SAINS

MENGHIDUPKAN BINATANG YANG PUNAH

Proyek Mammoth Park

"Mungkin kita akan menyaksikan bayi gajah ‘mammoth’ itu dalam tujuh atau sepuluh tahun lagi."

Foto: Thinkstock

Selasa, 31 Mei 2016

Kurang-lebih sepuluh tahun lalu, Hendrik Poinar mendapat undangan dari salah satu juragan kaya raya di Toronto, Kanada. Di kantornya yang mewah di pusat Kota Toronto, sembari menuangkan anggur yang harga per botolnya US$ 7.000, sekitar Rp 95 juta, pengusaha tajir itu menyodorkan proyek jutaan dolar AS kepada Hendrik Poinar.

Hendrik, pengusaha itu menawarkan proposal, harus meninggalkan pekerjaannya sebagai peneliti dan Direktur di Ancient DNA Centre, Universitas McMaster, Ontario, dan bekerja sepenuhnya di proyek tersebut. Bos kaya raya itu membayangkan ada taman mammoth seluas 60 hektare di utara Kota Toronto, bak taman Jurassic yang dihuni oleh dinosaurus-dinosaurus yang telah punah dari muka bumi jutaan tahun silam.

Mammoth, kita tahu, lenyap dari bumi ini sejak ribuan tahun lampau. Fosil mammoth termuda berumur sekitar 4.000 tahun, ditemukan di Pulau Wrangel, sebelah timur daratan Siberia, Rusia. Tugas Hendrik adalah "menghidupkan" kembali mammoth. Selama tiga jam, sembari menikmati makan siang, Hendrik menjawab semua pertanyaan soal proyek taman mammoth.

Sisi kanak-kanak dalam diriku ingin menyaksikan mammoth hidup lagi, tapi sisi lebih dewasa dalam diriku bertanya-tanya, apakah kita harus mengerjakannya."

Setelah obrolan makan siang tersebut, Hendrik dan juragan kaya itu masih bertemu beberapa kali lagi membahas proyek Taman Mammoth. Sebagai peneliti, tawaran duit jutaan dolar AS untuk "menghidupkan kembali" mammoth jelas satu proposal yang sulit ditolak. "Siapa yang tak ingin melihat mammoth hidup kembali?" Hendrik menuturkan kepada majalah Discover beberapa bulan lalu.

Saat itu baru lewat beberapa bulan hasil penelitian Hendrik dimuat di jurnal sains kondang Science. Hendrik dan timnya berhasil merekonstruksi genom mammoth yang ribuan tahun terpendam di bawah tanah Siberia yang membeku. Hendrik sangat yakin bisa mendapatkan sampel DNA (asam deoksiribonukleat) dan memetakan seluruh genom kerabat gajah yang telah punah itu.

Dua peneliti mengamati Lyuba, fosil bayi mammoth, sebelum dipamerkan di Museum Natural History, London, 2014.
Foto: Rob Stothard/Getty Images

Tapi membuat Taman Mammoth tak pernah terlintas dalam pikirannya. Dengan berat hati, dia menolak tawaran juragan kaya dari Toronto itu. "Aku pikir dia tak pernah menyangka bahwa aku akan menolak tawaran duit yang sangat besar itu untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya sangat menarik," kata Hendrik.

Hendrik bukannya tak "doyan" duit. Tapi, untuk satu hal ini, yakni "menghidupkan" kembali gajah mammoth, dia tak mau tergesa-gesa. Bukan soal teknologi atau sains yang jadi soal bagi Hendrik, tapi masalah etika dan penerimaan masyarakat. Dia ingin masyarakat paham apa dan bagaimana "proyek" membangkitkan mammoth dari kepunahan.

"Sisi kanak-kanak dalam diriku ingin menyaksikan mammoth hidup lagi, tapi sisi lebih dewasa dalam diriku bertanya-tanya, apakah kita harus mengerjakannya," katanya. Proyek sains, menurut Hendrik, bukan melulu soal apa yang bisa dikerjakan oleh sains. "Jika sains bisa melakukannya, bukan berarti hal itu harus dilakukan."

* * *

Bayi mammoth yang ditemukan terkubur dalam es
Video: YouTube

Dunia sains dan Hollywood kadang memang susah disatukan. Jika kita menonton film Jurassic World, dunia dinosaurus itu terasa begitu dekat. Padahal binatang ini sudah punah jutaan tahun silam.

"Film ini hanya punya satu tujuan, jadi hiburan dan mengeruk duit sebanyak-banyaknya," kata Michael Ryan, paleontolog di Museum Natural History Cleveland, kepada Livescience. Jadi duduk saja yang nyaman di sofa dan nikmati filmnya sambil mengudap berondong jagung. "Jurassic World bukan textbook, bukan pula artikel di jurnal ilmiah," kata Kenneth Lacovara, profesor paleontologi di Universitas Drexel, Amerika Serikat.

Jangan menganggap film ini sebagai rujukan ilmiah, karena film yang dibintangi oleh Chris Pratt dan Bryce Dallas Howard ini memang bukan film dokumenter. Menghidupkan kembali dinosaurus secara teori barangkali bisa dilakukan, tapi akan sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, dikerjakan. Sebab, setelah sekian juta tahun menghilang dari muka bumi, sangat sulit mencari DNA dinosaurus yang utuh.

