SAINS

Lawan Hama dengan Serangga

“Saya bertani juga berpikir soal biaya.... Kalau tanaman masih sehat, untuk apa disemprot?”

Ilustrasi: Thinkstock

Rabu, 6 April 2016

Orang seperti Zabidin inilah yang layak disebut “pahlawan pangan”. Puluhan tahun menjadi petani, tak terhitung kali dia terbanting dan terpelanting lantaran hasil sawah miliknya yang luasnya tak seberapa ludes disikat hama. Tapi Zabidin dan teman-temannya tak pernah menyerah menjadi petani.

“Masalah semangat sudah menjadi prinsip hidup petani.... Walaupun dalam satu tahun kena hama tiga kali, kami tetap tanam terus,” kata Zabidin, 48 tahun, petani asal Banyumas, Jawa Tengah. Di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Banyumas, Zabidin menjadi Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki 1. “Kalau bicara soal patah semangat, petani tak pernah luluh semangatnya.”

Sebagai petani, Zabidin punya musuh abadi, yakni hama tanaman. Rupa-rupa cara sudah pernah dia coba untuk membasmi hama yang memangsa tanamannya. Dulu, seperti kebanyakan petani, dia pernah sangat percaya terhadap keampuhan pestisida. Ada wereng cokelat atau ulat penggerek, tinggal semprot dengan pestisida. Makin banyak wereng, makin banyak pula insektisida disemprotkan.

Wereng tak peduli padi yang mereka lahap milik siapa. Wereng dan hama lain adalah musuh bersama petani."

Sejak 1989, menurut Y. Andi Trisyono, ahli hama tanaman dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, penggunaan pestisida terus meningkat. “Petani yang sudah ikut sekolah lapangan pengendalian hama terpadu malah kembali ke cara lama.... Mereka memakai pestisida tanpa melihat lagi apakah perlu atau tidak,” kata Profesor Andi dua pekan lalu.

Alih-alih mengusir wereng dan hama lain, pemakaian racun serangga dan sejenisnya itu secara serampangan malah jadi bumerang. Bukan cuma gagal menyingkirkan hama, tapi juga malah meracuni tanah dan tanaman. Bukannya mati, hama seperti wereng dan belalang makin tahan pestisida, hanya berpindah dari satu sawah ke sawah lain. Menurut Aunu Rauf, guru besar di Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, sudah ada sekitar 600 jenis serangga yang kebal insektisida.

Petani Banyumas, Jawa Tengah, sedang memeriksa keberadaan hama di sawah.
Foto: Melisa Mailoa/detikX

Sejak 2009, sejumlah daerah kantong pangan di Pulau Jawa bertubi-tubi diserbu wereng. Serbuan wereng cokelat kali ini bahkan lebih parah ketimbang pada pertengahan 1980-an. Gara-gara amukan wereng, produksi padi anjlok hingga 2 juta ton. Serbuan wereng, ulat penggerek batang, dan tikus jadi bukti bahwa cara-cara lama tersebut tak bisa lagi dipertahankan.

Sejak dua tahun lalu Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) bersama Kementerian Pertanian membuat proyek percontohan sekolah lapangan pengendalian hama terpadu di enam daerah yang pernah merasakan amukan wereng: Klaten dan Banyumas di Jawa Tengah, Karawang dan Indramayu di Jawa Barat, serta Bojonegoro dan Banyuwangi di Jawa Timur.

Petani India menyemprotkan pestisida.
Foto: Business Insider

Bunga kenikir sengaja ditanam sebagai rumah bagi musuh alami hama padi.
Foto: Melisa Mailoa/detikX

Menurut Profesor Andi, ketua tim ahli FAO, ada dua target utama proyek itu. Dulu, petani hanya memikirkan hama di sawah masing-masing. “Padahal masalah hama tak kenal batas administrasi,” kata Andi. Wereng tak peduli padi yang mereka lahap milik siapa. Wereng dan hama lain adalah musuh bersama petani. Dus, petani harus duduk satu meja karena masalah yang mereka hadapi sama persis.

