INTERMESO

Kisah Sitti Nurbaya
ala Amerika

“Aku tahu, aku tak akan bilang tidak. Itu merupakan kehendak Tuhan. Dia sudah bersabda.”

Foto: West Midland Police

Rabu, 21 September 2016

Hampir seabad silam, Marah Rusli menuliskan kisah Sitti Nurbaya dalam novelnya, Kasih Tak Sampai. Sitti, dikisahkan dalam novel itu, terpaksa mengakhiri kisah cintanya dengan Samsul Bahri.

Dengan berat hati, demi melunasi utang ayahnya, gadis itu menikah dengan saudagar tua, Datuk Meringgih. Alkisah, hidup Sitti berakhir tragis. Perempuan Minang itu mati diracun suami yang tak pernah disukainya.

Seabad setelah kisah Sitti Nurbaya, bukan di Minang, melainkan di Amerika Serikat, tak sedikit gadis yang bernasib seperti Sitti. Nina van Harn tumbuh besar di ladang pertanian di Michigan dalam lingkungan keluarga Kristen yang sangat ketat. Suatu hari, Nina mencatat dalam buku hariannya.

“Kalian tak akan bisa menebak apa yang terjadi hari ini…. Pagi ini, ayah mendudukkan Naomi dan aku di bangku makan dan memberiku banyak hadiah. Ayah mengatakan telah menemukan calon jodoh untuk kami,” Nina, seperti dikutip PBS, menulis dalam buku hariannya bertahun-tahun silam. Kala itu Nina baru beranjak remaja.

Kalian tak ingin berumur 20 tahun dan masih seorang perawan…. Itu seperti hukuman mati bagimu.”

Di komunitas tersebut, bukan hal tak lazim para orang tua mencarikan jodoh untuk anak-anak gadisnya. Dan bagi Nina serta adiknya, melawan kehendak orang tua, termasuk dalam urusan jodoh, merupakan satu dosa. “Aku tahu, aku tak akan bilang tidak. Itu merupakan kehendak Tuhan. Dia sudah bersabda,” kata Nina beberapa pekan lalu.

Ketika usia Nina menginjak 19 tahun, perjodohan itu akhirnya bermuara ke pelaminan. Gadis itu grogi berat menghadapi hari pernikahannya. “Bahkan aku tak ingat untuk tersenyum dan memperlihatkan wajah bahagia,” dia menuturkan. Tanpa cinta, rumah tangga Nina dengan suaminya seperti sayur tak bergaram. Hambar dan dingin.

Foto: Ethan Miller/Getty Images

Kehadiran tiga anak tak mampu menghangatkan rumah mereka. Ketaatan Nina pada kehendak orang tuanya juga tak mampu merekatkan hubungannya dengan suami pilihan mereka. Sekian tahun berumah tangga, akhirnya Nina memutuskan berpisah dari suaminya. Satu keputusan penuh risiko.

Tak hanya berpisah dari suami, Nina juga “bercerai” dengan keluarga dan komunitasnya. Mereka tak bisa menerima keputusan Nina. Sejak hari itu, keluarga Nina tak pernah lagi berhubungan dengannya. “Apa yang aku lakukan membuat hatiku sakit…. Tapi tetap tinggal dalam perkawinan jauh lebih menakutkan daripada meninggalkannya,” kata Nina.

Kini Nina tinggal bersama tiga anaknya di kota lain. Dia punya pekerjaan yang baik dan punya “keluarga” baru, yakni teman-teman yang dia temukan di rumah barunya. “Kami saling membantu mengatasi rupa-rupa masalah. Ini keluargaku sekarang,” kata dia.

* * *

Tak di keluarga Jawa, tak di komunitas Minang, tak di India, tidak pula di Amerika dan Inggris, selalu ada kasus kawin paksa. Pernikahan paksa tak kenal tempat dan agama. Gadis-gadis yang menjadi korbannya bisa seorang muslimah, pemeluk Kristen, Yahudi, atau seorang Hindu.

Foto: The Conversation

Fraidy Reiss dibesarkan dalam keluarga Yahudi Ortodoks di Brooklyn, Kota New York, kota yang jadi jantung industri keuangan dunia. Persis 20 tahun lalu, lewat seorang makcomblang di komunitas Yahudi dan atas kehendak orang tuanya, Fraidy, kala itu baru 19 tahun, menikah dengan laki-laki yang nyaris tak dia kenal.

“Sepanjang hidupku, orang-orang selalu memberi tahuku ini tindakan yang benar, ini laki-laki yang baik dan dia jodoh yang sempurna untukku,” kata Fraidy, kini 39 tahun, kepada PRI. Dia tak seperti tinggal di Kota New York, tapi di belahan dunia lain yang menganggap seorang perempuan harus buru-buru menikah. “Kalian tak ingin berumur 20 tahun dan masih seorang perawan…. Itu seperti hukuman mati bagimu.”

