METROPOP

Clara Ng

Yang Tak Berhenti Bertualang

Buku-buku Clara Ng dikritik kurang menyampaikan pesan moral.

Foto-foto: Rachman Haryanto/detikcom
Senin, 25 Juli 2016

Dru kesal. Sang ibu menghukum bocah perempuan bandel itu tidak boleh bermain keluar. Maka ia hanya mengurung diri di kamar. Tiba-tiba, wush…, angin bertiup kencang sehingga selendang di bahu bocah 12 tahun itu pun terbang.

Selendang itu kesayangannya. Ia pun mengejarnya. Mendadak ia melihat cahaya dan buih yang berubah menjadi kupu-kupu raksasa. Dru segera melompat ke atas kupu-kupu raksasa itu. Maka dimulailah petualangan Dru yang seru di lima kerajaan yang ajaib.

Begitulah cerita singkat Dru dan Kisah Lima Kerajaan yang ditulis Clara Ng. “Buku ini ditujukan untuk anak yang sudah mulai membaca cerita yang lebih kompleks dan paham dengan alur cerita yang agak rumit,” kata Clara ketika diwawancarai Melisa Mailoa dari detikX di rumahnya.

Tiga dari puluhan buku anak karya Clara Ng

Untuk buku ini, Clara menggandeng Renata Owen sebagai ilustrator. Clara membebaskan Renata untuk membuat ilustrasinya. Hasilnya, ilustrasi Renata banyak menuai pujian. Ilustrasi ini bahkan dipilih untuk mempercantik gerai Indonesia dalam Bologna Children Book’s Fair, gelaran buku anak terbesar di dunia.

“Dalam menulis, sering kali terjadi peristiwa di luar dugaan yang tidak direncanakan. Apa yang ilustrator hasilkan akan menjadi efek kejut sehingga kita bisa menghasilkan karya atau cerita yang lebih seru lagi,” urai Clara.

Saat mengikuti pameran buku di Bologna, Italia, buku Dru dan Kisah Lima Kerajaan diminati produser film Jepang untuk dibuatkan film animasi. Buku yang diluncurkan pada April 2016 ini juga diminati sejumlah penerbit asing untuk diterjemahkan.

Anak-anak kan juga manusia biasa. Mereka bisa merasakan perasaan kompleks yang berlapis. Mereka bisa merasakan kesedihan, kemarahan, penyesalan, putus asa."

                                                                             ***

Terlahir dengan nama Clara Regina Juana, perempuan kelahiran 28 Juli 1973 ini suka membaca sejak kecil. Kebiasaan itu memang ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Ia suka cerita petualangan dan misteri. Favoritnya adalah komik The Adventure of Tintin, buku Lima Sekawan karya Enid Bliton, dan dongeng Hans Christian Andersen.

Clara remaja tidak berpikir ingin menjadi penulis. Ia belajar di Ohio State University, Jurusan Interpersonal and Organizational Communication. Lulus pada 1997, ia sempat bekerja di Amerika selama satu tahun. Pulang ke Tanah Air, ia lantas bekerja di sebuah perusahaan pelayaran.

Video: Iswahyudi/20detik

Clara menikah dengan Nicholas Ng, warga negara Malaysia, pada tahun 2000. Ia dua kali mengalami keguguran, sehingga memutuskan berhenti kerja. Kejadian sedih inilah yang lantas menjadi dorongan kuat bagi Clara untuk menjadi penulis.

Mula-mula Clara menulis kisah dewasa. Novel pertamanya, Tujuh Musim Setahun, diterbitkan pada 2002.

“Setelah itu saya terus menulis sampai sekarang. Sekarang saya bisa seharian menulis. Urusan rumah tangga bisa saya atur berdampinganlah,” ceritanya.

Setelah banyak menghasilkan novel remaja dan dewasa, Clara lantas menulis buku anak. “Bukan beralih, hanya memperluas audiens pembaca saja,” ujar ibu dua anak ini, Elysa Ng (13) dan Catrina Ng (10).

Buku anak ini rupanya mengantarkan Clara meraih penghargaan Adikarya untuk Buku Anak Terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia. Penghargaan diterima Clara tiga kali berturut-turut. Pertama didapat pada 2006 untuk bukunya Rambut Pascal. Selanjutnya, dua tahun berturut-turut, ia meraih penghargaan yang sama untuk buku Sejuta Warna Pelangi dan Jangan Bilang Siapa-siapa.


Meski karyanya meraih penghargaan sebagai buku anak terbaik, buku Clara dikritik kurang memberikan pesan moral.

Untuk kritik ini, Clara punya alasan sendiri. Ia berprinsip tidak mau ada pesan moralitas yang tampil terang-benderang dalam buku anak yang ditulisnya. Baginya, pesan cukup disampaikan secara samar-samar.

Karena itu, menurut Clara, buku anak usia dini, untuk rentang usia 3-4 tahun, lebih baik tentang fantasi dan dongeng, bukan cerita-cerita yang realistis.

Fantasi dan dongeng mendorong anak untuk bisa berpikir di luar batasan. “Kalau anak sudah terbiasa diformulasikan dengan pakem atau aturan moral yang terstruktur dan jelas, mereka tidak bisa menjadi kreatif, tidak bisa keluar batas,” urai ibu dua anak ini.

Clara juga tidak segan mengangkat cerita dengan tema yang masih dianggap tabu untuk anak. Ia, misalnya, menceritakan perceraian orang tua dalam buku untuk anak usia di atas 7 tahun yang berjudul Bagai Bumi Berhenti Berputar.

Buku itu juga berkisah tentang perpisahan dengan sahabat, kematian, sakit, dan sebagainya. “Memangnya anak-anak selalu ceria? Anak-anak kan juga manusia biasa. Mereka bisa merasakan perasaan kompleks yang berlapis. Mereka bisa merasakan kesedihan, kemarahan, penyesalan, putus asa.”

Clara, yang sedari kecil menyukai buku petualangan, lebih suka menyuguhkan kisah petualangan dalam buku anak yang ditulisnya. Buku-buku anak yang hebat tentang petualangan juga selalu menyuguhkan semua perasaan manusia, termasuk perasaan kehilangan dan kesedihan.

* * *

Koleksi buku di ruang kerja

Clara optimistis penulis buku anak punya masa depan cerah. Terlebih, saat ini banyak toko buku bermunculan, sangat jauh berbeda dengan zaman Clara kecil dulu. “Penjualan buku saya selama ini juga enggak mengalami masalah.”

Ia yakin menjadi penulis anak tidak membuatnya kekurangan secara materi. Bila ada yang mengeluh menjadi penulis buku anak tidak bisa hidup cukup, hal itu tergantung bagaimana mengelola keuangan.

“Yang pasti, secara materi menghasilkan banyak buat saya. Saya juga bisa pergi ke luar negeri untuk acara tertentu yang berhubungan dengan buku.”


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.

SHARE