Pestisida juga bukan lagi hal utama dalam melawan hama. Secara alamiah, dalam ekosistem, sebenarnya hama punya musuh alaminya sendiri. “Pestisida malah merusak ekosistem itu,” kata Andi. Tak hanya membunuh hama, tanpa pandang bulu, pemakaian pestisida besar-besaran juga menumpas musuh-musuh alami hama. Tanpa musuh dan pemangsa alaminya, hama berkembang biak sangat cepat.

Saat hama seperti wereng datang dan terus kembali lagi, menurut Aunu Rauf, mengganti atau menggilir jenis insektisida tidak akan menuntaskan masalah. “Petani justru akan terperangkap dalam ketergantungan terhadap pestisida,” kata Profesor Aunu. Program FAO, menurut Andi, bertujuan melestarikan musuh alami hama. Ibarat sekali mengayuh dayung dua-tiga pulau terlampaui, melestarikan musuh alami hama tak hanya untuk menekan populasi perusak tanaman itu, tapi juga untuk mengurangi pemakaian pestisida.

Ratoto, Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas, memberikan pemaparan kepada para petani.
Foto: Melisa Mailoa/detikX

“Satu laba-laba pemangsa saja bisa memakan 20 ekor wereng setiap hari,” kata Profesor Andi. Ada satu kasus di Klaten, parasitoid bisa mematikan hingga 30 persen telur wereng.

Bagaimana caranya melestarikan pemangsa hama ini?

* * *

Terselip di antara hamparan padi yang mulai menguning di Desa Pliken, Banyumas, tampak berderet-deret tanaman bunga kenikir, pacar banyu, dan pukul delapan. Deretan tanaman bunga di sepanjang pematang sawah itu tak ditanam petani di Pliken untuk membuat pemandangan lebih sedap. Tanaman itu merupakan refugia, rumah bagi musuh alami hama, baik pemangsa alias predator maupun parasitoid.

Supaya pemangsa hama bisa berkembang biak dengan baik, menurut Profesor Aunu Rauf, refugia harus berupa tanaman berbunga yang menghasilkan tepung sari dan nektar atau sari madu. Sebab, serangga predator umumnya memerlukan tepung sari, sedangkan parasitoid butuh nektar untuk berkembang.

Serangga pemakan hama padi
Foto: Hinterlandlk

Setiap kali ada wereng atau muncul ulat di batang padi, sekarang Zabidin dan petani-petani di Pliken tak buru-buru menyemprotnya dengan racun serangga. Sebelum memutuskan tindakan apa yang akan diambil, Zabidin dan anggota kelompok taninya mengamati perkembangan hama dan musuh-musuh alaminya. Setiap minggu, anggota kelompok taninya menyisir sawah bergiliran untuk memantau perkembangan hama dan pemangsanya.

Jika sebaran hama masih sedikit, Zabidin akan “memasrahkan” hama itu ditumpas oleh musuh-musuh alaminya. “Saya bertani juga berpikir soal biaya.... Kalau tanaman masih sehat, untuk apa disemprot?” kata Zabidin. Apalagi sebagian hasil panen dari sawahnya juga dikonsumsi oleh keluarganya sendiri. “Untuk konsumsi sendiri masak disemprot pestisida.”

Kini kelompok tani Zabidin dan kelompok tani yang ikut program pengendalian hama terpadu jarang sekali menyemprotkan pestisida di sawah mereka. Walhasil, mereka bisa mengirit ongkos pestisida. Dari pengurangan pemakaian pestisida saja, menurut data FAO, petani-petani di program pengendalian hama terpadu skala luas ini bisa mengirit ongkos lumayan besar.

Di Karawang, rata-rata petani bisa menghemat hampir Rp 340 ribu per hektare. Bahkan petani-petani di Bojonegoro dan Banyuwangi bisa berhemat lebih besar lagi. Mereka bisa memangkas ongkos pestisida hingga hampir 90 persen. Dulu, menurut Rohadi, 66 tahun, salah satu petani, ongkos untuk persiapan menanam padi bisa sampai Rp 2 juta per hektare. Sekarang ongkosnya cukup Rp 1,5 juta per hektare. Hasil panen mereka juga berlipat. Dari semula hanya berkisar 4-5 ton gabah per hektare menjadi 7-8 ton gabah per hektare.


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Sains mengulik penemuan-penemuan baru serta seluk-beluk sains dan teknologi.

SHARE