Tapi hanya sepekan setelah menikah, dia segera tahu bahwa laki-laki yang jadi suaminya bukanlah jodoh yang “sempurna” seperti yang dibilang orang tuanya. Laki-laki itu punya sumbu yang sangat pendek. Dia gampang sekali meledak hanya lantaran hal-hal sepele.

Sepekan setelah menikah, suami Fraidy mengamuk hanya karena bangun kesiangan. “Dia tampak sangat marah. Dia terus meneriakkan sumpah serapah, sampai akhirnya memukulkan kepalannya ke dinding,” Fraidy menuturkan. Gadis itu mengkerut ketakutan.

Semula hanya tembok yang jadi pelampiasan amarah suaminya. Tapi lama-lama, ancaman kekerasan fisik juga mengarah kepada Fraidy. Usia pernikahan itu hanya berumur delapan tahun. Fraidy menggugat cerai dan meminta pengadilan menjauhkan suaminya dari dia. Fraidy juga sempat meminta perlindungan dari para tetua di komunitas Yahudi.

Foto: Joe Raedle/Getty Images

“Tapi rabi itu malah menyarankan aku mencabut permintaan jaga jarak dari pengadilan,” ujar Fraidy. Keluarganya pun tak banyak membantu. Ibunya hanya membisu saat dia menceritakan apa yang dia alami. “Aku sadar bahwa aku harus melewati kondisi itu sendirian.”

Menurut data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF), ada jutaan anak di bawah umur, sebelum 18 tahun, yang dipaksa menikah. Tak seperti Inggris yang sejak beberapa tahun lalu punya undang-undang antiperkawinan paksa, sebagian besar negara bagian di Amerika relatif longgar dalam soal perkawinan di bawah umur.

Rata-rata negara bagian di Amerika mengizinkan gadis atau laki-laki yang belum berumur 18 tahun menikah sepanjang ada persetujuan dari orang tua mereka. Bahkan di sejumlah negara bagian, seperti New York dan Virginia, anak-anak yang belum berumur 16 tahun pun boleh menikah jika mendapatkan izin dari pengadilan.

Celah aturan itulah yang dimanfaatkan untuk memaksa gadis-gadis di bawah umur untuk menikah. Dari 1995 hingga 2012, ada 3.481 kasus pernikahan paksa dilaporkan di Negara Bagian New Jersey. Lebih dari 90 persen kasus itu melibatkan gadis yang belum dewasa atau di bawah 18 tahun.


Foto: Joe Raedle/Getty Images

Di Negara Bagian New York, dari tahun 2000 hingga 2010, ada 3.853 pernikahan yang melibatkan remaja di bawah umur. “Data-data itu mestinya akan membunyikan alarm, bukan malah menggemakan lonceng pernikahan,” kata Jeanne Smoot, aktivis perlindungan perempuan di Tahrih Justice Center, kepada WTOP.

Naila Amin lahir di Attock, Provinsi Punjab, Pakistan, tapi tumbuh besar di Kota New York. Kecuali warna kulit, mata, dan rambutnya, Naila adalah anak Amerika. Hidungnya ditindik dan dia berganti pacar seperti halnya remaja lain di New York. Tapi orang tuanya tetap orang Pakistan yang masih setia dengan tradisi Pashtunwali dari kampung halaman.

Saat Naila berumur 8 tahun, orang tuanya sudah memilihkan calon suami untuknya. Tariq, calon suami Naila, tinggal di Pakistan dan 13 tahun lebih tua dari gadis kecil itu. Ketika umur Naila sudah 13 tahun, perjodohan itu diresmikan ke dalam pernikahan. Naila, yang baru kenal dunia remaja, telah menyandang status sebagai istri.

Dasar masih kanak-kanak, status itu tak dianggap serius oleh Naila. Dia tetap berpacaran dengan remaja lain di New York. Ulahnya bikin murka keluarga. “Aku berkelahi secara fisik dengan orang tuaku,” Naila menuturkan kepada Reuters. Luka memar di wajahnya membuat Dinas Perlindungan Anak New York turun tangan dan membawa Naila ke panti perlindungan lembaga itu.

Foto: Isaac Brekken/Getty Images

Gadis itu sempat beberapa bulan tinggal di panti, sampai akhirnya kabur dan pulang ke rumah lantaran tak betah. Pada akhir 2005, orang tuanya mengirim Naila terbang ke kampung halaman di Pakistan dan diminta tinggal dengan “suami”-nya, Tariq. “Itulah hari di mana sebagian dariku mati untuk selamanya,” kata Naila.

Naila terus menerus menolak “berhubungan” dengan suaminya. Bagi keluarga suaminya, hal itu merupakan satu penghinaan. Akhirnya sang ayah tahu dan turun tangan. Bersama menantunya, ayah Naila menghajar putrinya sendiri di depan keluarga besar mereka.

Naila terselamatkan berkat pertolongan pamannya. Dinas Perlindungan Anak New York membawa Naila pulang kembali ke Amerika. Dia tak pernah melupakan hari dia terbangun kembali di New York. “Itulah hari paling bahagia dalam hidupku.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE