INTERMESO

Jenderal Minang Jadi Panglima Pasukan PBB

Rais Abin menjadi satu-satunya jenderal dari Indonesia yang pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB. Sempat ditolak Israel.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 31 Maret 2018

Permainan tenis dua jenderal itu terhenti saat seorang ajudan tergopoh-gopoh memberi tahu ada telepon penting dari Jakarta. Mayor Jenderal Himawan Sutanto, Panglima Kodam Siliwangi, meminta rekan tandingnya, Brigadir Jenderal Rais Abin, menunggu sejenak. Rupanya Mayor Jenderal Soesilo Soedarman, yang juga ipar Himawan, berada di ujung telepon.

Bukan persoalan keluarga yang diomongkan Soesilo. Jenderal Soesilo justru berbicara masalah pekerjaan. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Jenderal Maraden Panggabean menugaskannya mencari calon yang cocok untuk memangku jabatan Kepala Staf United Nation Emergency Force (UNEF) II di Sinai, Mesir. Kepada Himawan, Asisten Pembinaan Personel Menhankam/Pangab itu mengaku sudah pontang-panting mencari calon yang tepat tapi belum mendapatkannya juga.

Saat itu awal Desember 1975, sementara calon yang terpilih harus sudah ada di Timur Tengah paling lambat akhir Desember. Pasalnya, awal Januari 1976, akan dilangsungkan serah-terima jabatan. Tanpa pikir panjang, Himawan menyodorkan nama Rais Abin, yang masih menunggunya di lapangan tenis. Rais saat itu menjabat Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.

Himawan memanggil Rais, dan menyerahkan gagang telepon. Dari ujung sana, Soesilo langsung bicara, "Saya sudah bikin daftar nama enam orang di sini. Tapi kelihatannya bakal kamu ini." Kepada Rais, Soesilo menyebut penugasannya hanya satu tahun. Jenderal Panggabean akhirnya memilih Rais. Maka berangkatlah dia ke Mesir.

Kendati mendapat pos penugasan yang terhormat, Rais tak terlalu bahagia mendengar kabar itu. "Saya pikir lebih baik di Seskoad, bisa sebagai guru maupun pelatih," ujar Rais Abin kepada detikX di kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Jakarta, Selasa, 27 Maret 2018.

Rais Abin masih bersemangat menjalankan roda organisasi LVRI. Meski usianya sudah menjelang 92 tahun, ia menyeduh sendiri kopi dalam cangkir besar berwarna hijau untuk menemaninya berbincang dengan detikX. Sesekali, di sela-sela percakapan, tangannya meraih cangkir di depannya, kemudian menyeruput kopinya sedikit demi sedikit.

Sama seperti remaja lainnya yang ingin melanjutkan sekolah, Rais harus merantau meninggalkan Koto Gadang, kampung kecil yang tenang di kaki Gunung Singgalang. Waktu itu usianya 14 tahun. Ia sudah lulus ujian masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Namun ayahnya, Abin Sutan Mangkuto, tak punya cukup uang untuk membayar biaya sekolah. "Atas pertimbangan keluarga, saya dimasukkan ke Landbouw School atau sekolah pertanian di Sukabumi," ujar Rais.

Rais Abin saat masih memegang jabatan Kepala Staf UNEF II, duduk bersama atasannya Panglima UNEF II Bengt Liljestrand dari Swedia.
Foto: dok. pribadi

Rais ditemani sepupunya, Mishar, seorang guru sekolah dasar. "Hari itu sangat bersejarah, untuk pertama kalinya saya belajar pakai sepatu," katanya. Berbekal segulung tikar, selimut tua, dan koper pakaian, mereka menuju Sukabumi naik kapal dari Teluk Bayur yang mengarah ke Batavia. Landbouw School baru dibuka pada 1940, dan dikelola yayasan Stiching Rubber Fonds. Pendirinya para pemilik perkebunan di Hindia Belanda.

Saat menerima ijazah pada awal 1943, Rais langsung ditempatkan sebagai asisten pengawas di perkebunan karet Cikumpay, Purwakarta. Tugasnya mengawasi pekerja menakik pohon karet. Letak perkebunan yang terpencil membuat berita-berita terlambat diketahui, termasuk kabar kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. "Di kebun kami tak tahu apa-apa," ujar Rais. Pada masa revolusi itu, Rais memutuskan menjadi anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). "Tujuannya agar situasi perkebunan tidak semakin kacau."

Mondar-mandir ke Cikampek untuk bertemu dengan pimpinan Pesindo, suatu ketika Rais berjumpa dengan seorang pegawai kereta api bersenjata di stasiun. Pemuda itu punya banyak informasi terkait situasi perjuangan. "Pemuda itu pulalah yang merekomendasikan agar saya melihat Yogyakarta," ujar Rais. Pada September 1945, Rais bertolak ke Kota Yogyakarta. Dua bulan kemudian, ia kembali. Bukan untuk kembali bekerja, tapi justru minta berhenti. Hatinya sudah mantap memilih Yogyakarta sebagai medan perjuangan.