Tapi lain cerita dengan proyek menghidupkan kembali mammoth. Dibanding dinosaurus, kepunahan mammoth relatif belum seberapa lama. Konon, nenek moyang mammoth berasal dari Afrika. Dari Afrika, mammoth bermigrasi ke Eropa dan belakangan juga ke Benua Amerika. Sampai detik ini, para peneliti belum tahu persis apa yang menyebabkan kerabat gajah ini perlahan punah sejak 300 ribu tahun lalu.

Lyuba, fosil bayi mammoth, dipamerkan di Museum Natural History, London.

Judul Foto
Foto: Rob Stothard/Getty Images


Lantaran sebagian fosil mammoth terkubur dalam es, masih ada DNA mammoth yang utuh. Tahun lalu gabungan peneliti dari Museum Natural History, Swedia, Universitas Stockholm, Swedia, dan Universitas Harvard, Amerika, berhasil menemukan dua sampel DNA mammoth yang masih utuh dan memetakan seluruh genom mammoth, Mammuthus primigenius.

"Kami menemukan bahwa salah satu mammoth termuda yang ditemukan menunjukkan variasi genetis yang rendah," kata Love Dalen, anggota tim peneliti, dikutip situs Universitas Stockholm. Minimnya variasi genetis mammoth di Pulau Wrangel itu membuktikan makin kecilnya populasi gajah berbulu kala itu.

Pemetaan genom mammoth dan penemuan DNA itu membuka jalan untuk menghidupkan kembali keluarga gajah yang telah punah itu. "Tak ada pertanyaan bahwa hal itu bisa dilakukan.... Tapi aku tak tahu seberapa cepat hal itu bisa dikerjakan," kata Hendrik Poinar kepada CBC.

Paling tidak, menurut Beth Shapiro, profesor biologi evolusioner di Universitas California, Santa Cruz, dan penulis buku How to Clone a Mammoth: The Science of De-extinction, ada tiga cara untuk "menghidupkan kembali" mammoth. Pertama, dengan metode kloning. Inti sel yang membawa DNA mammoth disuntikkan dalam sel telur dari kerabat terdekat mammoth, yakni gajah Asia. Embrio mammoth ini dititipkan dalam kandungan gajah hingga lahir.

Lelang fosil mammoth di Summers Place Auctions, London, pada 2014
Foto: Peter Macdiarmid/Getty Images

Cara kedua, merekonstruksi genom mammoth dan menyuntikkannya ke sel embrionik gajah Asia. Embrio dengan genom mammoth ini dititipkan dalam kandungan gajah Asia betina sampai lahir. Teknik ketiga, seperti yang dilakukan oleh George Church dan tim dari Universitas Harvard, dengan menggunakan metode CRISPR Cas 9.

George memilih beberapa gen mammoth yang diduga membawa sifat khas gajah berbulu itu—misalnya tahan udara dingin dan berbulu lebat—dan menanamnya di tubuh gajah Asia. Hasilnya memang bukan mammoth seutuhnya, melainkan gajah Asia dengan karakter mammoth. "Mungkin kita akan menyaksikan bayi gajah itu dalam tujuh atau sepuluh tahun lagi," kata George kepada Huffington Post beberapa bulan lalu.

Di atas kertas, menghidupkan mammoth tak ada masalah. Tapi kenyataan tak segampang dan segamblang "teori". Ada banyak sekali ketidakpastian dalam setiap metode. Sekarang ada dua "kubu" ilmuwan dalam soal proyek mammoth. Satu "kubu" adalah George Church, Insung Hwang dari Yayasan Riset Sooam Biotech, Korea Selatan, Akira Iritani dari Universitas Kyoto, Jepang, dan para peneliti di Yayasan Long Now.

Mereka inilah kubu yang paling bersemangat "menghidupkan" kembali mammoth. Proyek Mammoth, menurut George Church, tak hanya soal menghidupkan kembali gajah berbulu itu. Tapi juga memberi kemampuan kepada gajah Asia untuk beradaptasi di lingkungan baru, lingkungan yang lebih bersahabat dengan habitat mereka.

Tapi, di seberang, ada sejumlah ilmuwan yang ragu terhadap manfaat proyek mammoth. Mereka juga menilai ada sejumlah etika yang akan dilanggar oleh proyek itu. Di antara ilmuwan ini adalah Love Dalen dari Swedia, Terri Herridge dari Museum Natural History, London, juga Stuart Pimm dari Universitas Duke, Amerika Serikat.

Petugas dari Denver Museum of Nature & Science, Colorado, membersihkan gading mammoth pada 2002.
Foto: Tom Cooper/Getty Images

Proyek kloning mammoth, menurut Love Dalen, perlu uji berulang kali dengan meminjam rahim gajah Asia betina. "Dari sisi etika, hal ini tak bisa dibenarkan," kata Dalen kepada BBC. Stuart Pimm bersuara lebih lantang lagi. Proyek mammoth, menurut Profesor Stuart, hanyalah "jualan" beberapa ilmuwan untuk menggaet dana penelitian dengan kedok untuk menyelamatkan lingkungan.

"Proyek de-extinction lebih buruk ketimbang sampah," Stuart menulis di National Geographic. Ada banyak sekali pertanyaan belum sepenuhnya terjawab sebelum bayi mammoth itu benar-benar lahir di muka bumi. "Di mana kita akan menaruh dia?" Belum lagi, menurut Beth Shapiro, sama seperti saudaranya, gajah Asia, besar kemungkinan mammoth juga binatang sosial yang hidup dalam kawanan. Lalu siapa yang akan jadi temannya?


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Sains mengulik penemuan-penemuan baru serta seluk-beluk sains dan teknologi.

SHARE