METROPOP

HARI KANKER PAYUDARA

Satu Keluarga Lawan Dua Kanker

“Ibu saya itu orang yang paling kuat dibanding perempuan lain.”

Keluarga Mitha saat di Pulau Derawan, Kalimantan

Foto: dok pribadi

Rabu, 26 Oktober 2016

Bukan persamaan, justru perbedaan, yang menyatukan Idham Purba dengan istrinya, Mitha Purba. Dalam banyak hal, dunia Idham dan Mitha adalah dua dunia yang jauh beda.

Idham suka main sepak bola dan main kartu game Bleach, Mitha suka main bola basket dan mendaki gunung, menjelajahi rimba. Setiap kali berangkat bertualang, Mitha bisa tahan berhari-hari di gunung. Ketika Mitha turun gunung, Idham bisa melihat dengan jelas belang di kulitnya karena terpapar matahari.

Di balik penampilan Mitha yang maskulin, Idham melihat Mitha tampak manis dengan rambut panjang menjuntai. Lantaran sama-sama mengulang satu mata kuliah, dua dunia itu perlahan makin rapat. “Kami jadi sering ngobrol. Walaupun berbeda, kita nyambung. Saya juga heran sih, kok bisa sama dia,” Idham mengenang masa-masa pacarannya.

Kini sudah hampir seperempat abad Idham dan Mitha berumah tangga, melewati manis-pahit dan jatuh-bangun. Idham masih ingat bagaimana mereka menikmati betul masa-masa awal berumah tangga dan membesarkan anak. Bahkan, demi dua anak mereka, selama enam tahun Idham dan Mitha rela tidak menonton film favorit di bioskop.

Pasangan Idham-Mitha dan kedua anak mereka
Foto: dok pribadi


Kemoterapi itu enggak berat. Bahkan operasi juga enggak berat, enggak sakit.”

Namanya hidup memang tak melulu merasakan “madu”, tapi ada kalanya dipaksa menelan “jamu”, bahkan “racun”, yang sangat getir. Bagi Mitha, Idham, dan kedua anak mereka, “racun” itu bernama kanker. Bahkan tak cuma sekali, tapi mereka harus menghadapinya dua kali.

Dalam keluarga Mitha, kini 50 tahun, memang ada “bakat” kanker. Kakek buyutnya pernah terkena kanker kelenjar tiroid, sementara ibunya terkena kanker payudara. Persis enam tahun lalu, ketika Idham dan Mitha tengah menikmati masa-masa indah pernikahan, dokter memvonis ada sel kanker di kelenjar tiroid di leher Mitha.

Mitha jelas terpukul, Idham juga sama terpukulnya. “Waktu itu anak kami masih kecil. Berita itu menjadi kabar yang enggak mau kami dengar,” kata Idham. Barangkali, lantaran punya keluarga dengan riwayat kanker, Mitha cepat menerima dan bangkit kembali seusai operasi dan terapi radiasi. “Saya salut…. Mitha dengan tabah menerima dan segera move on.”

Dokter menyatakan Mitha sudah bersih dari kanker. Hidup keluarga Purba kembali seperti sediakala.

* * *

Mitha ditemani keluarga di rumah sakit
Foto: dok pribadi

Gelombang pertama cepat lewat, justru gelombang kedua datang tak disangka.

Belasan tahun tak ada jejak sel kanker di tubuh Mitha, dua tahun lalu tak diduga sel kanker itu muncul lagi di tempat lain, yakni di dua payudara Mitha. Mitha tak habis pikir. Ia sama sekali tidak paham mengapa bisa dua kali terkena kanker.

Di payudara kanan, kanker sudah mencapai stadium III dan menyebar ke kelenjar getah bening. Di payudara kiri ada beberapa benjolan stadium II dan I. “Padahal saya kira sudah bersih, saya enggak paham lagi harus bagaimana,” Mitha menuturkan beberapa hari lalu. Dia membayangkan hari-hari sangat panjang yang menguras emosi dan fisik yang bakal dilaluinya untuk membersihkan kanker dari tubuhnya.

Walaupun sama-sama sel kanker, sama-sama berbahayanya, bagi perempuan, kanker payudara bebannya lebih berat daripada kanker kelenjar tiroid. Pada kanker stadium lanjut seperti Mitha, biasanya dokter menyarankan operasi pengangkatan seluruh payudara atau mastektomi. “Untuk menerima kenyataan bahwa dia akan kehilangan bagian tubuh yang penting itu, bebannya menjadi dua kali lebih berat,” kata Idham.

Mitha sudah ikhlas menerima kenyataan dua kali terkena kanker. Tapi kehilangan dua sisi payudara tetap tak terbayangkan bagi perempuan mana pun. “Kemoterapi itu enggak berat. Bahkan operasi juga enggak berat, enggak sakit.... Cuma, begitu selesai, saya masuk kamar mandi, saya buka perban dan lihat, saya nangis,” kata Mitha.

