INTERMESO

Duka Kawin Paksa
di Inggris Raya

“Budaya itu sudah usang, salah, dan harus dihentikan…. Ini bukan soal tak menghargai budaya.”

Foto: Isaac Brekken/Getty Images

Rabu, 21 September 2016

Larik demi larik puisi itu terdengar pedih dan memilukan. Penulisnya seorang gadis remaja keturunan Pakistan, Shafilea Iftikhar Ahmed.


I don't pretend like we're the perfect family no more

Desire to live is burning

My stomach is burning

But all they think about is honour

Kedua orang tua Shafilea merupakan imigran asal Gujrat, Provinsi Punjab, Pakistan, tapi gadis itu lahir dan tumbuh besar di Inggris. Kendati orang tuanya masih memegang teguh rupa-rupa adat dari Gujrat, Shafilea adalah gadis Inggris. Dia punya cita-cita menjadi seorang jaksa.

Aku membenci mereka, tapi juga mencintai mereka.”

Tapi Shafilea mati muda. Saat mayatnya ditemukan mengapung di Sungai Kent, Cumbria, pada Februari 2004, umurnya baru 17 tahun. Dia tewas dibunuh. Pembunuhnya kedua orang tuanya sendiri, Iftikhar Ahmed dan Firzana Ahmed. Setelah melewati investigasi panjang, pada Agustus 2012 majelis hakim Pengadilan Chester Crown menghukum kedua orang tua Shafilea minimum 25 tahun penjara.

Di mata teman-temannya di Warrington, Cheshire, Inggris, Shafilea merupakan gadis periang. Dia gampang sekali tertawa. Tapi di rumah, Shafilea terjepit di antara dua budaya, adat dari Gujrat dan budaya Barat. Alesha Ahmed, adik perempuan Shafilea, menuturkan kepada BBC, orang tuanya tak suka anak-anaknya mengenakan kaus atau celana jins. Mereka tak senang dengan selera musik Barat anak-anak perempuannya. “Orang tuaku juga curiga Shafilea banyak bergaul dengan laki-laki,” kata Alesha.

Nadia Menaz, korban kawin paksa
Foto : ThePool

Pada awal 2003, Shafilea dan keluarganya mudik ke Pakistan. Kepada anak-anaknya, Firzana mengatakan mereka hanya pergi berlibur. Ternyata di sana sudah menunggu calon jodoh untuk Shafilea, laki-laki yang asing baginya. Di depan anggota keluarga besarnya, Firzana menyampaikan bahwa Shafilea tak akan pulang kembali ke Inggris. Dia akan menetap di Pakistan dengan suami yang baru dikenalnya.

Cemas dipaksa menikah dan sedih tak akan pulang ke Inggris, Shafilea memilih jalan pintas. Dia menenggak cairan pemutih di kamar mandi. Kali itu nyawa gadis itu masih terselamatkan. Tapi hubungan Shafilea dengan kedua orang tuanya makin buruk. “Aku terperangkap, sangat terperangkap,” dia menulis dalam puisinya. Pikiran untuk kembali bunuh diri berulang kali terlintas. “Aku mestinya bunuh diri saja…. Aku lebih baik mati.”

Suatu sore pada September 2003, Shafilea pulang dari kerja paruh waktu. Ayah dan ibunya marah besar melihat gadis itu hanya pulang mengenakan kaus. Itulah hari terakhir dalam hidup Shafilea. Alesha dan adik-adiknya menjadi saksi bagaimana ayah dan ibu mereka menganiaya kakak sulung mereka itu sampai mati. “Selesaikan saja di sini,” Alesha di pengadilan mengutip perkataan ibunya kepada sang ayah saat membunuh Shafilea.

Perjodohan paksa itu membawa sengsara untuk semuanya.

* * *

Foto : Joe Raedle/Getty Images

Siapa bilang bahwa perjodohan dan perkawinan paksa hanya milik masa lalu dan negara-negara yang belum maju?

Di Amerika Serikat, setiap tahun ada ribuan anak-anak, sebagian besar perempuan, yang dipaksa naik ke pelaminan. Demikian pula di Inggris. Tak seperti Amerika, yang tak punya aturan khusus soal perkawinan paksa, sejak dua tahun lalu Inggris memberlakukan undang-undang antiperkawinan paksa.