Sampai di Yogya, Rais bertemu dengan sejumlah pemuda. Ia berkawan dekat dengan Satar, ayah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Sutopo, dan Abubakar Dalimunthe. Ketika ada pengumuman perekrutan di Markas Besar Tentara, mereka ikut mendaftar. "Saya ditanya soal minat, saya jawab tertarik masalah luar negeri," katanya. Tiga hari kemudian, ia mendapat kabar ditunjuk sebagai intel untuk operasi penyelundupan senjata menembus blokade Belanda.

Selama lima bulan Rais menjalani kursus dasar intelijen serta pengenalan daerah Singapura dan Semenanjung Malaya. Setelah resmi menyandang pangkat sersan kader, instruksi penugasan datang. Mereka dikirim ke daerah Tegal. Di sana sudah menunggu sebuah perahu pinisi kecil berukuran 6 meter. Awaknya orang-orang dari suku Bugis. Mereka diperintahkan berlayar menuju Palembang untuk bertemu dengan Gubernur Militer Adnan Kapau Gani. "Dokter Gani yang menyiapkan logistik untuk operasi," ujar Rais.

Markas Besar Tentara membeli empat kapal bekas Perang Dunia II milik Angkatan Laut Inggris. Kapal tadi lalu disulap menjadi kapal pengangkut barang. Status Rais pun naik menjadi letnan dua. Pelaut John Lie, yang bergabung dengan Angkatan Laut, mengepalai salah satu kapal bernomor lambung 833 dengan tujuan operasi Aceh. "John Lie yang paling berpengalaman karena dia bekas pelaut perusahaan pelayaran Belanda KPM," kata Rais. Sedangkan kapal yang dipimpin Rais bernomor 851, beroperasi di Tembilahan, Riau. "Kami beroperasi sekali dalam dua minggu."

Rais Abin satu panggung dengan Mayor Jenderal Erskine dari Ghana, Kepala Staf UNEF II yang digantikannya
Foto: dok. pribadi

Percuma kalau Israel belum ikhlas, saya tak bisa bekerja.”

Letnan Jenderal (Purnawirawan) Rais Abin, mantan Panglima UNEF II

Hasil bumi yang mereka bawa dari Sumatera ditukar dengan senjata, peluru, alat komunikasi, dan obat-obatan. Sampai suatu saat nasib apes menimpa tim Rais. Misi mereka tertangkap basah patroli Belanda di dekat Pulau Bintan pada akhir 1948. Mereka akhirnya menjadi tawanan perang selama satu tahun lebih di Gunung Kijang, Pulau Bintan.

Setelah perundingan Roem-Roijen pada Mei 1949, Rais dibebaskan dan diterbangkan ke Jakarta. Rais akhirnya ditugaskan Markas Besar Angkatan Darat di Tanjung Pinang, mengurus personalia dan pembekalan. Pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi letnan satu. Setelah berpindah tugas ke banyak tempat, juga sempat menjalani pendidikan di luar negeri, akhirnya Rais mendapatkan bintang satu setelah ditunjuk menjadi Wakil Komandan Seskoad.

* * *

Pada 26 Maret 39 tahun lalu, Israel dan Mesir sepakat mengakhiri perang. Pada hari itu, di Gedung Putih, Washington, DC, Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, disaksikan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, membubuhkan tanda tangan di atas perjanjian perdamaian. Sedikit-banyak, Rais Abin punya peran dalam perdamaian itu.

Meski semula kurang happy dengan penugasan itu, Rais Abin tak dapat menolak perintah atasan. Empat hari sebelum Natal 1975, Rais dipanggil menghadap Wakil Pangab Jenderal Surono. Ia langsung bertanya, "Bagaimana dengan pembekalan saya? Bahan apa yang dapat saya peroleh untuk tugas baru ini?" Surono saat itu baru saja berkunjung ke Mesir menjenguk kontingen Indonesia.

Jawaban yang diterima Rais dari atasannya itu justru keluhan. "Hati-hati di sana. Saya ditipu orang Mesir, katanya di titik ini menang, di titik sana menang. Saya cek ulang ke Atase Pertahanan, rupanya itu titik-titik mereka dihantam oleh Israel," ujar Rais menirukan jawaban Surono.

Ia kemudian diminta menghadap Deputi Operasi Pangab Marsekal Madya Sudarmono. Tapi Rais tetap tak memperoleh informasi yang lengkap. Tepat pada 25 Desember, Rais terbang ke Kairo dengan bekal informasi seadanya. Ia menempuh belasan jam penerbangan dengan transit di Singapura, dan berganti pesawat di Bangkok. Musim dingin menyambutnya di Kairo.

Memeriksa pasukan dari kontingen Kanada di Ismailia
Foto: dok. pribadi

Pada 6 Oktober 1973 siang, tepat pukul 14.00, hampir 200 pesawat tempur Mesir terbang gelombang demi gelombang menyerbu pelbagai target strategis di wilayah Israel. Serangan itulah yang menjadi pembuka Perang Yom Kippur antara Israel dan gabungan tentara Mesir-Suriah, yang disokong sejumlah negara Arab, seperti Arab Saudi, Yordania, dan Irak.

