METROPOP

Tak Perlu Jenius
untuk Bikin Robot

“Ternyata di atas langit masih ada langit. Robot yang saya anggap sudah yang terbaik ternyata kalah.”

Jayanto Halim (depan, berbatik merah) saat mengikuti World Robot Games 2016 di Bandung. 
Foto: dok pribadi

Jumat, 21 Oktober 2016

Matahari belum lama muncul di ufuk timur Desa Beji, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, pada Sabtu, 8 Agustus tujuh tahun lalu. Sekelompok polisi bersenjata lengkap mengepung sebuah rumah di tengah sawah.

Suasana sangat tegang dan senyap, seolah-olah detak jantung orang di sebelah pun bisa didengar. Konon, di rumah milik Muhzahri itu, bersembunyi buron teroris yang sudah lama dicari polisi, Noor Din M. Top. Reporter stasiun televisi dari Jakarta melaporkan langsung detik demi detik pengepungan rumah Muhzahri.

Bukan operasi penyerbuan itu yang menyedot perhatian Jayanto Halim. Pemuda itu malah terkesima menyaksikan robot pengintai buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipakai polisi. Segera terlintas tekad di benak Jayanto untuk membuat robot antiteror tapi dengan spesifikasi yang lebih canggih.

“Pokoknya saya ingin buat robot seperti itu. Bukan hanya pengintai, tapi juga bisa digunakan untuk melumpuhkan target,” kata Jayanto kepada detikX. Angan-angan Jayanto mungkin terdengar mustahil. Apalagi pada waktu itu ia masih duduk di bangku SMP.

Namun tekad Jayanto membuat robot antiteror tidak lagi terbendung. Ia pun nekat merakit robot sendiri. Untungnya, ada Yohanes Kurnia, mentor ekstrakurikuler robotik di sekolah sekaligus pendiri Sekolah Robot Indonesia atau Sari Teknologi, yang ikut mengarahkan. “Beliau yang mengarahkan saya ke dunia robot sebenarnya,” kata Jayanto.

Jayanto Halim (kedua dari kanan) bersama rekannya menyabet medali emas untuk kategori Senior Inventor dalam WRMC 2010 di Singapura.
Foto: dok pribadi

VIPER-IRS meraih medali emas kategori Senior Inventor di WRMC 2010 di Jurong, Singapura.
Foto: dok pribadi

Frogbot berhasil menyabet Technical Awarddalam International Robotic Olympiad 2010 di Gold Coast, Australia.
Foto: dok pribadi

Pengembangannya sebatas kita beli modul yang lebih bagus. Jadi enggak ada kreativitasnya, mana kreasi saya?"

Jayanto Halim

Meski harus merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah, Jayanto merasa puas dengan robot yang diberi nama Very Intelligent Paired Enhanced-Robot Indonesia Robot Shooter (VIPER-IRS) ini. Robot buatan Jayanto didesain agar bisa bergerak cepat, dapat dikontrol dari jarak hingga 300 meter, dan bisa dipasangi senjata asli.

“Pada prinsipnya, robot yang saya buat harus bisa diaplikasikan, bukan cuma berfungsi sebagai mainan,” katanya. Jayanto mengirim robot rakitannya dalam lomba World Robot Masters Cup (WRMC) 2010 di Singapura. Dalam lomba tersebut, robot Jayanto bertugas menggantikan manusia dalam olimpiade tembak. Kecanggihan robot Jayanto diakui oleh para juri, ia pun berhasil menyabet medali emas.

Sebelum mengenal dunia robot, sebetulnya Jayanto berkutat dengan mainan Lego dan kendali jarak jauh. Hanya, menurut Jayanto, kedua mainan itu monoton sehingga membuatnya cepat bosan.

“Saya sampai di titik jenuh. Okelah, dengan kendali jarak jauh obyeknya bisa bergerak, tapi tidak ada pengembangannya. Karena pengembangannya sebatas kita beli modul yang lebih bagus. Jadi enggak ada kreativitasnya, mana kreasi saya?” dia menuturkan.

Jayanto bertemu dengan dunia robotika saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler robot di sekolah. Pada saat itu, ia tidak menganggap robot sebagai hobi serius. Robot tak ubahnya mainan yang dapat dirangkai dan dibongkar-pasang.

Robot beserta piagam dan medalinya
Foto: dok pribadi


Persepsinya tentang robot berubah drastis saat mengikuti ajang perlombaan Sumo Battle Robot. Robot sumo rakitan Jayanto yang terbuat dari plastik hancur lebur dihajar oleh robot sumo berpalu.

“Ternyata di atas langit masih ada langit. Robot yang saya anggap sudah yang terbaik ternyata kalah. Sejak hari itu saya belajar dan mulai membuat robot secara otodidak sampai sekarang,” dia mengenang.

Menurut Jayanto, pembuat robot bukanlah orang yang harus memiliki IQ tinggi, tidak mesti jenius. Kuncinya terletak pada minat. Orang yang tidak memiliki bakat bisa diasah asalkan mau belajar dan kerja keras. Dari kecil, Jayanto diajari bertanggung jawab secara mandiri.

Orang tuanya tak pernah ikut campur dengan nilai pelajaran di sekolah. Begitu pula saat Jayanto memilih berkuliah di TU Dresden, Jerman. Dengan subsidi dari pemerintah Jerman, Jayanto harus mempertahankan nilai dan prestasinya di jurusan mekatronika.

“Saya kuliah dari pagi sampai sore. Di waktu yang padat itu, semua materi perkuliahan selalu saya cicil. Saya juga manfaatkan waktu luang untuk mengembangkan robot,” ujar salah satu tutor di Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman ini.

Jayanto mewakili Indonesia dalam lomba robotik internasional tahunan tingkat dunia di Leipzig, Jerman.
Foto: dok pribadi

Jayanto (kanan) bersama mentornya, Yohanes Kurnia, tampil di stasiun televisi swasta.
Foto: dok pribadi

Selama di Jerman, Jayanto dan beberapa temannya juga berhasil membuat robot evakuator gempa. Robot ini berfungsi melakukan pemetaan kasar terhadap area bencana. Selain itu, robot buatan Jayanto bisa memadamkan api. Karyanya ini lagi-lagi merebut juara pertama di World Robot Games 2016 di Bandung untuk kategori Inovasi.

Meski kini menetap di Jerman, Jayanto menyatakan kesiapannya kembali ke Indonesia setelah kuliahnya tuntas. Jayanto tidak ingin Indonesia dikenal dengan berita negatif saja. Jayanto menyimpan misi untuk mengembangkan robot yang bisa diaplikasikan dan dapat digunakan di seluruh dunia.

“Teman-teman Jerman saya mengira Indonesia masih hutan dan primitif. Karena barang-barang Indonesia di Jerman itu rata-rata hasil bumi. Makanya, yang pasti, setelah lulus, saya bakal balik dan berkarya di Indonesia. Siapa tahu Indonesia juga bisa mengekspor robot ke luar negeri” kata dia, optimistis.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.

SHARE