Saya tidak melawan kanker lagi, tapi saya memilih berdamai dengan kanker.”

Tapi Mitha memang perempuan tangguh. Dia jatuh dan segera bangkit. Baginya sangat penting menjaga emosi dan pikiran positif karena kanker payudara berhubungan erat dengan hormon. Mitha tak mau berpikir panjang mengenai pengobatannya. Ia justru memilih menjalaninya dengan ikhlas.

Mitha tak ingin menjadi beban bagi keluarganya. Karena itu, sebisa mungkin dirinya menjalani kegiatan sehari-hari layaknya orang normal. Bila kemoterapi dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu, keesokannya Mitha masih menyempatkan diri mengantar anak ke sekolah dan mengerjakan urusan rumah tangga lainnya.

“Saya tidak melawan kanker lagi, tapi saya memilih berdamai dengan kanker. Karena itu, saya berusaha menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Saya coba kasih perhatian lebih buat keluarga meskipun saya sedang sakit,” ujarnya.

Foto: dok pribadi

Meski Mitha tampak tegar, sangat sulit bagi Idham untuk menyembunyikan perasaan sedihnya. Tapi, demi istri dan anak-anak mereka, dia mati-matian tidak menunjukkan emosi, baik di hadapan istri maupun kedua anaknya. Idham meluapkan perasaannya ketika ia sedang sendiri atau saat bekerja di kantor. Dia mengajak anak-anaknya bicara soal penyakit ibunya.

“Saya bilang, ‘Nak, mulai saat ini, kehidupan keluarga kita tidak sama dengan kehidupan sebelumnya. Karena kita harus menghadapi ini bersama-sama. Penyakit Mama adalah penyakit kita semua, kita harus sama-sama mendukung Mama,” kata Idham. Dia paham betul, sekuat-kuatnya orang, penderita kanker sangat butuh dukungan orang-orang terdekat.

Ada masa ketika Mitha merasa begitu kesakitan, terutama setelah menjalani rangkaian kemoterapi. Kondisi itu sudah jadi makanan sehari-hari bagi Idham. “Kalau sudah begitu, saya peluk dan elus dia. Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk menenangkan dan membuat dia merasa nyaman? Obat penahan sakit sudah semua, apa lagi yang bisa saya lakukan?” tutur Idham. 

Begitu pula saat Mitha menghadapi kebotakan akibat kemoterapi. Tidak pernah sekali pun Idham berpaling dari sosok yang dari awal telah berhasil menggugah hatinya itu. Ketika Mitha diajak nonton ke bioskop atau jalan, Idham tak segan menggandeng tangannya.

Foto: dok pribadi

Meskipun Mitha sakit, Idham tidak terlalu memanjakan istrinya. Beberapa kali ia sengaja minta dibuatkan makanan seperti mi goreng atau spaghetti. Atau menyuruhnya membawa mobil ke bengkel. Idham tidak ingin membuat istrinya merasa menjadi orang sakit yang butuh perhatian, melainkan sosok ibu bagi keluarga kecilnya.

“Ke anak juga sama. Ketika yang besar pulang ke rumah, saya bisikin, ‘Kamu minta sesuatu ke Mama supaya dia merasa dihargai.’ Dan kelihatan itu mukanya berbinar. Walaupun anaknya sudah besar, dia suka minta dimasakin. Kita anggap dia sehat dan kita beri dia perhatian,” ujarnya.

Meskipun sedang sakit, Mitha tak pernah absen menemani anak-anak dalam kegiatannya, termasuk ketika Girvandi Purba, anak bungsunya, mewakili Indonesia dalam perlombaan bisbol Asia-Pacific Regional Tournament 2014 di Filipina. Selepas kemoterapi, Mitha dan Idham terbang ke untuk menonton langsung pertandingan itu.

“Ibu saya itu orang yang paling kuat dibanding perempuan lain. Bayangkan saja, setelah pengobatan kemoterapi, Mama sengaja lihat pertandingan saya. Itu momen yang tak bisa diungkapkan pakai kata-kata,” kata Girvandi.

Kanker tak membuat hidup keluarga Idham-Mitha hancur. Meskipun sempat gamang setelah kedua payudaranya diangkat, Mitha sama sekali tidak menyesal. Tiga bulan setelah operasi pengangkatan payudara, Mitha dan keluarganya terbang dari Jakarta. Mereka tetap melanjutkan hobinya, menyelam di laut sekitar Pulau Derawan, Kalimantan. Dari Derawan, beberapa pekan kemudian, Mitha—kali ini tak disertai keluarga—kembali berkelana. Bersama beberapa teman, dia menjelajahi pedalaman Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.

SHARE