Selama hampir tiga pekan perang berkecamuk hingga akhirnya, atas tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tercapai gencatan senjata pada 25 Oktober 1973. Untuk mengawal gencatan senjata itulah pasukan perdamaian UNEF II diterjunkan. Ada 14 negara mengirimkan prajurit untuk bergabung dengan UNEF II, di antaranya Indonesia, India, Australia, dan Kanada.

Markas Besar UNEF II terletak di Ismailiyah, sebuah kota di tepi Sungai Nil, sekitar 140 kilometer dari Kairo. Menurut rencana, Rais akan menerima jabatan dari Mayor Jenderal Erskine pada 2 Januari. Erskine mendapat penugasan baru di Yerusalem. "Saya bertugas mengkoordinasikan para asisten bidang logistik, operasi, kesehatan, komunikasi, perhubungan udara, dan personalia," kata Rais.

Panglima UNEF II waktu itu Letnan Jenderal Bengt Liljestrand dari Swedia. "Saya juga harus menyiapkan segala sesuatu untuk Panglima. Semua hal yang memerlukan penyelesaian atau semua soal yang masih menggantung. Juga solusinya." Rais berangkat tanpa persiapan memadai menuju Kairo, termasuk soal pakaian. Saat rapat koordinasi dengan para stafnya, ia menggigil karena jaketnya tak cukup tebal menghadang dingin. "Untunglah diselamatkan komandan kontingen Kanada, keluar ambilkan jaket cadangannya untuk saya."

Rais mengambil alih semua komunikasi yang seharusnya dilakukan Liljestrand. Rupanya panglima asal Swedia itu mengalami kebuntuan dalam berkomunikasi dengan pihak Mesir. "Komunikasi terbuka memang baru bisa dilakukan kalau ada relasi yang lebih personal. Kalau formal terus, mati komunikasinya," kata Rais. Ia menjalin komunikasi intensif dengan perwira penghubung Mesir dan Israel, Mayor Jenderal Maghdub dan Kolonel Simon Levinson.

Levinson bahkan mengundang Rais berkunjung ke Yerusalem bersama istrinya, Dewi Asiah. Saat mereka bertiga makan siang di sebuah restoran, tiba-tiba Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres datang menyapa mereka. "Rupanya Mossad sudah mengabarkan. Itulah perkenalan pertama saya dengan Peres," katanya. Kelincahan komunikasi seperti itulah yang tak dimiliki Liljestrand.

Menjadi tawanan perang Belanda di Gunung Kijang, Pulau Bintan
Foto: dok. pribadi

Mendekati akhir November 1976, Rais dipanggil menghadap Chief Coordinator of the United Nations Peacekeeping Missions in the Middle East, Letjen Ensio Siilasvuo. Siilasvuo mengungkapkan Liljestrand dalam beberapa hari ke depan akan mundur sebagai Panglima. "Ia (Liljestrand) tidak senang di sini. Saya sudah mengusulkan kepada PBB, kamu akan menjadi pelaksana tugas Panglima jika Liljestrand sudah pulang," ujar Rais menirukan ucapan Siilasvuo.

Pada 1 Desember 1976, Rais diangkat menjadi Pelaksana Tugas Panglima UNEF II. Wakil Sekjen PBB Brian Urquhart mengupayakan agar Rais segera diangkat menjadi Panglima definitif. Namun Israel tak begitu saja menerima ketika nama Rais disodorkan. Untuk menjadi Panglima, memang dibutuhkan restu dari dua pihak yang bertikai. Faktor bahwa Rais adalah orang Indonesia menjadi ganjalan. Urquhart bahkan sampai mengadakan lobi khusus untuk mengegolkan pengangkatan Rais.

Kementerian Pertahanan Israel dan Mossad mengaku alasan politik menjadi ganjalan utama. Namun Urquhart ngotot. "Saya tak punya calon lain kecuali Rais Abin!" Urquhart menekankan kepada Israel, seperti yang dituturkan Rais. Akhirnya Shimon Peres menerima dan berhasil meyakinkan Knesset atau parlemen Israel. Pada tahun baru 1977, Rais Abin resmi memangku jabatan sebagai Panglima UNEF II yang ketiga sekaligus yang terakhir.

Sekalipun sudah diangkat, Rais masih sangsi. Ia meminta diatur pertemuan dengan tokoh-tokoh Israel di Yerusalem. "Percuma kalau Israel belum ikhlas, saya tak bisa bekerja," kata Rais. Peres pun mengakui pengangkatan itu adalah preseden buruk. "Anda dari negara yang tak mengakui kami, sekarang jadi Panglima di sini. Namun kami harus akui Anda adalah pilihan terbaik untuk saat ini," ujar Shimon Peres pada Rais. Jenderal keturunan Minang itu mengawal proses perdamaian Mesir dan Israel hingga akhir.


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE