang tersisa bersama keluarga dan teman-temannya.
Anyo juga berinisiatif ikut kelas yoga Iyengar milik Rita Kosasih, guru yoga yang sembuh dari kanker tiroid. Anyo sadar tujuannya ikut yoga tidak untuk sembuh dari leukemia. Ia ikut kelas yoga untuk membantu kejiwaannya agar bisa tenang menghadapi kenyataan.
Pinta pun berusaha realistis. Ia berpikir mungkin ini akhir dari segala usaha yang telah Anyo dan keluarga lakukan. Ia mulai mempersiapkan segala sesuatunya bila Anyo akhirnya meninggal. Ternyata memang tidak beberapa lama, pada 7 Desember 2008, Anyo meninggal.
Setelah Anyo meninggal, Pinta mendirikan Yayasan Anyo Indonesia untuk membantu anak-anak yang menderita kanker. Pinta akan dengan ringan hati berbagi pengalaman mendampingi penderita kanker dari awal dapat vonis hingga meninggal.
“Kematian itu pasti semua kita alami. Kita jangan denial walaupun kita tidak mendahului Tuhan. Mumpung anak masih ada, kita harus lakukan yang terbaik supaya tidak ada penyesalan,” pesan Pinta.
Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.