Namun peraturan tak membuat kawin paksa hilang dari Kerajaan Inggris. Tahun lalu, ada 1.220 kasus pernikahan paksa yang dilaporkan ke Unit Pernikahan Paksa (FMU), lembaga yang berwenang menangani kasus pernikahan paksa. Sepertiga dari kasus itu melibatkan mempelai di bawah umur atau berusia kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa korban yang belum melewati umur 10

Mak Chisthy, Komandan Unit Pernikahan Paksa di Kepolisian London, menduga, angka pernikahan paksa yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan ke FMU. Tak setiap korban pernikahan paksa atau keluarganya bersedia melaporkan apa yang terjadi pada mereka. tahun.


Shafilea Ahmed, korban pernikahan paksa
Foto : Karmanirvana

“Aku mengimbau Anda semua, juga teman, keluarga, dan para guru, untuk berbicara dan melaporkan kepada polisi sehingga kami bisa membantu,” kata Mak dikutip Guardian beberapa pekan lalu. Menurut polisi muslim ini, pernikahan paksa merupakan budaya yang keliru. “Budaya itu sudah usang, salah, dan harus dihentikan…. Ini bukan soal tak menghargai budaya. Aku sendiri seorang keturunan muslim Pakistan.”

Pernikahan paksa tanpa cinta tak hanya mengabaikan perasaan korban, bahkan tak sedikit yang berakhir tragis seperti Shafilea. Persis setahun lalu, fotomodel Nadia Menaz, 24 tahun, ditemukan tewas tergantung di apartemennya di Oldham, Manchester. Lima bulan sebelum menggantung diri, Nadia meminta perlindungan kepada pengadilan lantaran dipaksa menikah oleh keluarganya.

Sajida, bukan nama sebenarnya, baru berumur 16 tahun saat dibawa pulang ke kampung halaman orang tuanya di Pakistan dan dipaksa menikah dengan seorang laki-laki yang tak dikenalnya. Demi pernikahan kelewat dini ini, Sajida meninggalkan sekolah dan teman-temannya di Inggris.

Menurut Sajida, ayahnya sebenarnya berat hati memasrahkan anak perempuannya. “Tapi aku tahu dia ada di bawah tekanan sangat besar dari keluarga dan terlalu lemah untuk melawannya, bahkan demi anak perempuannya sendiri sekalipun,” kata Sajida kepada Independent.

Iftikhar Ahmed dan Firzana Ahmed
Foto : WarringtonGuardian

Selama 13 tahun, dia hidup bersama suaminya yang begitu ringan tangan menganiaya dia, bahkan saat dia tengah hamil sekalipun. Keluarga suaminya juga memperlakukan dia seperti pembantu rumah tangga. Tak tahan dengan kelakuan suaminya, Sajida kabur bersama empat anaknya yang masih kecil. “Ini tak ada hubungannya dengan Islam…. Ini adalah budaya yang dibuat oleh laki-laki untuk bertindak semau mereka,” kata Sajida.

Ada banyak Sajida di luar sana. Sebagian berhasil lari, sebagian lainnya terperangkap dalam pernikahan paksa seumur hidupnya. “Sejak masih kecil, aku paham bahwa seorang perempuan harus menikah sedini mungkin. Kami harus menerimanya…. Pendidikan bukan hal penting dalam keluargaku,” kata Zara, ibu dua anak, kepada Mirror. Sama sialnya dengan Sajida, Zara dipilihkan jodoh seorang laki-laki yang enteng tangan kepada istrinya. 

Agar lepas dari “neraka” rumah tangga, sejak lama Zara merencanakan pelariannya dari suami dan keluarganya sendiri. “Aku menghapus semua catatan di komputer, ambil paspor, angkat tas, kabur, dan melapor ke FMU,” kata dia. Kini Zara hidup sendiri bersama anak-anaknya, tanpa kontak dengan “suami” maupun ayah-ibunya sendiri. “Aku membenci mereka, tapi juga mencintai mereka,” kata Zara soal keluarganya.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE